25. Teka-Teki Eli, Jaka dan Jamal

240 50 10
                                    

Cerita ini hanyalah fiktif belaka





"Bu, bapak sudah tidak ada, sekarang Martin yang akan jadi tulang punggung keluarga. Martin janji akan selalu ada untuk ibu dan akan selalu menjaga adik-adik Martin. Martin janji, bu."

Martin bersimpuh di kaki ibunya, wanita paruh baya tersebut duduk di atas kursi hijau dengan tatapan kosong. Mata semua anggota keluarga sudah bengkak akibat tangisan yang tidak berhenti.

Eli...

Eli tau, dirinya yang sesungguhnya tidak begitu dekat dengan sosok 'ayahnya' itu. Namun, ia sadar jika raga yang ada padanya sedang merasakan sakit teramat sakit yang mendalam ketika mengetahui jika bapak telah tiada.

Pulang-pulang dari makan siang bersama Jamal, ia disambut Martin dengan wajah yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Wajah Martin yang penuh ratapan. Baru kali itu, ia menengok raut tanpa harapan oleh seorang Martin. Teguh sekali ia berkata-kata depan ibu, padahal di balik semua itu ia rapuh.

Sangat rapuh menyadari bahwa ia telah kehilangan sesosok bapak. Sangat perih memandangi adik-adiknya yang belum siap akan kepergian salah satu orang tersayang bagi mereka. Rasanya ingin berkata, "Pak, Martin hancur. Martin hancur tanpa bapak."

Eli keluar, meninggalkan rumah beserta tamu-tamu yang telah memenuhi seluruh ruangan. Ia tidak ingin menerima semua duka dari orang-orang, sudah cukup muak. Sekarang dadanya malah terasa makin panas, barangkali di pinggir jembatan ada sedikit angin yang mampu menyejukkan hati.

Ia mendengar bunyi papan jembatan kayu yang diinjak semakin mendekat ke arahnya. Eli tau ada seseorang yang mengikuti dia dari tadi. Masa bodo dengan siapapun itu, atau jika takdirnya untuk didorong sekarang pun ia rela-rela saja. Iya, seputus asa itu dia.

"Dia pergi. Udah pergi."

"Ini bukan akhir dari hidupmu."

"Kadang... gue mikir, dosa apa yang pernah gue lakuin sampe bisa berdiri di sini."

"Semua pernah melakukan dosa, dan mendapatkan ganjarannya."

"Gue tau. Apa mungkin... gue kurang cocok jadi manusia. Seharusnya gue gak jadi manusia, kenapa gue gak jadi air aja? Tanaman... tumbuhan... atau bahkan udara. Mungkin jadi angin lebih enak."

"Kamu ingin diterpa tanpa arah?"

"Gue suka jalan-jalan. Gue marah kalau ditinggalin sendirian di rumah. Rasanya kayak ditinggalin seisi dunia. Jadi, terbang tanpa arah gak jadi masalah bagi gue."

Jaka tertawa kecil. "Kamu mau aku ikut aku terbang tanpa arah?"

Eli menoleh ke samping, menatap Jaka. "Kemana?"

"Tadi katanya tidak menjadi masalah bagimu jika kita terbang tanpa arah."

"Bener juga. Tapi gue capek kalau mau jalan kaki."

"Motorku rusak, mari kita pakai sepeda di rumahku."

Jaka berjalan terlebih dahulu, menuju rumahnya yang berada di samping sungai. Eli mengikuti dari belakang, memandang kosong ke arah sepeda yang bersandar pada dinding kayu itu. Sepeda merah muda yang warnanya sudah pudar serta berkarat.

"Sepeda siapa ini?"

Bukannya menjawab, Jaka malahan mendudukan diri di sepeda yang lainnya. "Aku pakai yang ini, yang warna biru."

Eli naik, mencoba menggoes sepedanya sampai di depan jembatan. Jaka menyusul dan membalap Eli. Lelaki tersebut sesekali menengok ke belakang sambil memelankan kayuhan sepedanya, menunggu dan berharap Eli segera mengikuti jejaknya.

1983 [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang