(Sebatas) Pernah

156 71 13
                                    

Aku bahagia bersamamu, segalanya indah bagiku. Hingga aku melupakan sesuatu, kamu. Enggak selamanya keinginan sesuai dengan harapan, 'kan? Dan pada saat itulah menerima adalah fase yang paling menyakitkan.

Oke. Tarik napas, buang. Kuberanikan diri untuk bertanya sebelum aku dan kamu tidak lagi menjadi kita. Maaf, aku hanya antisipasi saja. Lagipula siapa yang tidak takut untuk kehilangan, ha?

"Kisah kita bernama apa?" Kala itu yang tanpa kusangka adalah terakhir kalinya aku berbicara padamu.

Sebatas pernah, ya? Akui saja, benar atau tidak? Aku butuh jawaban, kuharap kamu menjawabnya. Sedetik, dua detik. Hening, membisu tanpa sepatah kata. Baiklah, tidak mengapa. Toh, aku baik-baik saja--kecuali hatiku--maksudnya.

Kini, aku telah belajar banyak hal; mengubah sudut pandang dan sepenuhnya sadar. Kita, sebatas pernah yang semestinya tidak boleh marah. Semesta hanya mempertemukan aku dan kamu sebagai hadir dan selebihnya enggak lebih dari sekadar mampir. Dasar dari akunya aja, enggak habis pikir, huh!

Lucu, ya, ternyata? Saat tahu kita tak 'kan pernah bisa bersatu, di situlah aku merasa takut kehilanganmu. Sungguh. Apakah aku telah jatuh?

Iya. Jatuh. Jatuh cinta. Kepadamu.

Pilau Kalbu [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang