D U N I A 14

1.3K 98 2
                                    

Jika kemarin Raeji mendapati keponakannya yang jatuh pingsan, kini ia juga mendapati deretan nomor tidak asing di ponsel keponakannya itu. Ia yakin, jika Adzel baru saja menghubungi salah satu keluarganya di sana.

Ia tidak melarang anak itu untuk menghubungi keluarganya, hanya saja ia takut yang seperti ini akan terjadi. Dan benar saja, kejadian seperti ini terjadi. Keponakannya masuk rumah sakit, sejak kemarin belum juga sadar. Semenjak kemarin pula, putrinya menangis karena melihat kondisi kakaknya yang terkulai lemas di atas brankar.

Untungnya, sekarang keponakannya itu sudah sadar. Bersyukur tidak terjadi apa-apa. Dan kini, Adzel sedang bermain dengan anaknya. Rasanya, ia tidak rela jika suatu saat nanti keponakannya itu meminta izin untuk pergi menyusul keluarganya di negeri sana.

"Ji-Jiji, maaf kemarin Acel coba telefon kakak. Tapi... yang angkat oma," Adzel menunduk, enggan memperlihatkan wajah pucatnya. Ia takut jika tantenya akan marah padanya nanti.

"Iya, Jiji maafin, tapi jangan di ulangin lagi ya? Acel boleh coba telefon kakak, tapi Acel harus izin sama Jiji, oke?" Raeji melangkah menghampiri keponakan dan anaknya itu, mengusap surai keduanya secara bergantian dengan sayang.

"Mam, what are talking about? Why don't understand?" Raeji terkekeh mendengar penuturan putrinya itu, ia lupa jika anaknya belum sempat di ajarkan bahasa asing.

"Hahaha, no. Looks like you should start learning Indonesian," sekali lagi Raeji mengusap surai anaknya sayang.

"Ji, kapan kita balik ke Indonesia?" Raeji terdiam, sudah ia duga sedari awal. Keponakannya akan menanyakan hal demikian, jujur saja ia masih belum bisa pulang ke sana untuk sekarang ini. Ia juga masih khawatir dengan kesehatan keponakannya, walau ia tahu anak itu sangat merindukan keluarganya di sana. Begitupun dengan dirinya.

"Nanti," hanya itu, hanya itu yang bisa Raeji ucapkan sebagai balasan. Lidahnya seakan kelu hanya untuk melontarkan kalimat lebih.

Adzel menunduk, ia juga sudah menduga bahwa balasan dari pertanyaannya barusan akan seperti ini. Adzel sungguh sangat merindukan kakaknya dan kedua orang tuanya, tapi mengingat kalimat-kalimat yang keluar dari ranum neneknya dua hari lalu membuatnya ragu untuk kembali ke negara asalnya.

Sekarang ia bingung, mengikuti apa kata tantenya? Atau mengikuti kata hatinya?

Karena tidak tahu jawaban dari pertanyaannya, Adzel lebih memilih untuk kembali membaringkan tubuhnya. Mencoba mengistirahatkan diri, siapa tahu setelah ia bangun nanti. Datang beribu jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Mencoba mengabaikan suara gemuruh di dalam hatinya yang kembali menjadi kepingan-kepingan asa.

°°°°

Ozkar berjalan dengan santai, langkahnya seakan seringan kapas. Berjalan menelusuri koridor dengan kedua matanya yang sendu, binarnya redup. Ia tidak tahu mengapa dirinya seperti ini, firasatnya mengatakan jika adiknya sedang tidak baik-baik saja. Apa mungkin memang anak itu tidak baik-baik saja?

Semenjak mengetahui jika kemarin omanya yang masuk ke dalam kamar serta nomor tidak di kenal itu berada di barisan panggilan terbaru, ia memiliki insting yang buruk maupun baik. Ia berfikir jika nomor itu adalah milik adiknya, tapi setelah di hubungi kembali, tidak ada yang mengangkat telefonnya. Nomornya tidak aktif.

Hari ini pula ia melewatkan jam pertamanya. Pikirnya ia tidak akan fokus memperhatikan materi jika keadaannya seperti ini, ia hanya butuh istirahat sekarang. Mungkin UKS kampus tujuannya.

"Eh, Kar! Mau kemana?" Dari belakang, suara Carlos terdengar. Berlari menghampirinya dan berhenti tepat di sampingnya.

"UKS, kenapa?" Terlihat remaja di sampingnya ini menampilkan raut cemasnya.

D U N I A   A D Z E L  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang