3

10.2K 1.3K 79
                                    

Nara menaikkan kacamatanya ke atas kepala kemudian disusul dengan melepaskan airpodsnya. Otaknya seketika buntu untuk melanjutkan desainnya yang sudah setengah jadi. Sepertinya ia butuh sesuatu untuk menyegarkan otaknya.

Ia berjalan menuju dapur. Banyak ruangan yang telah dimatikan lampunya. Tentu, sekarang sudah tengah malam. Penghuni rumah juga pasti sudah berada di alam mimpinya masing-masing.

Dengan matanya yang lumayan mengantuk, Nara mengambil gelas di rak bagian atas. Hampir saja gelas itu jatuh dan pecah jika tidak ada tangan lain yang menangkapnya. Kesadaran Nara kembali penuh. Jantungnya seakan melompat dari tempatnya bersamaan dengan gelas yang tiba-tiba saja terlepas dari cengkramannya.

"Hati-hati."

Nara melihat ke arah Damar yang juga tengah menatapnya. Pria itu tepat di belakang tubuhnya. Bahkan punggungnya menempel di dada bidang pria itu. Keduanya diam dan saling menatap sampai Damar tersadar lebih dulu dengan posisi mereka.

"Maaf." ucap Damar. Nara mengangguk kaku. Pikirannya masih blank dengan apa yang barusan terjadi. Nara akui, ia terbiasa melakukan kontak fisik dengan lawan jenis. Tetapi kenapa Damar rasanya berbeda?

"Belum tidur, Mar? Ngomong-ngomong, makasih ya." Nara mencoba mencairkan suasana.

"Belum. Saya nggak biasa tidur awal."

Nara menjauhi tempat Damar berdiri, lalu membuka lemari pendingin. Pilihannya jatuh kepada botol cola yang isinya tinggal sebagian. Perlahan-lahan ia menuangkannya ke dalam gelas agar sodanya tidak hilang.

"Mau?" Nara menyodorkan botol cola yang ia pegang.

Damar menggeleng dan tersenyum tipis, "Minum soda malam hari nggak baik buat tubuh."

Nara mengangkat bahunya acuh. Ia memang keras kepala. Baik Jonas dan juga Athena sudah sering mengingatkan kebiasaan buruknya. Tapi yang namanya Nara, semakin dilarang semakin diteruskan.

"Damar,"

"Ya?"

"Eum, temenin ngobrol mau nggak? Eh tapi kalo udah ngantuk nggak usah juga nggak apa-apa sih,"

Damar terdiam sebentar dan mengangguk setuju, "Boleh."

Dalam hatinya Nara bersorak senang. Ia senang dan nyaman berbicara dengan Damar. Meski pria itu tidak berpendidikan tinggi, tapi wawasannya luas sehingga ketika mengobrol mereka jarang kehabisan bahan obrolan.

Seperti tadi sore, kalau saja Jonas tidak menelepon Damar untuk menjemputnya, Nara yakin obrolan mereka berlanjut sampai adzan maghrib berkumandang.

Nara duduk di barstool, dengan punggung yang bersandar di bar kecil. Di sampingnya terdapat Damar yang juga duduk sama sepertinya. Damar yang menggunakan setelan biasa ternyata jauh lebih... menarik. Padahal pria itu hanya memakai kaos hitam polos dan celana abu-abu.

Diam-diam dari samping Nara memperhatikan Damar. Ia jadi penasaran dengan kehidupan pria yang di sebelahnya ini. Menurut penilaian dari Nara, fisik Damar sangat 'menjual'. Setidaknya Nara yakin kalau Damar bisa menjadi model atau selebriti media sosial daripada menjadi seorang supir.

"Kenapa belum tidur?" tanya Damar tiba-tiba.

"Eh? Aku? Aku masih harus selesein satu desain lagi."

Hening. Nara merasa ada perbedaan dari Damar. Jika tadi pria itu banyak berbicara, sekarang pria itu lebih banyak diam. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Pantesan nggak balik-balik. Bilangnya mau ke kamar mandi, ternyata lagi berduaan sama Mbak Nara." Akmal muncul dari arah pintu belakang.

"Mas Akmal belum tidur juga?"

"Belum, Mbak. Tadi nemenin Damar ngerokok malahan ditinggal."

Damar hanya tersenyum kecil. Ia mengusap tengkuknya, merasa bersalah kepada Akmal yang sudah menemaninya duduk di belakang.

"Maaf ya, Mas. Tadi Damar aku suruh nemenin ngobrol. Aku nggak tau kalo Damar lagi bareng sama Mas Akmal." ucap Nara tidak enak.

"Nggak apa-apa, Mbak. Lagian saya juga dah ngantuk. Mau balik ke kamar. Oh iya Mar, ini Rina bolak-balik telepon. Ada yang penting kayaknya." Akmal memberikan ponsel milik Damar.

"Iya Mas, suwun. Maafin yo mas."

"Nggak opo, terusno. Aku wes ngantuk. Mbak Nara, saya duluan ya." ucap Akmal sambil menepuk bahu Damar dua kali. Setelahnya ia berlalu pergi.

Nara memandangi Damar yang sibuk dengan ponselnya. Pria itu mengetikkan sesuatu sampai layarnya berubah menandakan ada seseorang yang menelponnya.

"Nara, maaf saya nggak bisa menemani ngobrol malam ini. Mungkin di lain waktu akan saya temani. Saya permisi."

Punggung Damar menjauh dan menghilang di balik pintu belakang yang tertutup. Nara membuang nafasnya pelan. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada Damar.

•••

Semalaman Damar tidak bisa tidur. Ia terbayang dengan kabar dari Karina, adiknya. Karina mengatakan kalau selepas maghrib rumahnya di datangi oleh orang-orang suruhan rentenir. Mereka mengambil paksa akte tanah. Harta satu-satunya yang orang tua mereka miliki.

Kejadian tersebut menguak sebuah fakta yang Damar tidak ketahui sebelumnya. Bapaknya, Juanda terlilit hutang sebesar 300 juta dengan jaminan akte tanah. Dan Tyas mengetahuinya. Namun ibunya pun tidak memberitahunya.

Uang 300 juta tersebut mereka gunakan untuk membeli rumah sekaligus tanah yang kini mereka tempati serta untuk kebutuhan sehari-hari. Selama 15 tahun, Juanda hanya mampu membayar 75 juta. Sisanya dan termasuk bunga, Juanda belum dibayarnya.

Karina berkata jika Juanda telah menawarkan kalau rumah tersebut di balik atas nama rentenir. Tetapi, di tolak mentah-mentah. Sang rentenir hanya menginginkan uang. Tidak peduli rumah dan tanah.

Sementara disini, Damar berpikir dengan keras. Uang yang ada di tabungannya hanya ada 103 juta. Nominal tersebut belum cukup untuk menutup hutang bapaknya.

Satu-satunya cara adalah meminta pinjaman dari atasannya. Jonas. Hanya Jonas yang menjadi harapan Damar. Ia amat yakin, Jonas tidak akan menolak. Ia harus berbicara kepada Jonas esok. Ya, ia harus.















aku ramal ini ga nyampe 10 chap✋🏻

tbc.

Moira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang