"Lu kenapa ke sini?" tanya Karin."Jemput kamu," jawab laki-laki itu yang tak lain Dika.
"Enggak usah makasih, gua bisa pergi sendiri," ucapnya pergi meninggalkan Dika.
"Siapa sayang?" tanya Bi Isma setelah Karin sampai di meja makan.
"Bukan siapa-siapa Bi, oh iya Karin pergi sekolah dulu, ya Bi," pamitnya.
Sebelum pergi ke sekolah, ia mencuci piring bekas sarapannya tadi. Setelah itu, ia pergi bergegas ke kamar untuk mengambil tasnya.
Kenapa, masih ada di situ, sih? gerutu Karin saat melihat Dika masih di teras rumahnya."Lu langsung ke sekolah saja, gua mau naik angkot," ucapnya depan Dika.
"Saya sudah sampai sini, kenapa kamu mau naik angkot?" tanya Dika.
"Malas," jawab Karin.
"Kamu kenapa sih, selalu tolak ajakan saya? Kemarin pas awalnya tolak Bisma, eh setelah saya mengajakmu. Malah kamu menerima tawarannya. Sekarang? Saya sudah jauh-jauh ke sini, masih tetap saja ditolak," ujarnya.
"Memang, yang suruh lu ke sini, siapa?"
"Bibi."
"Ya, ampun. Bibi gua tuh, cuman bercanda. Dan lu, anggap serius? Bodoh!"
"Kata, siapa bercanda?" sela Bi Isma.
"Kata, aku."
"Enggak sayang, Bibi enggak bercanda. Lain kali, bicaranya enggak boleh seperti itu. Enggak sopan," ujar Bi Isma lembut.
"Hm, iya Bi."
"Minta maaf sanah, sama Dika," perintah Bi Isma membuat Karin menghembusakan napasnya kasar.
"Maaf," ujarnya singkat, dan dibalas dengan senyum manis oleh laki-laki di depannya ini.
"Ya, sudah. Cepat berangkat, nanti kalian telat."
"Kalau gitu, Dika sama Karin pergi dulu, ya Bi," pamit Dika.
Dika, melajukan sepeda motornya dengan kecepatan yang standar. Ia menikmati suana pagi hari yang begitu indah. Ditambah dengan gadis yang sedang bersamanya.
Karin juga melakukan hal yang sama, ia menikmati udara di pagi hari yang sangat sejuk ini. Tapi di tengah aktivitasnya, ia merasa sedikit risih. Karena dari tadi, Dika terus saja, memperhatikannya. Dan, hal itu membuat jantung karin berdebar lebih kencang dari biasnya.
"Lu, kenapa sih? Ngeliatin gua terus?" omelnya.
"Karena kamu cantik," jawab Dika, yang membuat pipi Karin bersemu merah. Untung saja, ia memakai helm, jadi Dika tak melihat seberapa merahnya muka Karin.
"Segala macet lagi," omel gadis cantik, yang tengah ia bonceng. Dika yang mendengar ocehan itu, membuatnya tertawa.
"Eh, lu sehat 'kan?" tanya Karin panik. Pasalnya laki-laki yang di depannya ini tiba-tiba tertawa tanpa sebab.
"Sehat."
"Terus, kenapa tiba-tiba ketawa?"
"Membayangkan ekspresi muka kamu, pas lagi marah tadi. Pasti lucu banget, sayang sih, lagi pakai helm. Coba kalau enggak."
"Ada, berkahnya juga pakai helm. Walau, helmnya bikin kepala gua pusing."
"Lah, kenapa? Bau? Enggak mungkin deh, orang setiap hari dicuci. Masa bau," ujar Dika.
Gimana, enggak mau pusing. Orang pas gua pakai helm ini, bayangan muka lu, terus memunui isi kepala. Apalagi, senyum lu. Ah ... bikin gua candu aja, huff, ucapnya, dalam hati.
Tid ... tid ...
Bunyi klakson membuat Dika kembali fokus terhadap jalan. Namun, sial! Otak cerdasnya memikirkan satu hal yang mungkin seru untuk dilakukan tapi berisiko juga. Tidak apa-apa lah, selagi bukan nyawa yang jadi taruhannya, ucapnya dalam hati. Dan ia memulai aksinya. Langkah pertama yang ia lakukan adalah, mempertajamkan pandangannya ke depan. Lalu, melihat ke belakang. Ralat! Tepatnya, melihat gadis yang tengah berada di atas jok motornya itu. Dan, ketiga ....
"Mamah!" teriak Karin.
Wah, kenapa itu?
Don't forget vote, yaww👐
KAMU SEDANG MEMBACA
Marindi
Teen FictionKarin dihadapkan dengan kenyataan bahwa lelaki yang sangat ia cintai, adalah anak dari wanita yang telah menghancurkan keluarganya. Di satu sisi, ia sangat mencintai Dika.Tapi disisi lain, ia tak bisa bersama dengan anak dari wanita yang telah meng...