5. Lima

110K 16.3K 457
                                    

Happy reading ❤️
Salam sangklek🌛

"Cahya!!"

Teriakan cempreng Sasa selalu mengisi rongga telinga Cahya pagi-pagi. Bisa-bisa telinganya budeg nanti jika terus seperti ini. Apalagi di kelas masih belum banyak orang, jadi teriakan Sasa terdengar sangat keras.

"Sekarang apa lagi?" tanya Cahya dengan muka malas.

Sasa menyengir. "Rival bikin ulah lagi."

Cahya memejamkan matanya sebentar berusaha untuk sabar ketika mendengar laporan tentang Rival. Lagi dan lagi, Rival membuat hidupnya tak tenang.

"Biarin ajalah. Dia juga lagi marah sama gue." Cuman gara-gara Kevin, Rival sampai memblokir semua akun sosmednya. Rival memang alay. Marahnya tidak berkualitas sama sekali.

Perihal Kevin memang sangat sensitif untuk Rival. Entahlah, mungkin cowok itu merasa tersaingi karena Kevin mendekati kata sempurna sebagai lelaki.

"Dia gelut tau!"

Cahya memutar bola matanya malas. "Bodo amat. Mau gelut kek mau apa kek terserah. Paling juga nanti kalah."

"Lo kok negatif thinking sih, Cay? Siapa tau dia menang, lo juga dapet pujian kali."

Netra Cahya menatap Sasa heran. "Pujian apa? Mau kalah ato menang, nggak ngaruh di hidup gue."

"Misal gini, 'Gila pacar Cahya jagoan amat, gelud menang terus. Cahya emang nggak salah pilih pacar' gitu."

Cahya bergidik. "Malu-maluin! Cara Rival berantem itu rendahan banget. Dia cuman tinju-tinjuan 'kan?" tanya Cahya yang dibalas anggukan oleh Sasa.

"Bilangin ke Rival, kalo berantem pake golok kek, atau piso, pake tembak juga bisa, biar kelihatan berkelas dikit."

Sasa speechless. "Lo ... stres, ya?"

"Sasa dengerin gue! Bidadari nggak ada yang stres, you know?" jelas Cahya sambil bangkit.

Sasa tak menyela. Capek juga menghadapi Cahya.

"Gue cabut dulu, bye!" pamit Cahya lalu menuju pintu keluar kelas.

"Heh, lo mau ke mana?!"

Cahya tidak berbalik tapi malah melambaikan tangannya sambil berkata, "Mau nonton si boncel gelut."

Sasa jelas kaget. "Ngapain nonton? Katanya lo udah nggak peduli?"

Cahya berhenti berjalan di depan pintu kelas lalu berbalik menatap Sasa. "Gue mau siap-siap ngetawain aja kalo dia kalah."

"Bilang aja lo peduli tapi gengsi."

"Enggak, ya, Sa! Gue butuh hiburan aja. Jangan mengadi-ngadi lo!" sentak Cahya dengan mimik muka kesal. Setelah mengatakan itu Cahya langsung pergi.

Sasa tertawa pelan. "Cahya bucin tapi gengsi. Iyuw banget."

****

Cahya menembus kerumunan siswa-siswi, untung badannya langsing, jadi mudah untuk menerobos desak-desakan. Telinganya sakit mendengar siswa-siswi meneriakkan nama Rival dan Jordi sambil bertepuk tangan.

Cahya akhirnya sampai di barisan pertama. Ia jadi bisa lebih jelas melihat Rival adu gulat. Kedua tangan Cahya bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala.

"Rival udah!!" sentak Cahya sambil melotot.

Rival tidak peduli. Cowok itu malah tetap berantem. Padahal badan Jordi lebih besar dari Rival. Mungkin Rival penganut kata-kata 'Yang penting gede nyali, soal kalah menang urusan belakangan.'

"Rival lo bener-bener, ya!" omel Cahya lalu masuk ke arena pertarungan. Terlampau berani

Rival melirik Cahya, kedua tangannya masih memegang kerah Jordi. Sedetik kemudian, ia mendorong Jordi hingga jatuh.

Cahya berdiri di tengah-tengah sambil merentangkan kedua tangannya.

"Stop!" teriak Cahya. Matanya melotot untuk menakuti Rival.

"Yah ... nggak seru!" keluh siswa-siswi yang sedang menonton.

Cahya yang jengkel langsung memelototi orang-orang.

Sedangkan Rival menyeka darah di sudut bibirnya. Ia menatap Cahya tajam sambil tersenyum smirk.

"Kek bocah lo, Val! Ini sekolah, kalo mau berantem sana ke lapangan bola!"

"Jordi ayok ke lapangan! Kita berantem di sana," ajak Rival enteng.

"Rival! Lo bener-bener, ya!"

Tanpa diduga Rival langsung menggendong Cahya ala karung beras. Cahya memberontak sambil memukuli punggung Rival.

"Heh, turunin gue!" teriak Cahya di sepanjang koridor. "Malu ih!"

Rival menurut. Ia menurunkan Cahya. "Lo diem di sini. Anak kecil nggak boleh liat orang berantem. Ini urusan orang gede."

Setelah mengatakan itu Rival langsung berlari ke arah kerumunan itu lagi.

"Rival gila!!" teriak Cahya lalu menyusul Rival lagi.

Pertarungan berlanjut. Cahya menembus kerumunan lagi. Kali ini ia hanya menonton saja sambil mengemut permen lollipop yang tadi ia bawa dari rumah.

Setiap kali Rival kena pukul Jordi, Cahya langsung tertawa jahat.

"Rasain lo!" maki Cahya.

"Ayoo Jordi kurang keras mukulnya. Kalahin aja tuh si bocah tengil. Gaya-gayaan doang dia mah," ucap Cahya bersemangat. Sengaja, ia ingin membuat kesal Rival.

"Jordi kalo lo menang gue traktir bakso deh tapi yang bayar Rival!" tambah Cahya lagi.

Rival berang. Panas sekali suasana.

"Jordi mukulnya jangan pake hati dong! Yang keras. Modelan kaya Rival itu halal untuk digampar, ditonjok, ditendang." Cahya terus ngoceh membuat telinga Rival panas.

Cukup sudah. Rival tidak tahan. Ia langsung mendorong Jordi agar jatuh.

"Ikut gue!" geram Rival sambil menyeret Cahya pergi.

"Lepas!"

Rival menurut. Ia melepaskannya. Tangan Cahya yang putih terdapat bekas genggaman erat berwarna merah. Rival kaget. Itu jelas sakit.

"Cay---"

"Diem lo!" sentak Cahya sambil mengelus tangannya sendiri.

"Cay, gue nggak sadar bikin tangan lo gitu sumpah!"

"Sekarang lo ke ruang BK. Pertanggung jawabin perbuatan lo sama Jordi!" titah Cahya sambil memasang muka datar.

Rival mengangguk. "Gue obatin dulu tangan lo."

"Nggak perlu. Ada Kevin."

Rival mengepalkan kedua tangannya. Sorot matanya menajam. Apapun tentang Kevin ia tidak suka. "Okey, terserah lo. Tau gitu tadi gue bikin lebih parah tangan lo!"

Rival langsung pergi dengan tujuan ke ruang BK. Sedangkan Cahya tertawa keras.

"Rasain haha!"

Fix! Cahya memang menyebalkan!

****

Thank u yg udah mau baca. Harapannya semoga cerita ini rame tahun ini hmm. Sempet putus asa mau berhenti nulis tapi ga jadi. Makasih juga yg udah mau vote ❤️
Sampai bertemu di part selanjutnya.

RIVAL (UP BAB BARU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang