30. Cincin dan Keikhlasan?

72 5 4
                                    

"Jika ditanya hal apa yang selalu saya sesali, dengan lantang saya akan menjawab mengikuti kemauan keluarga saya."

--Sylvia Ivy Vianly.

***


TOK TOK TOK!!!

Gadis yang baru saja merebahkan tubuhnya di kasur sekitar lima menit lalu tentu saja menghela napas panjang, bertanya-tanya kiranya siapa yang mengetuk pintu kamarnya itu.


"Masuk!" teriak Ivy dari dalam kamar, merasa tidak ada tenaga untuk berjalan sekadar membukakan pintu kamarnya dan mempersilakan sang pengetuk untuk masuk. 

"Oma ganggu gak, Sayang?" Rupanya Tifany lah dalang dari ketukan pintu tersebut, membuat Ivy langsung memutarkan bola matanya kesal. Entah mengapa dirinya merasa akan mendapatkan hal buruk di saat seperti ini. Dirinya merasa Oma nya akan menyampaikan hal yang tidak mengenakan, ya karena tidak biasa saja Tifany sekadar mengetuk kamar Ivy dan berbicara dengan cucunya itu.

"Enggak, Oma. Ada apa?" Ya walaupun sebenarnya Ivy merasa sangat terganggu dengan kehadiran Oma nya, ia tidak bisa mengatakan hal selain tidak, bukan?

Menarik napas panjang karena merasa tidak sanggup mengucapkan hal yang menyakitkan, Tifany melanjutkan memejamkan matanya sejenak. Jujur saja di dalam hatinya ia merasa hal ini sangat tidak adil bagi Ivy. Ivy adalah korban dari semua keambisian suaminya, tetapi apa yang bisa Tifany lakukan? Tidak ada. Ia hanya bisa terdiam dan melihat cucunya hancur karena hal ini semua.

"Oma mau minta maaf sama Ivy kalau menurut Ivy kita semua di sini turut andil dalam kehancuran yang sedang Ivy alami. Tapi Ivy, yang harus kamu ketahui, Oma tidak punya kekuatan apa-apa. Oma kembali mau menyampaikan sesuatu ke kamu yang pastinya akan semakin membuat kamu hancur. Kamu tau sendiri situasinya sekarang bagaimana Ivy, kita harus segera menikahkan Ayra dan Raka. Tapi Ayra mau kamu melaksanakan tradisi pengembalian cincin tunangan di hari pertunangannya nanti dan Ayra mau kamu yang memberikan cincin ini ke Ayra nantinya. Ya semacam pemindahan tangan," jelas Tifany sembari memberikan kotak merah yang semakin membuat Ivy merasakan hatinya seperti disayat-sayat kembali.

Rasanya tidak adil, bukan? Rasanya Tuhan terlalu bercanda kepadanya, bukan? Ia yang sudah sehancur ini saja masih harus menuruti keinginan Ayra yang jelas-jelas merusak hubungannya. Ia yang sudah sehancur ini saja masih tetap harus melihat pertunangan Ayra dan mantan kekasihnya. Ditambah Ivy harus seolah-olah bahagia menyerahkan cincin pertunangannya kepada Ayra sang pelakor.

"Ma, aku udah kasih cincin itu ke Raka, kan? Gak usah pake drama segala macem lah, aku aja gak mau dateng kalau mereka tunangan, apalagi aku harus kasih cincin ini seolah-olah aku ikhlas sama hubungan mereka berdua? Mereka berdua mikir gak sih, Oma? Mikir apa nggak kalau yang tersakiti di sini itu aku. Dan sekarang aku harus merestui hubungan yang menghancurkan aku? Demi Allah, Ma, aku gak rela." Menarik rambutnya secara keras-keras mungkin menjadi salah satu bentuk self harm yang sering Ivy lakukan ketika sedang menahan tangisnya. Gadis itu lalu langsung memalingkan wajahnya, tidak mau bertatapan dengan Sang Oma. 


"Oma tau apa yang kamu rasakan, Ivy."

"Oma gak tau gimana perasaanku. Di keluarga ini gak ada yang tau perasaanku, stop sok tau rasa sakit yang aku rasakan, Oma!" tegas Ivy diakhiri dengan isak tangis yang memilukan. "Di keluarga ini gak ada yang ngertiin aku, Oma. Aku yang dikhianati. Aku yang sakit hati. Aku yang harus liat orang yang aku cintai harus menikah sama sepupu aku sendiri. Ini gak adil, Ma. Aku sayang banget sama Raka tapi sekarang aku harus liat dia sama sepupu aku. Aku harus pura-pura ikhlas liat pernikahan dia."


