2. Yang Penting Pembunuhku Gud Looking

680 221 116
                                    

ayo sayangss, jangan siderssshh

Cerita ini hanyalah fiktif belaka








"Eli? Eli sudah bangun? Ibu! Eli sudah bangun. Eli sudah bangun, ibu."

Dua wanita menghampiri dirinya yang masih lemas serta keheranan. Mengapa orang asing ini memanggilnya Eli? Ada di mana dia sekarang? Mengapa bukan ibunya yang muncul? Berbagai macam pertanyaan menyeruduk pikiran dan sangat gelisah jika bisa jadi dia sedang diculik.

Ibunya berbohong perihal tidak ada orang yang berniat menculik dia karena sikapnya yang menyebalkan. Buktinya sekarang dua orang aneh yang sok akrab padanya barangkali sedang bersandiwara agar korban penculikan tidak panik. Lalu mereka akan mudah untuk menjual organ-organ tubuh berharga miliknya.

"Eli, ini ibu." seorang wanita dengan keriput di beberapa sisi, menyondongkan kepala.

Seperti tak ingin kalah, gadis berpenampilan bak kembang desa ikut-ikutan menyorong. "Eli? Apa ada yang sakit?"

"Kalian siapa?" dia meraba pelan tengkuknya yang masih berdenyut.

Dua wanita tadi sontak menampakkan wajah terkejut, kemudian menangis dan lekas memeluknya. Segala peristiwa yang terjadi kali ini sungguh menimbulkan prasangka buruk dan tidak enak di hati. Baik, dia janji akan mengerjakan semua pekerjaan rumahnya jika dia dikembalikan ke tempat semula sekarang juga.

Apapun keinginan para guru bahkan tugas video kayang, salto, sampai tari samba pun akan dia jabani. Tapi tolong bawa dia pergi dari sini.

"Ya ampun ndok, ibu salah apa kok kamu bisa jadi begini." wanita ini membelai-belai rambutnya.

"Eni menyesal, bu. Ini semua salah Eni, harusnya Eni tidak biarkan dia pergi sendirian."

"Sudah sudah, kamu ambilkan minum dulu untuk Eli. Sini El, ibu bantu duduk."

"Saya bukan el." ujarnya tidak terima dipanggil 'el'.

"Eli..."

"Siapa kalian?"

"El, maafkan ibu. Ibu tidak bermaksud menyinggung pekerjaan kamu. Kalau kamu suka, yasudah lanjutkan saja."

"Maaf, saya gak tau apa yang ibu omongin. Tapi saya harus pergi."

"Eli!"

"Eli?"

Dia berlari keluar ruangan dan memelankan jalan ketika merasa ada yang sedikit aneh dengan badannya. Semua perasaan itu ditepis jauh-jauh dan kembali mempercepat langkah saat sadar kalau dua wanita tadi lebih aneh ketimbang badannya. Bisa gila dia kalau terus-terusan dihadapkan sesuatu yang tidak gamblang begini.

Waktu menyelusuri rumah, ia makin cemas melihat dinding, kursi, meja, lampu, serta dekorasi yang ada di dalam, semuanya ketinggalan jaman.

Ketika tengah sampai di luar rumah dan memijakkan kaki di aspal, dia mengamati keadaan sekitar. Tidak ada satu pun yang familiar, seolah-olah sedang berada di bagian wilayah dunia lain atau jangan-jangan dia sudah mencapai angkasa? Lantas dia mendongak ke atas dan melihat masih ada cakrawala.

Namun pikiran positif berulang lagi tersingkirkan oleh pikiran negatif yang menyatakan sebuah kenyataan bahwa langit memang memiliki tingkatan yang berlapis-lapis.

1983 [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang