20. Secuil Contoh Kekejaman di Kota

277 87 18
                                    

Cerita ini hanyalah fiktif belaka






Yang tadinya hanyalah sebuah lirikan, berubah menjadi tatapan dengan waktu lumayan lama. Eli tentu ketar-ketir, dalam hati. Namun, tetap saja tidak dapat dipungkiri bahwa badannya sedikit gemetar sebab diberi pandangan tajam yang tidak ia mengerti juga apa artinya.

Apa dia marah karena roh lain ini masih mendiami tubuh Eli? Masa bodo, toh hari ini kita harus senang-senang di kota. Meski lapar tiba-tiba menyerang mereka yang memang pada belum sarapan. Jadi, 9 anak desa ini makan bubur ayam di Mall yang baru saja buka.

Jamal kebetulan melihat Eli berdiri dengan tatapan terpaku kepada Eni dan Jono yang sedang sibuk memilih-milih barang-barang perlengkapan isi rumah. Ratapan tanpa ekspresi tersebut membuat Jamal menerka-nerka apa yang ada di pikiran Eli saat ini.

Eli berbalik, sedikit terperanjat mengetahui Jamal ada di belakangnya. Kemudian ia hanya tersenyum kecil.

"Mau seperti mereka juga?" goda Jamal.

"Hih! Ngomong apaan sih, Mal." Padahal mah dalam hati udah jedag-jedug.

"Tadihya aku kira kamu suka pada Jono."

"Hell!.. no way, Budiman isn't my type."

Jamal mengernyit sambil tersenyum manis. "El, kamu jadi sangat pandai bahasa inggris."

"Heuh, dah biasalah."

Kali ini lelaki itu melempar pandangannya ke sepasang kekasih di depan. "Terkadang aku berangan-angan, anak-anakku kelak akan fasih berbahasa asing seperti kamu."

Eli berusaha mencerna kata demi kata yang Jamal sampaikan, tentu saja dia langsung salah tingkah gara-gara Jamal tidak seperti biasanya hari ini. Harusnya Jamal tak agresif, apalagi asal ceplas-ceplos begini. Jujur saja, Jamal sungguh-sungguh bikin salah paham.

Jamal pun baru sadar dan lantas buru-buru meyambung kalimatnya lagi. "A-aku mau kerja keras supaya nanti anak-anakku bisa belajar di sekolah yang bagus."

Ku ajak kau melayang tinggi,
dan ku hempaskan ke bumi.

"Ah iya, iya bagus mal. Kerja keras, semangat." Eli mengangkat tangan kanannya yang mengepal meskipun dengan intonasi yang terbata-bata.

"Mau liat dong!" Eli kabur menghampiri kembarannya sebab tak tahan dengan suasana canggung di sana. "Itu tuh bagus tuh, yang itu aja. Udah bagus yang itu."

Jamal yang ditinggal secara tiba-tiba, hanya bisa melongo dan kemudian tersenyum kecil. Padahal menyadari betapa tidak enaknya suasana tadi, seharusnya ia hanya bisa terpaku dengan pipi memerah. Namun, malahan cukup membuatnya terkekeh geli untuk hari ini.

Sembilan orang dari desa itu sekarang memilih untuk keluar dari gedung. Mereka mencoba untuk berkeliling dengan berjalan kaki. Beruntung lah, langit tidak panas dan tidak juga hujan pun ikut serta mendukung jalan-jalan mereka siang ini. Semua sedang fokus bersenang-senang.

Tak terkecuali Eliyana, si gadis riang nan pecicilan yang besar kemungkinan dapat menghilang kapan saja. Namun, belum siap untuk menghilang dari dunia ini. Ia sebenarnya masih mau bersenang-senang bersama teman-teman 'baru' nya. Meskipun kenyataan banyak yang tidak mengenakan.

Eli berjalan lebih dulu, agak berjauhan dari rombongan supaya tidak ada yang melihat tindakan celamitannya. Akan tetapi, ia tidak tau kalau bisa saja tindakannya sekarang ini salah dan malah membahayakan. Ya... namanya juga Eli, Eli yang sekarang tidak bisa dilarang apalagi dinasehati.

Ia butuh pengasuh di sini, mungkin ada satu orang yang bisa menjadi pengasuhnya. Tidak ada yang menyadari jika Eli telah keluar dari rombongan. Sementara Jamal yang justru berjalan paling belakang, melihat perempuan tersebut dengan girangnya pergi jauh sambil melompat-lompat kecil seperti bocah berumur 5 tahun.

1983 [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang