4. Dinner Romantis

243 23 20
                                    

Kebahagiaan bukan tentang mendapatkan apa yang kamu inginkan sepanjang waktu. Ini tentang mencintai apa yang kamu miliki dan berterima kasih karenanya.
—Sylvia Ivy Vianly.

***

Ivy sudah siap dengan gaun berwarna lilac yang dipadukan dengan warna putih, anak perempuan muda itu memasang antingnya dan tersenyum di depan kaca, seolah kaca tersebut adalah dirinya sendiri. Ia memutar badannya, mengecek satu persatu apakah ada yang kurang dari penampilannya atau tidak, setelah merasa oke gadis itu langsung mengambil sling bag dan turun ke bawah untuk menemui Raka.

"Cantik banget sih anak mamah," ledek Vanya sambil tersenyum manis ke putrinya. "Buruan berangkat makan malem gih, nanti telat!" sambung wanita tersebut dengan memulai aksinya. Vanya memang senang sekali jika menggoda Ivy dan Raka, juara satu pokoknya. Ia selalu setuju dengan hal apapun yang dilakukan oleh mereka berdua.

"Bener kata mamahmu, udah buruan, nanti telat acaranya. See you ya, Rak! Papah tunggu kabar baiknya. See you, Vy!" ujar Vero dengan tegas, pria dengan jas putih tersebut menepuk pundak Raka seolah menguatkan, entah menguatkan dalam hal apa, Ivy sendiri tidak mengerti sama sekali. "Good luck!" bisiknya.

"Thank you, Pah, Mah. See you! Doain Raka, ya! Raka sama Ivy pamit dulu," pamit Raka pada kedua orang tua Ivy.

Ivy juga mendekati kedua orang tuanya. Ia mencium tangan kedua orang tuanya seperti apa yang biasa seorang anak lakukan. "See you, Mah, Pah! Ivy berangkat dulu!"

"See you!" balas serentak Vanya dan Vero.

***

Raka tak henti-hentinya mengusap tangan Ivy dengan lembut saat berada di mobil, pria dengan setelan jas putihnya memandang lurus ke depan sambil tersenyum. Hari ini adalah hari yang bahagia, kemarin juga bahagia memang. Siapa yang tidak bahagia saat perjuangannya bertahun-tahun akhirnya berakhir juga coba? Sembilan tahun adalah perjalanan panjang yang sangat berarti bagi Raka. Sembilan tahun usia hubungannya dengan Ivy pun menjadi saksi bisu keduanya sama-sama berjuang. Sejak mereka pacaran, sejak itu juga mereka memilih sama-sama berjuang memasuki universitas negeri yang sama dengan berbagai cara, dari SNMPTN, SBMPTN, dan mandiri. Mereka berdua sejak kelas sepuluh memang sudah berjuang sedemikian rupa.

Belajar untuk sekolah, belajar untuk persiapan UTBK, belajar untuk ujian mandiri juga. Namun, karena perjuangan mereka dan juga kegigihan mereka selama SMA, mereka berhasil memasuki perguruan tinggi negeri dengan raport, dengan jalur SNMPTN. Mereka mendapatkannya. Tak payah lagi mengikuti UTBK, tak payah lagi mengikuti ujian mandiri dan tak payah lagi takut untuk mengalahkan para pesaing.

"Kamu cantik," celetuk Raka secara tiba-tiba, membuat Ivy yang awalnya menatap jendela jadi menatapnya terpaku. Rona merah yang menjalar di pipi gadis itu terlihat sangat jelas sekali.

"Thanks, Babe. Kamu ganteng. Tumben banget muji aku hari ini, biasanya aja rese," balas Ivy.

"Emang mas pacar gak boleh muji mba pacar nih? Masa gak boleh sih, nanti mas pacarnya ngambek, lho." Ivy terkekeh geli, Raka ini menyebalkan. Bisa-bisanya pria tersebut berperilaku gemoy setiap saat sehingga membuat Ivy tidak bisa lepas dengan pria tersebut. Aish, tidak ada niat lepas dari pria tersebut juga sih.

"Apa sih mas pacar? Kan mba pacar gak bilang gitu," kata Ivy dengan kekehan.

Raka semakin terfokus dengan jalanan yang ada di hadapannya, jalanan yang sebentar lagi akan sampai ke tempat tujuannya. Tempat yang akan menjadi awal kisah.

"Gapapa mba pacar. Mas pacar cuma mau bilang kalau nanti mba pacar ditutup pakai kain dulu ya sebelum masuk ke tempat makan malam, mas pacar mau kasih kejutan soalnya."

"Harus banget, ya?" Ivy memberikan muka puppy eyes. Ia tak suka jika matanya ditutup, maskaranya bisa rusak dan hancur begitu saja. "Nanti maskara yang aku pakai bisa nempel di kain, nanti mata aku bisa item semua, Rak."

Raka menatap sinis ke arah Ivy, ia menggelengkan kepalanya, mengharuskan Ivy untuk tetap menutup mata. "Kan aku udah bilang, jangan pakai maskara atau apapun, kamu aja yang bandel, gak mau tau ya."

"Oke."

Mobil abu-abu milik Raka sudah tiba di tempat tujuan. Ia turun dari mobil langsung dan mengitari mobil untuk membukakan pintu Ivy. Ivy yang diperlakukan seperti itu pun langsung tersenyum manis sambil berterima kasih, ia menggenggam erat tangan Raka dan seketika matanya langsung ditutup oleh kain. Tanpa aba-aba, memang Raka ini tipikal orang yang tak suka basa-basi.

"Kok gak bilang-bilang sih," keluh Ivy dengan bibir yang mengerucut.

"Loh? Kan tadi aku udah bilang," jelas Raka yang tak mau diprotes. "Cuma sebentar kok, sampai kita sampai di tempat makan kita, oke? Yuk jalan! Aku pegangin, pelan-pelan."

Raka menuntun Ivy dengan sangat telaten, menunjukkan jalan yang benar supaya gadis itu tidak terjatuh. Ia mendekap Ivy dengan penuh kasih sayang. Entah mengapa seketika suasananya mencekam, Ivy merasakan euforia-nya berbeda begitu saja. Apa yang sebenarnya akan terjadi?

"Udah sampai belum, Rak?" tanya Ivy dengan hati yang penasaran.

"Belum, nanti kalau udah juga aku bilang."

"Cepetan ih, aku gak sabar kan jadinya."

"Sabar, Sayang. Orang sabar disayang Raka," kekeh pria tersebut menggombal.

Ivy hanya bisa menggelengkan kepalanya saja, terserah Raka lah mau bagaimana, ia menurut saja. Tiba-tiba gadis itu merasa dihentikan oleh Raka, Raka mengatakan kalau mereka sudah sampai di tempat tujuan dan dengan hitungan ketiga kain yang menutup mata Ivy akan Raka buka.

"Satu."

"Dua."

"Tiga."

JEDER!!!

Suara petasan menyambut mata Ivy yang tengah mengerjap, pemandangan langit yang terlihat sangat meriah dihiasi penuh petasan sudah pasti disiapkan oleh Raka yang tengil itu. Rupanya ini dinner romantis mereka, dinner di balkon rumah sakit dengan pemandangan langit yang dihias dengan banyak petasan. Meriah, satu kata yang terucap tanpa suara oleh Ivy.

"Kamu nyiapin semua ini?" tanya Ivy dengan tatapan tak percaya. "Pasti dibantuin mamah sama papah, kan?" selidiknya. "Hayo, ngaku kamu!"

"Iya, emang dibantuin mamah sama papah, kan mereka yang punya akses supaya bisa naik ke balkon, aku gak bisa apa-apa lah kalau gak dibantuin mereka berdua. Tapi semua konsep ini aku yang buat kok, aku yang buat supaya kamu suka. Gimana? Kamu suka gak?" tanya Raka dengan penuh harap.

Ivy hanya manggut-manggut, ia tentu saja sangat menyukai konsep seperti ini. Konsep makan malam anti-mainstream yang ada di balkon rumah sakit. Konsep dengan langit cerah yang dihiasi oleh petasan yang ramai. Ia sangat menyukainya.

"Aku suka banget, Raka. Makasih ya, makasih udah mau ngasih ini semua buat aku. Makasih udah mau kasih yang terbaik buat aku selama sembilan tahun ini. Te amo, Raka."

Raka mendekap erat tubuh Ivy, ia memeluk gadis itu dan mengecup puncak kepala Ivy. "Sama-sama. Te amo, Ivy," bisiknya tepat di telinga Ivy.

Ivy bahagia, Tuhan. Ia bahagia bisa mendapatkan orang sebaik Raka. Ia bahagia mendapatkan orang yang selalu menyayanginya tanpa terkecuali. Ivy mohon dengan sangat untuk tidak mengambil Raka, karena Raka adalah bagian terpenting dalam hidup Ivy. Ivy sendiri tidak tahu apa jadinya jika Raka tak bersamanya. Malam ini, sembilan tahun lebih satu hari, tidak, satu malam tepatnya, Ivy merasakan anugerah terindah yang ada di hidupnya. Semoga saja tidak ada masalah ataupun konflik nantinya. Ivy hanya ingin bahagia.

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian semua yang sudah baca part kali ini!

Terima kasih banyak yaa🦋

See you di part selanjutnya! Secepatnya yaa!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

Dokter VS AkuntanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang