D U N I A 19

1.5K 105 6
                                    

Hujan turun dengan derasnya, membasahi kota Jakarta yang begitu padat oleh hiruk-pikuk penduduk. Dua pasang suami istri ini tengah menunggu, menunggu lampu merah berubah warna menjadi hijau. Raeji terlihat cemas, entah mengapa perasaan nya tidak enak, dipikirannya hanya ada nama sang ponakan saja. Bagaimanapun, Adzel  masih perlu pengawasan darinya. Ia hanya takut jika suatu hari Adzel kembali seperti 3 tahun silam.

Ia melirik suami dan anaknya, lantas tersenyum melihat sang buah hati tertidur lelap di kursinya. Lalu berganti menatap suaminya, raut wajahnya terlihat jelas jika ia sangat khawatir.

"Mas, masih lama ya?" Ia bertanya dengan nada lirihnya.

Hansel menoleh, menautkan alisnya. "Kenapa memangnya sayang?" Ia balik bertanya, menatap setiap inci wajah sang istri yang nampak pucat itu.

"Kamu sakit? Mukamu pucat," ucapnya, Raeji hanya menggeleng lalu ia menyandarkan tubuhnya pada kursi penumpang.

"Aku khawatir sama Acel mas, perasaan aku nggak enak. Aku takut anak itu kenapa-kenapa, dari tadi aku chat nggak dia balas." Ujarnya dengan nada yang sedikit lirih sambil menatap sang suami berkaca-kaca.

Hansel yang melihatnya segera mengulurkan tanganya, mengusap kepala lalu pipi sang istri dengan lembut. Berharap bisa menyalurkan hangat yang ia punya, "sabar ya sayang, aku yakin sebentar lagi--

Detik itu, lampu berganti warna. Dan sudut bibir Hansel terangkat mengukir senyum manisnya. "-- tuh lampunya udah hijau." Setelah itu, mereka kembali melanjutkan kendaraan mereka. Menuju rumah yang baru beberapa hari mereka tempati di kota ini.

••••

Di lain sisi, dua pasang suami istri pula sedang sibuk melacak nomor yang baru saja menghubungi mereka. Berniat untuk mengetahui lokasi nya, namun beberapa menit kemudian nomor tersebut sudah tidak dapat dilacak kembali. Membuat keduanya bingung harus berbuat apa sekarang, hanya pasrah yang harus mereka terima.

Sedangkan di sisi lain, Kyle datang dengan langkah yang terseok-seok. Mendobrak pintu kamar sahabatnya dengan sekuat yang ia bisa, feeling nya tidak karuan ketika mengingat nama sahabatnya ini. Dan benar saja, ketika ia berhasil mendongkrak pintu kamar itu. Adzel terbaring dengan darah yang mengalir dari lubang hidungnya, dengan panik Kyle berlari ke arah sahabatnya terbaring.

"Yon! Zion, bangun. Lo denger gue kan Yon?" Ia menggoyangkan tubuh sang sahabat, berharap sahabatnya itu dapat merespon nya dengan benar. Tidak sengaja, ia melihat ponsel Adzel yang tergeletak tidak jauh dari sang pemilik.

Ia mengambilnya, melihat panggilan yang belum lama di lakukan. Di sana tertera dengan jelas nama sang pemilik nomor, membuatnya mengingat sesuatu.

"Bunda," gumamnya dan detik itu ia mengingatnya.

"Bunda dia itu nggak pernah mengharapkan Zion lahir, perempuan itu selalu nolak keberadaan anaknya hanya karena kejadian itu. Bagi dia sekeluarga, Zion adalah anak sial. Bahkan mereka nggak tahu kalau anaknya sakit parah, yang dia tahu kalau anaknya seorang yang penyakitan. Sudah berulangkali Jiji bilang baik-baik, sama sekali nggak ngaruh Le. Sampai akhirnya Jiji bawa dia ke sini, kota kelahiran suami Jiji."

Kyle menatap nanar sahabatnya, tidak di sangka remaja ini berani menelpon sumber kesengsaraanny. Tanpa pikir panjang, Kyle memblokir dan mencabut kartu perdana dari ponsel sahabatnya. Feeling nya mengatakan cepat atau lambat, mereka akan melacak keberadaan sang sahabat. Entah untuk kebaikan atau kejahatan nantinya, setelah itu. Ia membopong Adzel, pergi keluar rumah untuk di bawa ke Rumah Sakit terdekat.

Ia membuka pintu mobilnya dengan sedikit kesusahan, lalu menidurkan Adzel dengan perlahan setelahnya ia berlari ke pintu kemudi membuka pintu kemudi dengan sedikit cepat dan menutupnya dengan sedikit kasar. Ia juga menyalakan mesin mobil dan menancap gas dengan kecepatan sedang, beruntung ia sudah bisa mengemudi mobil. Jika tidak, ia tidak tahu apa yang terjadi nantinya.

••••

Hari sudah malam, dan sampai saat ini Adzel belum juga sadarkan diri. Remaja itu masih asik dengan pejamnya, membuat mereka khawatir karena anak itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan siuman.

Bicara-bicara, Raeji dan suami sudah ada di sini. Sebelum itu, Kyle menelpon salah satunya untuk cepat pergi ke Rumah Sakit terdekat. Awalnya Raeji menanyakan banyak hal tentang keponakannya, dan dengan senang hati ia menjelaskannya kecuali waktu Adzel menelpon bundanya.

Ia hanya tidak mau wanita itu kembali harus menjauhkan Adzel dari keluarganya, walaupun ia sempat mencabut kartu perdana yang itu dan di ganti dengan yang baru. Tidak memutus kemungkinan bukan jika suatu saat sahabatnya itu akan kembali menghubungi kedua orang tuanya hanya karena ingin bersilaturahmi? Memang anak yang mulia Kyle ini.

"Le, sini. Makan dulu, kamu belum makan dari siang kan?" Ia menoleh, lantas mengangguk. Bicara-bicara pula, posisinya kali ini berdiri di ambang pintu. Ia baru saja pulang setelah tadi ia mengangkat telepon dari ayahnya, pria itu tadi menanyakan keberadaannya. Karena Kyle meninggalkan rumah begitu saja.

Setelah ia berhasil mendudukkan dirinya di samping keluarga kecil itu, dan menyantap makan malam. Ia melirik suami istri ini, mencari momen yang pas untuk mengucapkan sesuatu. Dan sepertinya ini waktu yang tepat untuk mengatakan itu.

Ia berdeham, membuat mereka menoleh ke arahnya. "Ji, aku mau bilang ini. Tapi Jiji sama om Hansel jangan nyelah dulu ya?" Keduanya hanya mengangguk, membiarkan Kyle mengutarakan yang ia ingin ucapkan.

"Ji, kalau semisal suatu saat Zion memutuskan untuk tinggal bareng sama keluarganya. Apa Jiji bakal bolehin dia tinggal selamanya sama mereka? Dan kalau semisal suatu saat dia tidak memutuskan untuk tinggal dengan keduanya, apa yang harus Jiji lakukan? Cuma itu yang ada di pikiran aku selama ini Ji, di lihat-lihat Zion masih mengharapkan keluarganya. Di sisi lain juga dia belum mau pisah sama kalian, aku cuma kasihan sama kondisi dia yang sekarang. Penyakit nya kambuh, sedangkan dia juga sempat lupa semua yang dia kenal. Aku cuma takut, suatu hari--

Ucapan Kyle terpotong, karena Raeji yang menyelah. Ia hanya tidak ingin hal itu terdengar bahkan terlontar, ia belum sanggup. "Kyle cukup, Jiji nggak mau dengar kalimat kamu yang selanjutnya. Itu buat Jiji makin overtingking, Jiji nggak akan ngelarang dia untuk tinggal sama siapa aja selagi dia nyaman dan aman. Kalau pilihan dia memang hal yang harus dia lakukan, buat apa Jiji ngelarang dia? Apapun keputusan dia nantinya, insyaallah Jiji terima Le."

Kyle mengangguk mengerti, mereka maupun ia tidak dapat mengekang kemauan Adzel sendiri. Ia tersenyum, Kyle bersyukur sahabatnya itu mendapatkan seseorang yang sangat baik di sekitarnya. Ia juga bersyukur mempunyai sahabat sehebat Adzel, jujur Kyle bangga dengan sahabatnya itu.

Kyle menatap Adzel yang masih dengan pejamnya, menatapnya dengan tulus. Berharap, Adzel melihatnya dan mendengarkan. "Cepat bangun sob, di sini kami menunggumu." Gumamnya dengan senyum hangat yang ia punya.



••••

Miss me? Alhamdulillah aku bisa lanjutin cerita ini lagi dengan baik, semoga kalian suka sama part kali ini ya. Selamat hari minggu, dan sampai jumpa di lain waktu🥺☺️👋

D U N I A   A D Z E L  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang