18. Putus

5.1K 235 0
                                    

–Di salahkan dan di tuduh. Pernahkah kamu merasakannya di saat yang bersamaan? Padahal kamu sama sekali tidak melakukannya.

–Itulah yang aku rasakan saat ini.

–Echa

Langit sudah gelap, bulan dan bintang bersinar mengisi kehampaan langit di malam hari. Setelah dari rumah Erin, Echa langsung di antar pulang ke rumah. Jujur Echa takut, pasti di dalam rumahnya sudah ada Ayahnya, buktinya mobil yang selalu di pakai Raja sudah terparkir rapi di garasi.

Pelan-pelan Echa membuka pintu utama, baru saja Echa menutup pintu suara Raja menginterupsi langkahnya.

"Dari mana kamu, jam begini baru pulang?" tanya Raja menatap Echa tajam.

"Dari rumah Erin, Yah," jawab Echa.

"Sudah izin baru pergi?"

Echa sontak menggeleng, membuat Raja berjalan mendekatinya.

"Ayah muak lihat kelakuan kamu yang seperti ini terus, Echa!" gertak Raja, lelaki paruh baya itu menatap Echa nyalang.

"Pulang selalu terlambat, di sekolah pacaran, nggak pernah dengar kata Ayah. Kenapa Echa?"

Echa menggeleng kuat. "Apa Ayah pernah melihat Echa pacaran? Echa bersumpah kalau Echa sama sekali nggak pacaran di sekolah."

Plak.

"Jangan berani membantah, Ecy satu sekolah sama kamu dan dia tau apa yang kamu lakukan di sekolah. Masih berani bohong," sergah Raja setelah melayangkan tamparannya.

Echa merundukkan kepalanya, sebanyak apapun Echa menyangkal Ayahnya tak akan pernah percaya.

"Maafin Echa, Yah," lirih Echa menahan isakkannya.

"Anak pembohong, kalau kamu bukan anak saya mungkin saya sudah mengusir kamu sejak dulu."

Deg.

Hati Echa rasanya di tusuk ribuan jarum, perkataan Ayahnya membuat benteng pertahanannya runtuh.

"Hiks, Ayah jahat," ucap Echa tak mampu membendung air matanya.

"Bukan Ayah yang jahat, tapi kamu, anak pembohong."

Echa berusaha tersenyum walaupun hatinya terluka dengan kata-kata Ayahnya. Di rasa cukup, Echa langsung berlari menuju kamarnya.

Echa mengunci pintu kamarnya, berjalan menuju lemari, melihat wajahnya melalui pantulan cermin. Warna kemerahan bekas tamparan Ayahnya masih sangat jelas  tercetak di pipi sebelah kirinya, mata yang sembab dan bibir yang pucat. Echa tertawa getir dengan keadaannya.

Rasanya Echa ingin mati saja, percuma ia hidup jika untuk di salahkan, di tuduh dan di lukai. Echa naik ke kasurnya, meringkuk lalu menutupi wajahnya dengan bantal, menangis sejadi-jadinya. Sampai kapan takdir akan mempermainkannya? Echa sudah lelah dengan semuanya. Kapan bahagia itu datang?

✨✨✨

Pagi-pagi sekali Echa sudah siap dengan seragam sekolahnya. Echa mengambil tasnya dan keluar dari kamarnya. Di seluruh ruangan masih sepi, mungkin orang-orang belum bangun, pikir Echa.

"Mang," panggil Echa pada Mang Odi yang sedang menggelap mobil.

Lelaki berseragam khas sopir itu menoleh. "Iya Neng, udah mau berangkat sekolah?"

"Iya, tapi anterin Echa ke makam Bunda dulu ya," pinta Echa.

Mang Odi mengangguk. "Siap, Neng."

Mobil yang di kemudikan Mang Odi melaju keluar dari pekarangan luas rumah Echa. Membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit hingga sampai di depan gerbang pemakaman umum.

I'm Strong[Echa] ANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang