6

9.6K 1.4K 108
                                    

Nara menggigit gulingnya gemas. Setelahnya ia melepaskan dan mengusap bibirnya. Ciuman semalam, apakah kalian percaya jika itu adalah ciuman pertama Nara? Sayangnya memang benar. Tinggal di negara liberal bukan berarti Nara menjadi sosok yang bebas. Tidak. Percayalah, eyangnya lebih menyeramkan dibandingkan Jonas. Pergaulan Nara sangat dibatasi.

Kembali dengan Nara yang seperti orang gila. Gadis itu mengangkat guling miliknya sejajar dengan wajahnya.

"Damar! Lo bisa nggak si pergi dari otak gue?! Gue capek sumpah capek mikirin lo terus." Nara menggoyang-goyangkan guling putih itu lalu melemparkan ke samping.

"Ra, please Ra lo udah gila! Lo udah gila! Mana bibirnya masih kerasa banget lagi aaaaaaaakk!"

"Eh, bibir Damar kemaren bau rokok ya? Emangnya dia ngerokok gitu? Hnggggg kenapa rasanya bisa manis?!"

"Oh iya ya Mas Akmal pernah bilang kalo pernah nemenin Damar ngerokok,"

"Alah cowo ngerokok wajar. Gue yang cewe aja minum. Tapi kok gue jadi pengen ngerasain bibirnya damar lagi ya?"

"ASTAGA NARA BISA-BISANYA YA LO MIKIR MAU NYICIPIN LAGI!"

Nara heran dengan dirinya sendiri, ia tidak mudah terpikat oleh laki-laki. Jadi berpikir ia berpikir Damar menggunakan pelet tipe apa sampai bisa menarik dirinya sekuat ini.

Kan kan, pikirannya sudah melantur kemana-mana. Nara menabrakkan kepalanya ke kasurnya berkali-kali. Berharap Damar enyah dari otaknya.

•••

"Mas, Ibu sakit. Ibu pengen Mas Damar pulang. Bisa cuti kan, Mas?" tanya Karina dari sebrang telepon. Ia tidak masuk sekolah karena harus menjaga Tyas yang tadi pagi mengeluh merasa sesak nafas. Dan sekarang berada di rumah sakit. Sementara Juanda harus tetap bekerja.

"Iya nanti Mas pulang ya? Rina jagain Ibu sama Bapak dulu ya," ucap Damar lembut dan menenangkan Karina. Adiknya sangat mudah terserang kepanikan.

"Iya, Mas. Rina tunggu di Jogja ya Mas. Yasudah Rina tutup dulu. Rina mau ke apotek rumah sakit. Tebus obatnya Ibu."

"Uangnya kurang, ndak?"

"Ndak, Mas. Inshaallah cukup. Rina pegang uang banyak dikasih Bapak."

"Kalo kurang bilang sama Mas. Awas jangan pake uang tabunganmu."

"Nggih, Mas."

Penderitaan menghampiri Damar seolah tidak ada habisnya. Tapi tak pernah sekalipun Damar menganggap ini menjadi penderitaan. Ia bekerja karena Tuhan dan untuk membantu nafkah keluarga. Semoga di masa mendatang bisa menjadi berkah bagi hidup Damar.

"Ibu kenapa, Mar?"

Damar dikejutkan oleh suara halus dari samping. Di dekat pintu belakang menuju kolam renang Nara berdiri dan menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

"Nara, saya minta maaf atas—

"Aku tanya Ibu kenapa?"

"Penyakit asma Ibu kambuh."

"Astaga, terus gimana sekarang keadaan Ibu? Udah dibawa ke rumah sakit kan?" raut wajah Nara menandakan seorang yang tengah khawatir.

"Sudah. Saya sungguh meminta ma—

"Kamu nggak pulang?" sebisa mungkin Nara tidak membiarkan Damar membahas kejadian semalam. Mereka sama-sama bersalah dan errr—menikmati. Jadi ia tidak terima jika Damar terus menerus minta maaf.

"Pulang. Saya harus minta izin ke Bapak dulu."

"Kelamaan." sanggah Nara.

"Tapi—

Moira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang