"Adzel collapse." Dua kata yang membuat Ozkar dengar mampu membuatnya runtuh seketika, ponselnya terjatuh begitu saja setelah panggilan di sembrang sana terputus. Ozkar limbung, hampir menyentuh tanah jika saja Rivan tidak menahan badannya.
Ia berjongkok di bantu dengan Rivan, lelaki itu menjambak rambutnya dengan frustrasi. Meraung-raung, menangisi semuanya yang tertahan selama ini, salah satunya adalah hal ini. Mendengar kabar yang sebenarnya tidak ingin ia dengar, adiknya kembali merasakan sakitnya penyakit yang di derita, merasakan kembali dinginnya AC rumah sakit. Juga yang lainnya yang membuat adiknya itu kewalahan, hal tersebut membuat kedua sahabatnya kebingungan. Ada apa dengan sahabatnya itu? Mengapa dia seperti ini? Carlos berinisiatif untuk mendekat, memeluk Ozkar dari samping. Berniat untuk menguatkan lelaki itu.
"Ada apa? Lo tenangin diri dulu oke, baru lo cerita sama kita. Pelan-pelan aja, kita nggak maksa lo kok Zkar." Ucapnya dengan suara lembut, ia mengusap-usap pundak Ozkar. Memberikan afeksi kepada lawan bicaranya, dan di respon dengan anggukan ringan.
Lima menit berlalu, Ozkar sudah berhenti menangis. Dan sekarang ia sedang menyandar pada sandaran sofa, ngomong-ngomong sekarang mereka bertiga sudah kembali ke villa. Jadi sedari tadi mereka memang sedang kumpul di ruang tengah dengan cemilan yang berserakan dimana-mana, Rivan datang membawa secangkir air putih hangat. Memberikannya kepada Ozkar, dan langsung di terima oleh sang empunya.
Ozkar meminumnya hingga setengah, lalu menaruhnya di atas meja. Lelaki itu menghela napasnya pelan, mencoba menetralisir rasa cemas dan sesak yang ia rasakan setelah menangis tadi.
"Gimana? Tadi apa yang buat lo kaya barusan? Cerita in semuanya Zkar," Carlos kembali membuka suaranya, menatap sahabatnya dengan lamat. Dan Rivan yang kini memasang kedua telinganya, bersiap mendengar semuanya dari bibir sahabatnya itu.
Ozkar mulai menarik napasnya, bersiap untuk menjawab pertanyaan Carlos barusan. "Tadi gue baru aja nelepon bunda, awalnya biasa aja. Sampai beberapa detik kemudian, gua ngobrol ringan sama Jiji. Iya di sana aja Jiji, lalu gue tanya keadaan adek gue. Dia bilang," Ozkar menghentikan kalimatnya untuk menatap kedua sahabatnya gantian sebelum ia kembali melanjutkan perkataannya. "Dia bilang, kalau Adzel, adek gua collapse. Gue mohon Los, Van kita balik ke Jakarta sekarang juga. Gue mohon, GUE MOHON LOS. Hiks," Ozkar menggoyang-goyangkan bahu Carlos dengan isak tangis yang kembali datang.
Carlos bungkam, ia diam. Ia tahu dimana letak ketakutan Ozkar sekarang, seorang kakak mana yang tidak takut dan cemas ketika mendengar kabar buruk tentang orang yang terkasih nya. Dengan perlahan, Carlos membawa Ozkar dalam pelukan hangatnya. Menyalurkan kehangatan yang ia punya, sambil mengucapkan sesuatu yang membuat Ozkar menatapnya.
"Iya, besok kita pulang. Cuaca hari ini lagi nggak bagus Zkar, yang ada bukan cuma adek lo yang masuk rumah sakit. Tapi lo juga, bahkan mungkin mampir ke kamar jenazah Zkar."
"Carlos benar Zkar, pihak penerbangan juga bakal ngebatalin jadwal pemberangkatan kalau cuacanya kaya gini. Lusa baru bisa, nggak papa kan?" Rivan menyahut, membuat Ozkar menunduk dan mengangguk. Rivan tersenyum, lalu ia menyambar ponselnya yang berada di atas meja.
Dan diam-diam ia melakukan sesuatu yang tidak terduga, yaitu memesan tiket pesawat untuk besok lusa tanpa sepengetahuan dua sahabatnya yang lain. Niatnya, supaya nanti mereka tinggal berangkat saja.
••••
Kyle menengadahkan kepalanya, menatap hamparan titik-titik di atas sana. Langit malam ini lumayan cerah, udara sejuk yang ia rasakan membuatnya sedikit tenang. Setelahnya ia kembali menunduk ketika tiga kata kembali teringat, kanker stadium akhir. Suatu hal yang membuatnya ikut merasakan jatuh pada jurang yang paling dalam, sore tadi dokter menyampaikan kabar buruk ini kepadanya yang harus ia sampaikan kepada wali dari pasien.
Ia memang telah menyampaikan hal tersebut, dan setelah melihat reaksi dari Raeji, membuatnya ikut bersedih hati Raeji menangis diperlukan sang suami dan dirinya yang harus terus menjawab semua pertanyaan dari gadis kecil yang ia gendong saat itu. Tidak ada waktunya untuk ikut menangis sore tadi, kini waktunya ia yang harus mengeluarkan semua emosinya. Dirinya kembali menunduk, menatap kedua kakiny. Kedua tangannya mencoba menjambak rambut belakangnya, berniat untuk meredakan tangisannya dan menenangkan suasana hatinya. Tapi percuma, detik selanjutnya ia masih menangis walaupun tidak separah sebelumnya.
"You are great (kamu hebat), bertahan sejauh ini dengan tujuan yang kurang pasti. Kamu tersiksa karena penyakit itu, tenaga mu terkuras habis karena menahan hasrat mu untuk tetap ada di sini. Sayangnya, aku tidak bisa terus di sini Zion." Monolognya dengan isakan yang mulai mereda, ia menghapus sisa air matanya. Lalu bangkit dan pergi menuju parkiran, ia akan pulang dan mengistirahatkan tubuh lelahnya malam ini dan kembali besok pagi ketika semuanya baik-baik saja. Berdoa saja.
••••
Jauh di alam bawa sadar sana, seorang lelaki dengan pakaian putihnya sedang berdiri pada pohon rindang. Menatap seorang lelaki lain yang kini sedang menangis, tidak terlalu jauh dari pandangannya. Ia berjalan menghampiri lelaki itu dengan langkah ringannya, lalu berdiri tepat di belakang lelaki itu. Mendengarkan apa yang lelaki itu katakan, ia tersenyum sebagai respon.
Ia sadar, ini adalah alam bawa sadarnya. Tidak ada yang bisa melihat kecuali dirinya yang hanya bisa melihat mereka, dari hari ketika ia tidak sadarkan diri. Dirinya terjebak di sini, seharusnya sekarang ia sedang berada di pelukan sang nenek dan mendengarkan sebuah cerita. Tapi entah kenapa, dirinya berada di sini. Tidak ada yang tahu, ya memang.
Tadi siang, ia melihat tubuhnya yang sedang terbarik di atas ranjang. Lagi-lagi dengan alat-alat sialan itu, rasanya ingin ia cabut satu-persatu. Tapi jika ia cabut, mungkin dirinya akan disemayamkan keesokan harinya. Dunia ini sangat-sangat lucu, puncak komedi. Semua ini akan selesai jika dirinya sadar nanti, kedua orangtuanya mungkin akan kembali ke pelukannya. Dan kakaknya juga akan kembali memeluknya, tapi tidak akan ada yang tahu jika kelanjutannya akan seperti apa.
Ia tahu, bahwa apa yang ia lakukan tidak akan sia-sia. Walau harus merasakan pahitnya hidup selama bertahun-tahun, sakit sana-sini, luka sana-sini, semua ia lalui dengan kesabaran yang super maksimal. Seharusnya ia bangga menjadi aktor paling berbakat pada kisah hidupnya, seharusnya ia bangga pada pencapaian yang hampir sempurna ini.
Tapi apa boleh buat, dirinya hanyalah remaja yang haus akan kasih sayang. Dirinya adalah remaja yang sangat merindukan pelukan hangat orangtua, dan dirinya hanya remaja yang kapan saja akan menjadi orang dewasa. Hanya manusia biasa yang Tuhan kirim kisahnya melalui kesedihan, yang Tuhan kasih skenario nya melalui ending yang akan ia terima nanti. Siap tidak siap, dirinya akan lalui.
Tuhan lebih tahu, apa yang harus ia lakukan atau tidak. Besok, dirinya akan kembali pada tubuh lemahnya itu. Dirinya ingin melakukan apa yang harus ia lakukan keesokan hari, melihat wajah-wajah yang menjadi sebab akan kerinduannya. Jujur ia sangat merindukan orangtuanya dan juga orang-orang yang ia sayang.
Ia berbalik, berjalan menuju ruangan yang seharusnya dirinya juga tempati. Lalu setelah ia sampai dan duduk di atas ranjang, ia mulai merebahkan dirinya. Besok, sesuatu akan terjadi.
•••••
Hai, kangen aku nggak nih? Hehe, sorry jarang update ya. Kali ini sedikit dulu ya, sampai bertemu nanti
KAMU SEDANG MEMBACA
D U N I A A D Z E L [END]
Teen FictionJika hadirnya memang tak lagi diinginkan,mengapa ia harus dilahirkan di dunia? Mengapa ia pernah di nanti-nantikan, jika akhirnya di singkirkan? Apakah ia hidup hanya untuk di permainkan saja? Mengapa semua orang selalu membuatnya terluka? Apakah se...