6. Mancing Mania sama Dono Supriyanto

421 173 62
                                    

Cerita ini hanyalah fiktif belaka









Selesai sarapan pagi dan pembicaraan perihal peristiwa menegangkan tersebut, Eli pamit kepada orang tuanya dan pergi dibawa Jamal walau belum mengetahui tujuan mereka. Kepala gadis itu seperti diselimuti oleh benang kusut, hatinya dari tadi komat-kamit sumpah serapah kepada orang yang tidak dia ketahui identitasnya. Siapa lagi jika bukan si penulis website?

Gara-gara dia, Eli jatuh ke dalam kesengsaraan yang tidak ada jalan keluarnya. Semestinya dia diberi gerbang tempat pelintasan atau setidaknya berikan secuil petunjuk mengenai cara keluar dari sini. Ia semakin yakin jika sang penulis adalah seterunya tatkala memafhumi dia ditaruh ke salah satu tahun misteri paling mencekam yang pernah ada di negeri.

Ditambah lagi dia mesti berjalan kaki dari kemarin, apakah barangkali masa sekarang harga sebuah teknologi transportasi masih sangat mahal sehingga belum banyak yang memilikinya?

"Jamal." panggil Eli di tengah-tengah perjalanan.

"Hm?" sahut Jamal.

"Kita mau kemana sih? Capek tau jalan terus." keluhnya.

"Ini lagi mau jemput kendaraannya, nah itu."

"Ganteng doang, ngajak cewek jalan kaki jemput motor depan warteg." Eli misuh-misuh.

Jamal mengacungkan jari telunjuk ke sebuah motor jadul di depan warung makan. Pria itu bercakap-cakap sebentar dengan pemilik kedai sambil menampakkan senyum, kemudian duduk di motor dan menepuk-nepuk jok belakang seraya melihat Eli terpatung menatapnya.

"Ayo duduk." suruhnya kepada Eli.

"Lo gak takut ada yang maling motor? Naro sembarangan gitu depan warung orang?" tanya Eli.

"Siapa yang ingin mengambil motor butut begini?"

Sesudah Jamal memastikan Eli boncengan di belakang, dia langsung mengegas motor dan mengemudikannya dengan pelan.

"Kita mau kemana?"

Seperti tak ingin diganggu saat mengendarai, Jamal berkata, "Tidak baik mengajak pengendara mengobrol."

"Apa-apaan? Lo ngejalanin motornya kayak siput, bahkan orang yang lagi jalan lebih cepet dari kita. Gue bukan emak lo, jadi lo boleh ngebut deh." cerocos Eli.

"Tidak boleh." tolak cowok tersebut.

"Kenapa? Jalannya sepi." Eli berupaya meyakinkan.

"Justru itu, kalau ada anak-anak kecil tiba-tiba menyebrang bagaimana?"

"Iya gak gimana-gimana."

"Wilayah tempat tinggal kita tidak luas, jadi semua orang-orangnya sudah saling kenal. Kalau ada masalah apa-apa, bisa tidak enak." jelas Jamal.

Namun, Eli menanggapinya dengan keras kepala. "Bla bla bla bla bla."

"Kamu jadi tambah menyebalkan, ya." kata Jamal berusaha menenangkan diri sendiri agar tidak terpancing emosi.

"Loh mal, ada pantai?" ujar Eli seraya menepuk-nepuk pundak Jamal ketika dia melihat ada sebuah laut biru yang luas di sebelah sana.

1983 [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang