19. Sembilan Belas

91.3K 14.2K 417
                                    

Waktu menyenangkan bagi Rival adalah membolos di warung belakang sekolah lalu nangkring di atas pohon, mau itu pohon jambu atau mangga. Hari ini ia akan melakukan itu karena jam kosong.

Saat sedang berjalan di koridor bersama ketiga temannya, perhatiannya beralih ke arah lapangan. Di sana banyak siswa siswi yang sedang berolahraga. Langkahnya terhenti sejenak untuk melihat pemandangan itu, matanya dengan cepat menangkap sosok Cahya sedang senam, bibirnya tanpa sadar tersenyum.

Lego dan Gilang memaki dalam hati. Sedangkan Genta menatap malas Rival. Semuanya sudah biasa menyaksikan aksi bucin Rival.

"Jadi bolos kaga?" tanya Lego.

Rival menggeleng pelan. Tatapannya fokus kepada Cahya.

"Huanjenggg!" Gilang menyindir dengan pura-pura bersin.

Rival tak peduli. "Gen, lo bawa kamera kan?" tanya Rival tanpa mengalihkan pandangannya.

Genta mengangguk. Satu tangannya memang menenteng kamera DSLR. Dari dulu hobi cowok itu adalah memotret segala hal unik yang ditemuinya.

"Pinjem dong," pinta Rival dengan cengengesan.

Genta berdecih sinis. "Apaan lo katanya sultan, kok tukang minjem."

"Wah, gue sewa deh. Satu detik satu juta," rayu Rival dengan banyak unsur kesombongan. Genta tak mungkin setega itu sampai memerasnya.

"Sabi tuh, Gen. Jadi banjir uang kita," hasut Lego.

"Iya, Gen. Bagus tuh, kita bakal sugih," tambah Gilang.

Genta menggeleng tanpa minat. "Males. Kamera gue lecet."

Rival berdecak kesal. "Pelit amat lo!"

"Satu detik sepuluh juta." Genta mengatakan itu dengan lempeng.

Rival melongo. Pemerasan ini namanya. Lebih baik ia beli yang baru.

"Nggak like gue mah."

Genta menyerahkan kamera itu dengan tenang. "Nih. Ga usah bayar. Gue kasian sama kaum miskinable macem lo, kalo harus bayar."

Rival tersenyum tabah lalu menerima kamera itu. Tidak pa-pa ia dihina. Awas saja, nanti bakal ia buktikan bahwa ia benar-benar kaya.

"Sangkyuuu Genta," ucap Rival dengan menirukan kata-kata Cahya.

"Najis!"

Rival langsung berlari menuju pinggir lapangan sambil membawa kamera. Di bawah pohon ia memotret Cahya dari jarak jauh. Kecantikan pacarnya itu harus diabadikan, walaupun tidak cantik-cantik amat.

"Kalo gue foto dia di bawah pohon sini, pasti bakal ketahuan," khawatir Rival. Kan tengsin kalau ketahuan memotret.

Rival berpikir sejenak. Kemudian tersenyum cerah, ia sudah menemukan ide. Perlahan, ia memanjat pohon yang berada di pinggir lapangan dengan lincah. Soal manjat memanjat Rival jagonya karena terlalu sering memanjat pagar untuk bolos.

Cowok itu nangkring di atas pohon sengaja untuk memotret Cahya agar tidak ketahuan. Rival memotret berturut-turut, tak peduli Cahya sedang cemberut, atau tersenyum. Semuanya ia potret sebanyak mungkin. Nanti, pasti Genta akan marah jika melihat isi kameranya. Persetan dengan itu, yang penting ia mendapat foto Cahya.

Rival terkekeh ketika melihat hasil memotret fotonya Cahya sedang mangap yang baru saja ia ambil. Lihat saja, nanti akan ia jual pacarnya ini ke shopee sebagai bentuk balas dendam.

"Anjengg!! Bisa-bisanya gue yang setan gini bisa pacaran sama nenek lampir!" gerutu Rival  terus tersenyum cerah. Gila? Iya. Cinta memang segila itu.

"Cay-Cay, lo jelek amat, sih. Gue terlalu ganteng buat lo yang kentank gini."

RIVAL (UP BAB BARU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang