10. Jaka ialah Sikopet yang Membagongkan

390 146 47
                                    

Cerita ini hanyalah fiktif belaka









"Oh iya tentu, lo memang banyak dosa sama gue. Udah gue maafin, sana pergi." Eli berlagak angkuh dan menganggap perkataan Jamal sebagai permohonan maaf yang biasa-biasa saja.

"Aku benar-benar minta maaf, el." Namun, Jamal justru tampak sangat memelas dan meminta belas kasihan darinya.

Eli tidak ambil pusing, meskipun dia sebetulnya bingung dengan maksud Jamal. "Iya iya. Hush! Hush! sana." usirnya kembali.

"Tapi selesai kau mengajar, aku jemput ya? Aku mau mengajakmu bertemu dengan Hendri. Ingat kan yang pernah waktu itu aku bilang?" Jamal mengingatkan.

"Iya, inget. Tapi, memangnya lo udah selesai ngajar jam sebelas?"

"Aku selesai mengajar jam dua siang, jadi pulang saja duluan. Nanti aku akan jemput di rumah. Bagaimana? Mau kan?" tawar cowok itu.

"Ternyata lo gak dilan-dilan banget, tapi yaudah gak apa-apa. Jam dua siang di rumah ya?" Eli sedikit kecewa ketika mendengar jika dia harus berjalan kaki lagi pulang ke rumah.

"Iya, aku langsung berangkat ya. Sudah terlambat, nanti malah aku yang kena PR banyak." kata Jamal sambil menstarter motornya, bersiap-siap meninggalkan halaman sekolah.

"Hahaha iya."

Setelah Jamal pergi, Eli segera masuk ke dalam kelas. Dia masih menjadi bintang utama selama melintasi taman, ibu-ibu yang kemarin masih sama dan terbit yang baru pula. Sampai di ruangan, matanya langsung tertuju kepada jendela yang pecah. Ia sungguh khawatir, barangkali pecahannya berceceran di lantai dan dapat melukai anak-anak. Ketika memeriksa lantai, dia lumayan lega melihat seluruh sudut bersih kinclong tanpa ada beling yang berserakan.

Dengan tersenyum lebar, dia mengangkat serta membunyikan tamborin dan berjalan ke depan kelas. "Anak-anak, apakah ada yang tau siapa yang memecahkan jendelanya?"

"Tidak, bu." jawab mereka serempak.

"Bu, Edi datang pagi-pagi sudah pecah." adu salah satu murid.

"Oh begitu, baik. Kalau ada pecahan kaca, segera bilang ke ibu ya. Jangan dipegang nanti tangannya luka." ucapnya lembut.

"Iya, bu."

"Ayo, kita berdoa dulu sebelum belajar."

Eli sesungguhnya tidak begitu paham apa yang harus dilakukannya sebagai guru TK dan malar-malar, dia lupa tentang apa yang pernah dia pelajari semasa umur lima tahun di sekolah. Eli merasa jika tidak ada sesuatu yang dapat dia tekuni waktu itu. Taman Kanak-Kanak benar-benar taman surga tanpa pikulan beban dan overthinking di mana-mana.

Kurun itu bersenang-senang belaka dan menghabiskan uang serta waktu yang berharga. Mirip-mirip geladi resik mengoleksi dosa di masa dewasa. Sangat jauh berlainan dengan masa yang disebut sweet seventeen, padahal kenyataannya pahit banget. Tiap malam pasti selalu mikir yang tidak-tidak, mikirin kesalahan hari ini, sebelum, dan yang akan datang. Pokoknya overthinking adalah sahabat nomor satu.

Akhirnya, mentok-mentok dia memilih untuk mengajak anak-anak bernyanyi, mengajari membaca, menulis, mewarnai dan menggambar meskipun dia jauh dalam bakat tersebut. Dilanjutkan dengan bernyanyi lagi, berdoa, dan triingg! Bel pulang sekolah berbunyi saat jam menunjukkan angka sebelas. Pikiran random dia berbisik-bisik kepada dirinya supaya dengki hati kian timbul.

"Pengen banget balik lagi ke TK."

"Jam sebelas udah pulang."

"Tapi sekarang gue bahkan gak berangkat ke sekolah sih."

1983 [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang