D U N I A 10

1.7K 118 3
                                    

Di siang hari ini, adalah hari dimana sangat menjadi beban untuk Adzel dan Ozkar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di siang hari ini, adalah hari dimana sangat menjadi beban untuk Adzel dan Ozkar. Karena pada saat ini, Adzel akan pindah ke rumah tante mereka. Ya.. walau begitu, Ozkar sangat berat melepas adiknya untuk tinggal bersama sang tante, tapi ini demi sang adik.

Adzel terus menggoyang-goyang 'kan kedua kaki mungilnya. Dirinya bingung, harus ikut dengan sang tante atau melanjutkan tinggal dengan kedua orang tuanya. Ia sangat bingung, lantas. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Bocah 14 tahun itu memilih turun dari tempat tidurnya. Lalu melangkah menghampiri sang tante kesayangannya itu. "Ji, apa harus sekarang juga? Acel masih mau sama Kak Ozkar." Tutur anak itu, nada suaranya masih terdengar serak.

"Kan kalian masih bisa ketemu, belum juga kamu Jiji bawa pergi keluar negri nanti." Mata keduanya membelalak, terkejut dengan kalimat yang tante mereka tuturkan.

Ozkar menghampiri tantenya, ikut beelutut, mensejajarkan posisi ia dan tantenya. "Maksud Jiji? Acel mau Jiji ajak keluar negri? Tanpa ngajak aku, yang jelas-jelas kakaknya dia?" Ia bertanya. Raut wajahnya tampak terlihat kecewa dengan tantenya itu.

"Lho, kan kamu bisa minta orang tua kamu buat bulak-bulik kelua negeri. Sedangkan adik kamu? Apa dia pernah kalian ajak berpergian keluar? Nggak kan? Lagia kenapa reaksi kamu kaya gini sih? Kamu nggak percaya kalau Jiji bisa jaga adik kamu lebih baik lagi." Raeji tersulut emosi, mukanya seketika berubah menjadi merah karena kesal.

Adzel menatap keduanya dengan sekali kedipan, ia tidak percaya kalau mereka hampir bertengkar karena dirinya. Lalu, kedua matanya melirik sang kakak yang kini memilih untuk menghindar dari mereka. Memilih menghindar dari hadapan tantenya lebih tepatnya.

Ia mengikuti sang kakak dari belakang, kaki mungilnya itu terus mengikuti langkah sang kakak dengan berjalan lambat. Ia tidak tahu kalau langkah kakaknya terhenti, jadi ia menumbruk tubuh sang kakak dan membuatnya hampir terherebab kalau saja kakaknya tidak menahan tangannya.

"Lo ngapain ngikutin gue? Gue mau pulang. Sana lo pulang sama Jiji, lo senengkan bisa tinggal sama orang yang udah anggap lo sebagai anak dia? Gue tau itu. Udah sana, gue mau pulang. Sekarang nggak ada lagi harapan buat gue selalu jagain lo, karena gue tau, sebentar lagi lo akan pergi dari sini dan itu bukan waktu yang singkat. Jadi, mulai sekarang. Lo buang jauh-jauh harapan lo buat bisa dekat sama ayah dan bunda." Setelahnya ia melanjutkan langkahnya, neninggalkan adiknya yang kini tengah menunduk dalam menahan tangisannya. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk berbicara seperti ini, ia hanya ingin adiknya bisa bahagia dengan tantenya itu.

Langkahnya semakin jauh, bersamaan dengan teriakan memanggil sang tante kepada adiknya. Ia membalik'kan badannya, setelah berhasil menemukan tempat untuk bersrmbunyi. Ia melihat bagaimana adiknya terisak oleh kalimatnya barusan. Sungguh, ia tidak tega melihat adiknya menangis seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, ia sudah terlanjur kecewa dengan tantenya itu.

Samar-samar, ia mendengar tantenya mengucapkan sesuatu dengan adiknya. Yang membuat dirinya terpaku dengan beribu kalimat yang tertahan. "Kayanya sekarang kita harus cepat-cepat pulang ke apartement Jiji, dan nanti sore kita lanjut pergi kebandara. Soalnya, maneger Jiji tiba-tiba nelpon buat berangkat kesana sekarang."

D U N I A   A D Z E L  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang