"Kamu itu luka, Vin. Setiap sama kamu, aku dijauhi keluargaku."
—Sylvia Ivy Vianly.
***
"Ketemu sama Ravin kan kamu?"
Suara tinggi yang dilontarkan oleh sang ibunda membuat Ivy langsung menoleh ke sumber suara tersebut. Seharusnya ia melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar, namun ia malah melangkah mendekati sosok wanita yang selama ini ia panggil dengan sebutan mamah.
Berulang kali gadis itu menghela napasnya gusar. Apakah Jakarta sejahat ini kepada hidup Ivy? Selama di Semarang, Ivy tak pernah mendengar suara tinggi dari mamahnya, namun kini saat baru beberapa hari di Jakarta, suara tersebut kembali hadir.
"Gak sengaja ketemu," jelas Ivy dengan nada malas. Berusaha menjelaskan panjang lebar pun jelas percuma, kan? Lebih baik Ivy menjelaskan seadanya saja. Ivy malas mempermasalahkan hal yang sebenarnya sepele.
"Kamu seneng ya Vy ketemu sama dia? Makanya kamu minta kita buat kembali ke Jakarta? Kamu masih gagal move on sama dia?" tuding Vanya semakin menjadi-jadi.
Bola mata Ivy menajam, menatap tanpa takut ke arah sang lawan bicara. Gadis itu tak percaya jika sosok ibundanya ternyata masih sama saja, masih keras dan tukang menuduh. Bertahun-tahun pergi dari kota metropolitan ini nyatanya tak mengubah sikap keras Vanya.
"Mamah ngomong apa sih? Aku sama sekali gak ada maksud buat ketemu sama Ravin. Lagian tadi juga enggak cuma Ravin kok, ada Bening, ada Kayla, ada Aksa. Kalaupun iya aku masih gagal move on sama Ravin sampai aku minta buat balik ke sini, aku ketemu Ravin berdua, Mah. Gak perlu aku bawa Raka. Mamah tuh kadang gak mikir ya, aku juga serius sama Raka, Mah! Sembilan tahun aku di Semarang, aku sama sekali enggak kontakan sama Ravin, bahkan sama Kayla pun enggak."
Vanya hanya bisa diam mendengar perkataan dari putrinya, wanita tersebut langsung memijit pelipisnya yang terasa pening. Sungguh, kekhawatirannya benar-benar berada di level atas, ia takut jika putrinya tidak menikah dengan kalangan dokter. Tanggung jawab yang ada di pundaknya sangat berat, ada dua keluarga besar dari kalangan dokter yang dipertaruhkan tradisinya oleh Ivy, keluarga Pati dan keluarga Vianly. Terlebih dari keluarga Vianly, Ivy adalah penerus satu-satunya, cucu tunggal. Mau tidak mau memang harus Ivy yang melanjutkan tradisi, bukan? Menambah relasi keluarga dokter selanjutnya.
"Maaf."
Aneh, Ivy benar-benar merasa aneh dengan sosok Vanya yang berada tepat di hadapannya. Bertahun-tahun tinggal di Semarang ternyata sedikit mengubah gengsi Vanya, ya walaupun masih tak seberapa. Kini Vanya bisa mengucapkan kata maaf walaupun nyatanya masih belum bisa Ivy terima dengan baik. Ivy jelas sakit hati dengan tudingan ibunya sendiri. Tak percaya jika ibunya sendiri pun masih menganggapnya keras kepala dan egois.
"Aku cinta sama Raka, Mah. Aku mau serius sama dia. Aku udah gak pernah kebayang sama Ravin lagi. Bahkan kalau mamah mau tau, Ravin juga udah punya pacar. Bening pacarnya Ravin, Mah. Mereka bentar lagi mau menikah juga."
Tubuh Vanya seketika langsung ambruk, ia terjatuh di sofa dengan mata yang entah mengapa langsung berkaca-kaca. Pasokan udara seolah habis tak bersisa, hatinya seolah diremas-remas, hancur tak bernyawa.
Menyesal, merasa bersalah karena telah egois dengan putrinya. Nyatanya selama ini semua yang putrinya jalani hanyalah kepura-puraan saja, hanyalah sebuah tuntutan supaya keluarga tak menanggung malu.
Vanya tahu siapa Bening dengan baik, Vanya tahu bagaimana dekatnya Bening dengan putrinya sedari sekolah menengah pertama, namun sekarang di saat putrinya pergi jauh ke Semarang dan meninggalkan semuanya di sini, Bening mengambil semua hal yang seharusnya milik Ivy. Bening menggantikan posisi Ivy.
Lantas bagaimana dengan Ivy? Bagaimana dengan perasaan putri tunggalnya itu? Ivy pasti terluka. Ivy pasti sedang tidak baik-baik saja. Ivy jelasnya tidak boleh menerima kenyataan ini. Namun, apa yang harus Ivy lakukan? Ivy pun sudah memiliki kehidupan yang baru, yang jauh lebih disetujui oleh keluarga besarnya. Ivy sendiri sudah melangkah jauh, mengabulkan tuntutan-tuntutan dari semua keluarga besar.
Kini, Vanya sadar jika Ivy banyak tertekannya. Vanya sadar jika Ivy tak pernah berjalan di atas pilihannya sendiri. Ivy selalu dituntut untuk menjadi keluarga besar, bukan sebagai Sylvia Ivy Vianly sendiri.
"Kamu gimana perasaannya, Vy?"
Mata Ivy membulat sempurna, kaget bukan main dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibunda. Ini Ivy sedang tidak salah dengar, kan? Ibunya bertanya tentang perasaan Ivy? Setelah puluhan tahun Ivy dilahirkan dan hidup, ibunya bahkan keluarga besarnya tak pernah bertanya bagaimana perasaan Ivy. Ini adalah pertanyaan yang paling Ivy nantikan.
"I am fine, totally fine, Mom. Mereka udah lama kok pacarannya dan aku juga udah tau dari lama. Kalau mamah mau tau, aku pernah ketemu sama Ravin satu tahun setelah pindah ke Semarang. Ravin abis lomba di sana dan waktu itu aku lagi penelitian. Raka juga ketemu sama Ravin kok, anak kelas juga pada ketemu sama Ravin. Kita berdua, aku dan Ravin ngobrol banyak hal dan satu tujuan aku yang dari awal mau ngobrol sama dia adalah untuk menyudahi semua yang memang belum sempat kita mulai. Minta maaf untuk semua hal yang belum bisa aku tepati janjinya. Kita berdua sama-sama ngerti kalau kita gak bisa bersama, Mah. Jadi sangat gak make sense kalau mamah curiga sama aku kalau aku bakalan balik sama Ravin karena kalau aku mau dan bisa, sejak pertemuan itu seharusnya aku sama dia, mulai semuanya dari awal. Bukan menyudahi gitu aja."
Sungguh, Ivy benar-benar bosan dituduh menjadi sosok yang licik di dalam keluarganya sendiri padahal ia sama sekali tidak ada niatan ke arah sana. Ia sama sekali tidak berkeinginan untuk menyudahi semua hubungan asmara yang memang ia sendiri sudah terlalu larut di dalamnya.
Ivy bingung, tak tahu harus melakukan apalagi supaya keluarganya paham kalau ia tak akan macam-macam. Ivy jatuh cinta kepada Raka, ia tak ingin hubungannya hancur begitu saja.
"Ada apa ini?"
Itu suara dari Vero, pria yang tak bisa disebut muda lagi kini baru saja pulang dari rumah sakit karena tadi pagi memang ada jadwal dadakan untuk melakukan tindakan operasi.
Ivy yang melihat keberadaan Vero pun bungkam, tak mau mengucapkan sepatah kata pun karena ia yakin jika ayahnya pasti akan menyikapi hal ini dengan sama seperti sang ibunda. Tak hanya Vero, bahkan keluarga besar sepertinya akan menyikapi hal yang sama. Mereka tetap berpikiran Ivy adalah gadis egois yang selalu ingin menang sendiri.
"Ivy tadi ketemu sama Ravin di kafe, Pah. Enggak cuma Ravin sih, sama temen-temennya yang lain juga." Akhirnya Vanya lah yang bersuara. Ia menjawab pertanyaan dari suaminya itu dengan lugas.
"Ya udah, gapapa. Yang penting perginya sama Raka, kan? Papah percaya sama Ivy kok. Lagian papah bisa merasakan kalau Ivy tuh sayang sama Raka, begitu pun sebaliknya. Makanya papah percaya kalau kalian berdua gak akan main-main."
Ivy menaikan pandangannya yang semula hanya menatap ke lantai, kini menatap wajah sang ayah. Kaget bukan main jika kini ayahnya sudah percaya dengan Ivy. Kaget bukan main jika ternyata Ivy tidak dianggap remeh lagi oleh ayahnya.
***
Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian semua!
Apa kabar nih?
Kangen gak sih?
Penasaran sama konflik selanjutnya gak nih?
Sampai jumpa secepatnya ya!
Xoxo,
Luthfi Septihana 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter VS Akuntan
Roman d'amourSequel dari "MIPA VS AKUNTANSI" Sangat disarankan untuk baca MIPA VS AKUNTANSI terlebih dahulu. Pernahkah kalian merasa diasingkan oleh keluarga sendiri? Pernahkah kalian merasa dianaktirikan oleh keluarga sendiri? Padahal, nyatanya kalian sudah men...