Terpaan angin lagi-lagi meniup surai hitam remaja yang kini berbaring di taman belakang rumahnya, entahlah, remaja itu memilih untuk membaringkan diri di sana. Padahal, jelas-jelas teras rumah yang memang sudah tergelar karpet di sana.
Remaja itu menggenggam kalungnya, melihat liontin itu dengan lekat. Lantas menaruhnya di atas dada, dan kembali menatap langit biru di sana. Perasaan rindu itu kembali bersemayam pada lubuh hatinya. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menyembuhkan rasa rindunya.
"Gue harus apa?" Ia bertanya kepada dirinya sendiri. Jelas ia sangat bingung sekarang. Ia sangat ingin mengetahui kakak dan orang tuanya, kalau ia bertanya kepada tantenya kemungkinan besar ia tidak langsung mendapatkan jawaban. Jadi ia harus apa?
Seketika ucapan temannya tadi siang menggema di otaknya, terus berulang kali sampai membuatnya pening.
"Gue harus cari buku yang biasa Jiji nulis nomer hp orang nih, tapi di mana? Oh, di laci bawah tangga. Heem itu." Ia bangkit, melangkah menuju tempat tujuannya. Yaitu lemari laci di bawah tangga.
Sampai di ruang tengah, Adzel menengadahkan kepalanya. Takut jika tante dan omnya melihat, mengingat ini sudah malam. Tentu saja Raeji akan marah jika dirinya tidur telat, bagaimanapun dirinya masih masa pengobatan di negara ini.
"Di laci yang berapa sih? Banyak banget," keluhnya masih mencoba mengecek semua laci yang tersisa. Sampai ia menemuka buku panjang, lalu ia mengambilnya. Membawanya ke kamar.
"Eh, anjir kaya buku tagihan hutang!" Ia terkekeh, dengan tangan yang sibuk membalik satu persatu lembar buku. Sampai ia menemuka nomor yang ia cari sedari tadi. Yaitu nomor kakaknya, Ozkar.
Ia menekan beberapa digit nomor di ponselnya. Setelahnya ia menekan tombol berwarna hijau, menunggu sambungan di sebrang sana. Setelah mendengar suara nada sambung, ia mendaratkan ponselnya di depan telinganya.
"Ha-halo?" Ia mencoba menyapa, nadanya sedikit bergetar karena terlalu gugup.
Tapi, setelah mendengar suara di sebrang sana. Dirinya di buat membeku, ini bukan suara kakaknya. Ia sudah sangat hafal dengan suara kakaknya itu. Kalau boleh ia beri tahu, ini adalah suara... omanya.
"Halo, ini dengan siapa? Maaf cucu saja sibuk untuk menanggapi manusia tidak ada kerjaan seperti anda."
Ia meneguk selivanya, rasanya tenggorokkannya sudah sangat kering sekarang. Sudah berapa lama dirinya tidak bertemu dan mendengar cibiran sang nenek?
"Ha-halo oma, i-ini Adzel." Sungguh, rasanya berat sekali untuk sekedar berbicara dengan lancar.
"Hais, saya kira anak penyakitan sepertimu sudah tinggal nama di sana. Ternyata masih hidup! Baru sekarang kamu menghubungi kakakmu? Tck, sudah lupa diri ternyata. Sebaikanya kalau kamu tidak ingin mengatakan apapun, lebih baik saya matikan saja." Suara itu terlalu tegas untuk dirinya, suara yang terdengar dingin.
"O-oma, Adzel mau ngomong sama kakak, kakak ada?"
Butuh beberapa detik untuk mendapat jawaban dari sebrang sana sampai rungunya tidak sengaja menangkap suara kekehan dari sana.
"Untuk apa? Tidakkah kurang sopan menanyakan seseorang setelah 3 tahun melupakan? Sebaiknya kamu urus saja penyakitmu yang sangat menyusahkan itu. Saya yakin, jika Reaji keteteran mengurus penyakitmu di sana. Sangat-sangat merepotkan. Beruntung kamu tinggal di sana, jadi cucu saya tidak akan di repotkan olehmu untuk mengingatkan minum obat dan semacamnya. Dan perlu saya ingatkan, Ozkar saya sudah tidak lagi menginginkan kamu berada di sini. Camkan itu!" Setelahnya, sambungan berakhir begitu saja.
Ia menunduk, membiarkan ponselnya terjatuh ke bawah. Ia menyentuh dadanya yang berdebar kencang, ia yakin jantungnya juga merasakan hal yang sama seperti hatinya. Ia melirik pintu kamarnya yang terbuka sedikit. Semoga saja tantenya tidak mendengar apapun dari kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
D U N I A A D Z E L [END]
Teen FictionJika hadirnya memang tak lagi diinginkan,mengapa ia harus dilahirkan di dunia? Mengapa ia pernah di nanti-nantikan, jika akhirnya di singkirkan? Apakah ia hidup hanya untuk di permainkan saja? Mengapa semua orang selalu membuatnya terluka? Apakah se...