"Sudah hati-hati, tetap saja patah hati."
—Sylvia Ivy Vianly.
***
"Aku minta maaf, Ivy. Rasanya aku emang gak pantes buat kamu. Rasanya aku emang pantes buat gak dapetin kamu. Kamu gak pantes dapet cowok brengsek kayak aku."
Ivy sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, tatapan mata hangat yang dulu selalu menjadi pemandangan favoritnya di saat sedang sendu, kini menjadi hambar saja rasanya. Sudah tak ada lagi tatapan mata hangat tersebut, yang tersisa hanyalah mata penuh penyesalan, dan sialnya itu adalah hal yang paling Ivy benci.
"Kamu harusnya tau kalau aku sayang banget sama kamu, Raka. Aku berjuang banyak demi kamu. Kamu tau hal apa yang paling aku sesali? Aku gak bisa menepati janji aku sama Ravin karena di Semarang aku jatuh hati sama kamu yang sialnya itu bikin aku sakit! Bikin aku gila! Seharusnya kamu gak ngelakuin itu, Ka! Seharusnya kamu enggak tidur sama Ayra dan hancurin semua impian kita!"
Napas panjang Ivy mulai memburu, jantungnya berdetak hebat setiap mengingat hal menyakitkan yang sudah mantan kekasihnya lakukan. Semuanya tidak bisa hilang dari bayangan Ivy, seolah otaknya terus-menerus memutar adegan di mana mereka berdua melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan, hal yang melanggar norma.
"Argh! Harusnya kalau kamu tau kamu salah, kamu berbuat salah dengan Ayra, kamu gak perlu lamar aku, Raka! Kamu gak perlu menjanjikan aku sebuah hubungan yang gak bakalan jadi kenyataan di dalamnya. Kamu nyakitin aku dan aku bodoh percaya sama kamu. Pastinya kamu waktu itu ketawain aku yang bodoh ini, kan? Aku yang berharap banyak soal masa depan kita padahal jalan hubungan kita buntu dan kamu yang buat kebuntuan itu semua!"
Ya Tuhan ... entah harus sampai kapan Ivy merasakan sakit hati ini, merasakan sakit di saat keluarganya membahas tentang hubungan antara Ayra dan Raka, yang seharusnya bukan Ayra di sana, seharusnya dia yang ada di sana. Merasakan sakit atas hubungan Ayra dan Raka yang akan melangkah ke jenjang serius, sedangkan dirinya harus membenahi luka yang benar-benar masih basah, entah kapan mengeringnya.
"Aku minta maaf, Ivy."
Maaf lagi dan selamanya selalu maaf. Ivy benci kata maaf! Ivy benci di saat semua orang menggampangkan perasaan orang lain dan berpikiran jika orang tersebut akan memberikan maafnya dengan cuma-cuma. Kata maaf seharusnya menjadi kata yang kaya, bukan kata yang murahan bahkan tidak ada harga dirinya.
"Kamu gak berhak dapet kata maaf itu. Kamu hancurin aku."
***
"Kenapa harus aku, Mah?" Perkataan itu muncul dari mulut Ivy yang merasakan kehadiran ibundanya di belakang tubuhnya. Ibunya yang pastinya juga turut kaget dengan kejadian demi kejadian yang terjadi, turut kecewa dengan semua hal yang tak pernah terbayangkan sama sekali.
"Aku kurang apa, Mah? Aku sayang banget sama Raka, tapi kenapa Raka lebih milih Ayra? Apa aku gak pantes bahagia, Mah? Apa aku gak pantes dicintai sampai aku harus ngerasain patah hati sesakit ini?" tanya Ivy berbondong-bondong. Pertanyaan menyakitkan yang bahkan tidak akan pernah bisa dijawab dengan tegas oleh Vanya. Buktinya kini wanita dengan panggilan ibu itu hanya bisa merengkuh tubuh lemah putrinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hatinya sama, sama-sama tersayat, sama-sama tidak terima dengan apa yang terjadi di kehidupan putrinya.
"Aku sayang sama Raka, Mah. Aku mau nikah sama dia kan sebentar lagi, tapi kenapa dia lebih milih Ayra? Kenapa harus ada bayi itu di tengah-tengah hubungan aku sama Raka, Mah?"
Mengapa Tuhan tak pernah memberikan keadilan untuk Ivy? Mengapa Tuhan selalu membuat hati Ivy hancur berkeping-keping? Mengapa Ivy selalu dipaksa untuk mengalah padahal dirinya juga pantas bahagia, kan?
"Mamah tau apa yang kamu rasakan, Ivy. Mamah tau semua hal yang terjadi di hidup kamu ini sangat-sangat menyakitkan. Kamu harus kuat ya, Nak. Di depan Raka udah nungguin kamu, katanya ada yang mau dia bicarakan sama kamu."
***
"Ivy, maaf banget kalau kamu harus dengerin kata maaf lagi dari aku. Tapi mungkin ini yang terakhir kalinya? Ayra mau menikah sama aku dengan permintaan kalau cincin pernikahan aku dan dia adalah cincin pernikahan kita. Jadi aku boleh minta cincin yang waktu itu udah aku kasih ke kamu?"
Harus berapa kali lagi Tuhan mempermainkan hati Ivy? Harus berapa banyak lagi luka yang Ivy rasakan dan Ivy terima? Tak pernah sama sekali terbersit di pikirannya bahwa di saat pernikahan di depan mata, Ivy harus mendengarkan kabar bahwa saudarinya hamil anak dari tunangannya. Hidup memang penuh bercanda, bukan?
"Kamu nyakitin aku banget, Raka. Aku hancurin hidup aku banget. Aku gak pernah bisa maafin kamu sampai kapanpun, Raka. Aku gak akan pernah bisa terima semua ini." Di akhir ucapan Ivy, respon yang bisa lawan bicaranya lakukan hanyalah membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Gadis yang entah berstatus sebagai apa. Apakah masih sebagai tunangannya atau hanyalah sebatas saudari dari calon istrinya —Ayra.
Keduanya sama-sama sakit. Ivy dengan sakitnya merasakan perselingkuhan dari dua orang terkenalnya, sedang Raka dengan sakit karena penyesalan itu tiada pernah berakhir. Penyesalan yang bahkan sejak pagi di mana ia bangun di kamar bar bersama Ayra. Penyesalan sejak Raka mulai menyadari bahwa apa yang ia lakukan salah besar karena hal itu menyakiti hati Ivy kekasihnya.
"Minggu depan aku sama Ayra mau melangsungkan pernikahan, Vy. Maaf ya kalau ternyata selama ini aku cuma menabur banyak kata-kata sehingga kamu hanya bisa berharap tanpa merasakan realitanya. Maaf kalau aku gak bisa jadi suami kamu pada akhirnya, maaf kalau kisah kita benar-benar harus selesai dengan tragis seperti ini. Aku nyesel, Vy. Andai aja waktu itu aku gak kebawa suasana, andai aja dari waktu itu aku mikirin perasaan kamu aja, gak kebawa arus sampai sejauh itu."
"Aku boleh minta satu hal ke kamu, Ka? Satu hal terakhir yang selama ini gak pernah kamu lakuin ke aku, itu pun kalau kamu mau."
Mendengar perkataan Ivy seperti itu jelas membuat Raka bertanya-tanya, ia penasaran hal apa yang selama ini tidak pernah ia lakukan kepada Ivy.
"Kamu mau minta apa, Vy?"
"Aku mau first kiss ku itu kamu, Raka. Apa aku boleh minta semua itu padahal aku tau kalau kamu mau menikah sama saudariku? Apa untuk malam ini aja aku boleh egois tanpa memikirkan perasaan siapapun dan hanya memikirkan diriku sendiri? Sama seperti orang lain yang tidak pernah memikirkanku."
"As you wish, Ivy."
Keduanya saling mendekatkan bibir masing-masing, mulai menyesap tiap pergerakan ciuman mereka, walaupun yang mereka rasakan saat ini bukanlah perasaan cinta dan kebahagiaan seperti pasangan lain rasakan saat berciuman, yang ada di tengah-tengah mereka berdua hanyalah penyesalan dan sakit hati, bahkan di tengah-tengah ciuman mereka, Ivy meneteskan air matanya. Merasa sesak dengan semua drama yang akhir-akhir ini menimpa hidupnya.
Tanpa mereka sadari di belakang mereka ada seseorang yang tengah mengandung melihat adegan ciuman mereka berdua. Seseorang yang hatinya hancur karena melihat calon suaminya berciuman dengan saudaranya sendiri. Tetapi apa boleh buat? Pun perbuatan yang ia lakukan lebih menyakitkan untuk Ivy. Dirinya adalah pelaku di sini, tak sepantasnya ia berlagak sakit hati seperti korban.
***
Hai, Guys! Apa kabar kalian? Akhirnya malem-malem aku putusin buat update setelah hampir satu tahun gak update. Semoga kalian semua masih nungguin cerita ini ya! Thank you semuanya!
Jangan lupa vote dan komen ya!
Xoxo,
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter VS Akuntan
Storie d'amoreSequel dari "MIPA VS AKUNTANSI" Sangat disarankan untuk baca MIPA VS AKUNTANSI terlebih dahulu. Pernahkah kalian merasa diasingkan oleh keluarga sendiri? Pernahkah kalian merasa dianaktirikan oleh keluarga sendiri? Padahal, nyatanya kalian sudah men...