Tidak ada yang bisa Tifany lakukan kecuali memeluk tubuh ringkih cucunya yang menangis sesenggukan. Meskipun menurut Ivy tak ada yang mengerti dirinya, sesungguhnya dalam pelukannya saat ini, Tifany mengerti betul bagaimana sesak yang selama ini sudah Ivy rasakan. Tifany paham betul.


"Kalau saja Oma punya pilihan lain, Oma juga gak mau seperti ini, Ivy. Oma juga gak mau kamu merasakan sakit yang seperti ini. Tapi, Nak, Raka dan Ayra harus segera menikah sebelum semuanya ketahuan. Dan satu-satunya permintaan Ayra untuk mau melangsungkan acara pernikahannya adalah mengikutsertakan kamu."


Ivy melepas pelukannya dengan Omanya, gadis itu langsung kembali memalingkan wajahnya yang masih dibasahi oleh air mata pastinya. "Ivy capek, Ma. Oma boleh keluar sekarang," usirnya secara baik-baik.

Melihat Vero dan Vanya yang memasuki kamar Ivy membuat Tifany menyerah juga, sepertinya semua ini harus dipasrahkan ke kedua orang tua Ivy saja yang jauh lebih mengerti bagaimana Ivy.

"Kalau mamah sama papah juga mau buat aku makin drop, mending mamah sama papah keluar aja," ucap Ivy to the point. Pasalnya ia sangat tahu bagaimana kedua orang tuanya yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan Ivy dan perasaannya. 


"Kata siapa, Vy? Kata siapa mamah sama papah gak ikutan drop kalau kamu drop gini. Mamah sama papah juga merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan, Vy. Mamah sama papah juga sakit hati, merasa gagal juga sebagai orang tua." Vanya menjawab ucapan putrinya, lima detik kemudian pasangan Vanya-Vero langsung memeluk putri tunggalnya dengan erat. "Malem ini kita nangis sama-sama ya, Vy? Ivy bebas cerita apa aja ke mamah sama papah. Mamah sama papah pasti dengerin."

"Mereka semua kenapa jahat banget sama Ivy, Mah? Kenapa harus selalu Ivy yang ngertiin mereka? Padahal kan yang salah mereka, Mah. Ivy sayang banget sama Raka, Mah, Pah. Tapi kenapa dia tega hancurin Ivy? Kenapa dia tega hancurin hubungan ini? Dada Ivy sakit banget rasanya, Mah, Pah. Ivy mau Raka. Ivy mau egois. Ivy gak mau Raka sama Ayra." Tubuh gadis berpiama putih itu bergetar hebat, disusul dengan getaran yang sama oleh kedua orang tuanya. Mereka bertiga sama-sama menangis, meratapi takdir yang tidak adil. Mereka bertiga sama-sama sakit merasakan pengkhianatan hebat.


"Ivy harus apa sekarang, Mah, Pah? Ivy cuma bisa nangis sambil meratapi ini semua. Ivy gak mau mereka menikah apalagi Ivy yang harus kasih cincinnya ke mereka. Gak adil banget. Hati Ivy sakit banget. Ivy sayang sama Raka. Iv--" 

Ucapan gadis itu terputus membuat Vero dan Vanya sama-sama melihat kondisi putrinya yang sedang sama-sama mereka peluk. Ivy jatuh pingsan. Gadis itu kehilangan kesadarannya entah karena apa, entah karena terlalu banyak menangis atau karena tubuhnya ringkih akibat entah sudah berapa lama gadis itu tidak makan.

"Mas ini Ivy gimana? Apa kita bawa ke IGD aja?" tanya Vanya panik.

"Gak usah, dia cuma kecapekan dan kekurangan asupan aja. Kamu tolong siapin makanan sama air putih ya, Vanya. Bentar lagi juga Ivy pasti sadar kok. Kamu tenang aja." 

"Aku khawatir banget sama Ivy, Mas."


"Kita ada di sini untuk Ivy, Vanya."

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian yang baca part ini!

Gimana part ini? Seru?


Jangan lupa vote dan komennya ya!


Xoxo,

@LuthfiSeptihana🌹

Dokter VS AkuntanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang