Happy Reading
Chapter ini menguji kesabaran! Harap bijak.
Bel masuk telah berbunyi, kedatangan Sherly dari ambang pintu membuat Echa dan Erin kompak menoleh.
“Dari mana aja lo?” tanya Erin menatap sinis Sherly.
“Nggak kemana-mana,” sahut Sherly acuh tak acuh.
Erin menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kirain habis ketawa-ketawa bareng Kak Alden,” sindir Erin mendapat respons terkejut dari Sherly.
“Apaan sih, bukan urusan lo juga,” pungkas Sherly sarkasme dan langsung duduk di tempat duduknya dengan kasar.
✨✨✨
“Selamat pagi....” Pak Mamat datang dengan memegang buku paket Bahasa Indonesia. Guru berkacamata serta berbadan kurus itu menatap satu persatu muridnya.
“Pagi Pak....”
Pak Mamat mulai membuka halaman buku paket. “Buka halaman 25! Pahami baik-baik isinya sebentar ada tanya jawab,” perintahnya.
Suara kertas yang di bolak-balik langsung terdengar ketika Pak Mamat memberi perintah. Sebagian murid tampak menghafal bagian penting dari isi materi dan yang lainnya membaca rentetan huruf yang ada di buku paket dengan saksama.
Pandangan Echa kosong ke depan, sedari tadi pikirannya berkelana di mana-mana, gadis itu tak menyadari tatapan tajam dari Pak Mamat.
“Cha, Pak Mamat jalan ke sini,” tegur Erin, namun Echa masih hanyut dalam lamunannya.
Pak Mamat semakin geram ketika melihat muridnya tak menyadari tatapannya bahkan tidak mengindahkan perintahnya.
Brak!
Echa tersentak kaget ketika Pak Mamat menggebrak mejanya. Bukan hanya Echa saja, tapi semua murid di kelas XI Bahasa juga terkejut dengan suara gebrakan Pak Mamat.
“Kamu tidak dengar apa yang saya perintahkan?” tanya Pak Mamat menatap Echa dengan tatapan tajamnya.
“Ma..., maaf Pak, saya salah,” ucap Echa terbata, gadis itu menundukkan kepalanya tak berani menatap mata tajam Pak Mamat.
“Saya nggak mau kamu ikut pelajaran saya hari ini,” kata Pak Mamat tak terbantahkan, “belajar di perpustakaan! Minggu depan saya tidak mau ada yang mengulanginya.”
Echa mengangguk patuh, “Maafin saya Pak,” tutur Echa, gadis itu mengambil buku tulisnya dan berjalan keluar dari kelas.
Lorong koridor sangat sepi, Echa terus melangkah menuju perpustakaan yang terletak di samping gedung kelas XII IPA.
Rasa malu menguasai tubuh Echa, harusnya ia duduk di bangkunya sekarang sembari mengikuti jam pelajaran Pak Mamat, tapi karena pikirannya yang berkecamuk, ia malah mendapatkan hukuman. Echa terus menundukkan kepalanya di sepanjang jalan dan hal itu sontak membuat Echa menabrak seseorang.
Bruk.
Echa terjatuh di lantai koridor dan hendak berdiri guna membersihkan rok abu-abunya. Tapi, uluran tangan seseorang membuat Echa mengangkat kepalanya dan matanya langsung bertabrakan dengan manik mata elang milik Deva.
Dengan canggung, Echa menerima uluran tangan Deva.
“Kalau jalan hati-hati,” kata Deva.
“Maaf, Kak,” balas Echa.
“Hm,” gumam Deva dan langsung meninggalkan Echa yang masih terdiam.
✨✨✨
Echa memasuki perpustakaan yang sepi, berjalan ke arah rak buku Bahasa Indonesia lalu mengambil salah satunya, Echa terpaku melihat keberadaan Deva di pojok tembok, cowok itu sangat serius membaca buku.Echa menghembuskan napas panjang kemudian berjalan menuju salah satu kursi dan duduk di sana. Deva menyadari pergerakan Echa sedari tadi, namun ia hanya pura-pura tak melihat gadis itu saja.
Echa mulai hanyut dalam bacaannya pada buku Bahasa Indonesia yang ia pegang. Halaman demi halaman sudah Echa baca, sampai rasa bosan menghantuinya.
“Ekhem.” Dehaman Deva membuat Echa langsung menoleh.
Deva menatap Echa, wajah gadis itu sangat lesu.
“Lo.”
“Kak Deva.”
Keduanya berucap kompak dan sama-sama salah tingkah. Echa menggigit bibirnya menahan kegugupannya, sementara Deva, cowok itu terdiam beberapa detik lalu kembali berucap.
“Kenapa nggak di kelas?” tanya lelaki itu.
“Aku di hukum sama Pak Mamat,” aku Echa.
Deva tertawa kecil, wajah lelaki itu tidak luput dari mata Echa yang kini tertegun melihat senyuman Deva yang sangat manis.
“Pasti ketahuan melamun, kan?” tebak Deva masih mempertahankan tawanya.
Echa di buat kikuk oleh senyuman lelaki yang di kenal dengan sikap dinginnya. Echa bahkan tak mengedipkan matanya karena terpanah dengan senyuman lelaki itu.
Deva menatap Echa bingung, dengan gerakan cepat ia berpindah tempat duduk tepat di depan Echa. Wajah polos Echa membuat Deva semakin tak tega jika sahabatnya semakin memberikan harapan lebih.
“Hey,” tegur Deva mengibaskan tangannya di depan wajah Echa, hingga gadis itu tersentak dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Kedua pipi Echa bersemu, malu karena ketahuan menatap Deva.
“Gue tahu kok gue ganteng,” aku Deva percaya diri.
Echa, gadis itu semakin gugup ketika di tatap begitu dalam oleh Deva, di tambah dengan jarak mereka yang begitu dekat. Echa bahkan tak menyadari kepindahan Deva di depannya.
Deva menyentil pelan bibir Echa. “Jangan diam, ngomong dong!” suruhnya.
“Maaf Kak,” ucap Echa pelan.
“Santai aja, gue suka sama sikap lo.”Perkataan Deva terdengar sensitif di telinga Echa, dan akibatnya jantung Echa berpacu sangat kencang karena gugup.
“Lo lucu,” ujar Deva mengacak rambut Echa gemas.
✨✨✨
Echa sampai di rumah dengan senyuman yang terus terukir di wajah cantiknya.
“Baru pulang kamu?” tanya Sarina, menatap anak tirinya sinis.
Echa mengangguk. “Iya, Bu.”
“Ecy mana?”
Echa di buat menggeleng dengan pertanyaan Sarina. “Echa nggak tahu, dia tadi pergi duluan,” jawab Echa jujur.
“Lalu di mana dia sekarang, kalian kan satu sekolah,” sergah Sarina.
“Echa juga nggak tahu, Bu,” balas Echa.
Plak!
Sarina dengan tiba-tiba melayangkan tamparannya untuk Echa.
“Kamu selama ini anggap Ecy apa, hah?! Musuh?” bentak Sarina.
Air mata Echa jatuh bersamaan dengan rasa perih yang menjalar di pipi sebelah kirinya.
“Saya tanya sekali lagi sama kamu. Di mana Ecy?!”
Echa menggeleng lirih, air matanya terus berjatuhan membasahi kedua pipi mulusnya.
“Keterlaluan kamu.” Sarina mencengkeram dagu Echa kuat, menyudutkan Echa di depan lemari kaca besar.
“Dasar anak murahan!”
Plak!
Sarina kembali menampar pipi sebalah kanan Echa dengan kuat, emosi wanita separuh baya itu semakin naik ketika tak mendapat sahutan apapun dari anak tirinya.
Ceklek.
Pintu utama terbuka, Ecy yang baru membuka pintu membulatkan matanya dan di susul dengan senyuman miringnya.
“Dari mana kamu?” tanya Sarina lembut sembari melepas Echa dari kukuhannya.
“Ecy tadi habis jalan dulu sama cowok Ecy,” jawab Ecy mengembangkan senyumnya, senang dan puas dengan apa yang terjadi hari ini.
“Kirain, kamu kenapa-kenapa,” kata Sarina.
Ecy menatap Echa yang menangis dalam diam, dalam hatinya ia sangat senang melihat kesedihan yang selama ini belum pernah Ecy lihat dari Echa.
Sarina kembali menatap Echa tajam. “Pergi ke kamar! Nanti Ayahmu tahu lagi,” usir Sarina, “satu lagi. Jangan pernah mencoba mengadu,” ancam Sarina menyunggingkan senyuman miringnya.
Echa menyeka air matanya, dengan patuh gadis itu mengangguk dan berjalan cepat menuju kamarnya.To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Strong[Echa] AND
Fiksi Remaja[Awas emosi!] "Hidup ini indah. Tapi, dimana letak kebahagiaan itu?" Resha Ratu Tresyia. Panggil saja Echa, gadis berhati baja yang selalu menunjukkan wajah cerianya meski takdir sedang mempermainkannya. Hidupnya tak seindah dengan harapannya. Menga...