71. Tujuh Satu

75K 11.8K 2.6K
                                    


*****

Rival hampir lupa kalau ini masih di area Bumi. Secepat kilat ia langsung melepaskan pelukannya lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sangat bingung harus melakukan apa ketika Bumi membunuhnya lewat tatapan.

"Berani sekali si sombong ini," celetuk Bumi membuat Rival menyengir tapi dalam hati gugup luar biasa.

"Enak?" tambah Bumi.

Refleks Rival mengangguk. Utamakan jujur kata Mama Killa.

Bumi bertepuk tangan dua kali. "Hebat."

"Papa ...." Cahya berujar lirih.

"Apa?!" sentak Bumi. "Papa masih mode galak ya ini sama kamu, Cahya. Biasanya Papa lembut, tapi untuk kali ini enggak."

Cahya mundur menjauh dari Rival ketakutan. Ayahnya sedang mode singa, ia tak ingin membuat Bumi lebih marah lagi.

Perasaan tiap saat mode galak, batin Rival.

"Saya denger," sinis Bumi.

Rival selalu gugup ketika berhadapan dengan Bumi ditambah melihat keahlian Bumi yang di luar nalar manusia. Bumi itu luar biasa hebat, seperti cenayang, koneksinya juga tidak main-main. Rival tahu, selama ini diam-diam Bumi juga mengawasinya lewat orang suruhan. Bahkan pernah suatu ketika ada musuh yang tiba-tiba menyerang Rival di tempat sepi, orang suruhan Bumi langsung menolongnya walaupun telat beberapa menit.

"Inget, Om. Saya mantu idaman." Rival cengengesan.

Bumi masih saja menatapnya tajam dengan raut datar.

"Maaf, Om."

"Maaf, Pa."

Keduanya berucap secara kompak meminta maaf sambil kepalanya menunduk. Apapun alasannya, mereka memang bersalah berpelukan malam-malam seperti ini.

"Kalian ini masih SMA. Nggak sepantasnya kaya gitu." Bumi berkata tegas.

"Ta-tapi kata Mama, Papa dulu lebih parah," ceplos Cahya membuat Rival langsung menahan tawa. Kata-kata yang pastinya mematikan argumen Bumi.

Bumi langsung mengusap tengkuknya, bingung harus menjawab apa.

Sebisa mungkin Rival menahan tawanya. Sudut bibirnya berkedut ingin melepaskan tawa tapi takut akan amukan Bumi. Jarang-jarang ada yang bisa membungkam mulut pedas camernya itu.

"Ck. Mamamu bohong," ketus Bumi lalu menatap tajam Rival lagi. "Hukumannya tiga hari kalian jauhan."

Bahu Rival meluruh lemas. Lagi dan lagi hukuman Bumi yang paling menyiksanya. Hukuman paling berat yang ia terima sepanjang hidup ini. Rival tak sanggup jika harus berjauhan Cahya. Baru satu hari saja, ia sudah rindu.

"Nego jadi satu hari deh, Om." Rival membujuk.

"Apaan?! Kamu kira saya jual barang?"

Cahya memijat pelipisnya pusing. Bisa-bisanya Rival berkata seperti itu ke ayahnya yang sensian.

"Saya sogok pake duit gimana, Om? Asal jangan tiga hari deh. Bisa gila saya," cetus Rival sambil menaikturunkan kedua alisnya menggoda.

"Duit ortu aja bangga."

"Iyalah, Om. Papa kaya masa nggak dimanfaatin ye kan?"

Bumi memijat pelipisnya, pusing menghadapi kelakuan calon menantunya ini.

"Mama kamu dulu ngidam apa, sih? Anaknya bentukannya gini," kesal Bumi.

"Mama dulu ngidam mandi di tumpukan dollar, Om. Ditambah ngidam beli villa harga dua milliar."

RIVAL (UP BAB BARU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang