PART (14)

12 0 0
                                    


"Maaf, ya, buat kemarin,"sambung laki-laki itu yang tak lain adalah Bisma.

"Enggak usah minta maaf, oh iya. Motor lu gimana?"

"Sudah diservis, lu mau ke aula sekolah atau mau ke mana?" tanya Bisma.

"Aula."

"Gua antar, ya?"

"Enggak usah, gua bisa sendiri. Lu memang enggak masuk? Bukannya sekarang jam masuk kelasnya?"

"Kelasnya juga belum ada ...."

"Ada apa?!" sentak seseorang laki-laki berumur.

Kenapa, harus ada di situ, si? gerutu Bisma.

"Eh, ada Bapak," ucapnya menyalami tangan kepala sekolahnya itu.

"Iya, kenapa memangnya?" tanyanya menatap Bisma tajam.

"Enggak Pak, soalnya tadi enggak ada Bapak di situ."

"Jadi, karena saya tidak ada, kamu merasa bebas untuk ke luar kelas, hah?!"

"Saya gabut Pak, di kelas," jawabnya santai, membuat Karin dan kepala sekolah menatapnya tak percaya.

"Kenapa, tidak belajar saja?!"

"Pak, jangan marah-marah terus.  Nanti darah tinggi, terus mati gimana? Kaya, Bapak  sudah punya tabungan amal banyak saja," ujar Bisma membuat kepala sekolah menatapnya tajam. Seperti biasanya, ketika kepala sekolah sudah seperti itu, lalu Bisma kabur. Tapi, sekarang ia kabur tidak sendiri. Ia membawa Karin ikut bersamanya.

"Lu, kalau mau kabur. Kabur aja sih, kenapa harus ajak gua?" omel Karin menatap Bisma tajam. Bisma yang ditatap seperti itu bukannya takut, malah membuatnya tertawa. Karena, melihat ekspresi Karin sangat menggemaskan.

"Kenapa ketawa?" sambungnya.

"Lucu," jawabnya, membuat Karin menatapnya dengan tatapan tak mengerti.

"Siapa?"

"Lu," jawabnya singkat, padat dan membuat gadis yang mendengarnya kaget.

"Kalau lu punya masalah, jangan buat orang lain ikut terjebak dalam masalah itu," ucapnya dingin, yang jauh dari ekspetasi Bisma. Dia kira, setelah ia berbicara seperti itu, Karin akan tersipu malu.

"Cattlina Karin Anthony, harap segera datang, ke ruang kepala sekolah," ucap seseorang melalui mengeras suara.

"Kenapa, lu dipanggil ke ruang kepala sekolah?" tanya Bisma polos, seolah tak mengerti, padahal ini semua gara-gara dia.

"Cih, enggak usah so polos lu. Ini semua juga gara-gara lu. Kalau sampai kepala sekolah kasih hukuman sama gua, gua enggak akan memaafkan lu," ucap Karin menatap Bisma tajam lalu pergi menuju ruang kepala sekolah.

"Permisi Pak," ujarnya, di depan ruang kepala sekolah.

"Masuk."

"Maaf Pak sebelumnya, kenapa Bapak panggil saya?"

"Saya cuman mau bilang, jangan dekat-dekat dengan Bisma! Dia itu tukang cari masalah, saya enggak mau murid pintar sepertimu, ketularan sifatnya si Bisma itu," ujar kepala sekolah.

"Memang siapa, yang mau dekat-dekat dengan dia."

"Baguslah. Tapi, kenapa kamu tadi ikut Bisma lari?"

"Tadi saya ditarik sama Bisma Pak," jawab Karin.

"Ya sudah kalau begitu, ini buat peringatan kamu saja. Kalau kamu melakukan hal sama seperti tadi lagi, saya tidak akan segan-segan untuk mencabut beasiswa kamu, "ancam kepala sekolah.

"Tapi kan Pak ...."

"Iya saya tahu, ini memang bukan kesalahanmu, tapi tetap saja. Kamu juga salah," sela kepala sekolah.

Sabar, Karin. Ingat, guru tidak pernah salah, ujarnya.

"Iya Pak, saya tidak akan mengulang hal itu lagi."

"Ya sudah, kalau begitu kamu bisa pergi. Dan, jangan lupa pesan saya tadi," ucap kepala sekolah. Lalu Karin bergegas pergi.

Semuanya, gara-gara dia!







Follow akun author, ya.
@kartini170804
Nanti dm, aja;v

MarindiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang