Tuhan bukannya tidak adil, tapi Tuhan tahu mana yang terbaik buat hambannya.
Bisma, Al Farezi."Karin ...," lirihnya.
"Aku, panggil dokter dulu."
"Tidak usah. Aku, mau bicara berdua sama kamu. Hm ... Bibi sama Paman, bisa tolong ke luar sebentar?"
"Iya, bisa sayang. Bibi, dan Pamanmu ini akan ke luar. Jika terjadi apa-apa, langsung panggil, ya?" ujar Bi Isma. Dan, Karin tersenyum, menandakkan ia menyetujui.
"Ada, apa?" tanya Dika.
Gadis yang sedang terbaring lemah, tampak gelisah. Terlihat, dari sorot matanya, yang memperlihatkan semuanya. Dika, mengenggam erat tangannya dan berkata, "Enggak usah takut. Ada aku di sini. Kalau ada yang mau disampaikan, bilang saja. Aku, takkan marah," ucapnya. Karin menghembuskan napasnya kasar. Ia lelah. Baru saja merasakan bahagia, sekarang, kebahagian itu akan sirna kembali.
"Aku, mau kamu pergi dari hidupku," ujarnya. Satu kalimat yang membuat sekujur badan Dika kaku. Dadanya terasa begitu sesak. Dan hatinya, sudah tidak perlu dijelaskan lagi betapa terlukanya. Karin juga merasakan hal yang sama. Setelah mengatakan kalimat itu, ia mengalihkan padangan wajahnya ke arah yang berlawanan. Berusaha menyembunyikan, rawut wajahnya yang sangat amat terluka.
"Kalau ini maumu, aku akan melakukan hal itu. Walau aku tak menjamin, akan berhasil melakukannya."
"Untukmu, gadis cantik yang ternyata saudara tiriku. Aku minta maaf, atas semua perlakuan yang orang tuaku berbuat padamu. Terima kasih, ya atas beberapa hari kemarin. Hari-hari yang paling bahagia dalam hidupku. Pertemuan kita memang singkat, tapi rasa ini tidak sesingkat itu. Aku telah terlalu mencintai begitu dalam. Aku ingin egois. Memaksamu, untuk tetap bertahan. Tapi aku sadar, cinta tidak pernah memaksakan untuk tetap memiliki. Jika bahagiamu, melepaskanku. Akan, aku lakukan, walau diri ini terluka. Aku cuman minta satu hal kepadamu ...." Dika menjeda pembicaraannya. Mencoba menetralisir dada yang tak kuat lagi, menahan semuanya.
"Aku tahu, ikhlas tidak mudah. Tapi, aku mohon, kamu berjuang untuk ikhlas dengan apa yang telah terjadi di masa lalu. Jika kamu tidak mampu melakukan untuk dirimu sendiri. Lakukanlah, untuk orang yang telah mencintaimu," sambungnya. Pertahanan Karin, hancur. dia tidak sanggup menahan air matanya, untuk tidak mengalir deras. Ucapan Dika, sangat menusuk hatinya. Laki-laki yang pernah menjadi alasan terkuatnya untuk tersenyum, kini harus ia relakan pergi. Lagi dan lagi! Orang yang menjadi alasan Karin untuk tersenyum, pergi.Dret ... dret ...
Bunyi handphone, mengalihkan fokus mereka.
"Bisma," ujar Dika.
"Iya, Bis. Ada apa?"
"Lu, di mana?"
"Rumah sakit," jawabnya singkat. Tapi, Bisma yang mendengarnya panik.
"Lu, kenapa? Cepat bilang alamatnya sama gua!"
"Iya, iya. Enggak usah ngegas juga," jawabnya diiringi senyum manis dibibir mungilnya. Dika memutuskan untuk ke luar, terlalu sakit melihat orang yang dia cintai. Tersenyum karena laki-laki lain.
"Enggak usah banyak ngomong. Cepat kasih alamatnya." Karin, memberikan alamat rumah sakit ini. Kalau tidak, bisa-bisa telinganya sakit. Mendengar, Bisma berteriak.
"Mungkin, ini yang terbaik untuk kita," ujarnya. Setelah sadar, Dika tidak ada.
Butuh waktu sekitar, 20 menit saja, ia telah sampai di rumah sakit. Ia pergi kepada resepsionis, lalu setelah itu menuju ruangan yang sudah diberi tahukan, oleh resepsionis tadi.
"Permisi, ini benar rungan Cattlina Karin Anthony," ucap Bisma.
"Kamu, siapa?" tanya Andi.
"Saya, Bisma om. Temannya Karin," jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marindi
Teen FictionKarin dihadapkan dengan kenyataan bahwa lelaki yang sangat ia cintai, adalah anak dari wanita yang telah menghancurkan keluarganya. Di satu sisi, ia sangat mencintai Dika.Tapi disisi lain, ia tak bisa bersama dengan anak dari wanita yang telah meng...