"Kau belum sembuh, jangan pergi keluar."
Wanita renta itu mengernyit di ambang pintu dapur. "Kata pembawa berita cuaca, suhu kota tembus dua derajat. Nanti kau membeku seperti kuah kaldu di kulkas kita."
"Aku manusia, Nine. Bukan kuah."
"Tapi, kau sakit. Lihat betapa hidungmu merah melebihi badut di acara ulang tahun—uhuk, uhuk. Tidur saja, lah. Seharusnya kau bersyukur karena sekarang sudah ada telepresensi yang lebih realistis. Nine sudah tua ... kalau memakainya untuk bertemu teman, kami pasti hanya akan menampakkan dagu saja."
Roumeli tersenyum geli. "Tidak apa-apa, aku hanya akan ke toko Paman Beyaz."
"Tetap saja ke luar rumah."
"Hanya melewati beberapa jalan."
"Ah, sudahlah," Nine mengangkat tangannya yang masih menggenggam pengaduk adonan, "kau ini keras kepala sekali seperti ayah dan pamanmu."
Roumeli menyengir. Dia tak bermaksud jadi keras kepala. Mungkin memang ada gen keturunan yang membawa sifat keras kepala.
"Bawa ini untuk makan di sana." Nine menyodorkan sekotak roti Simit yang panasnya tersimpan rapat dan kerenyahannya terjaga.
"Terima kasih, Nine yang adalah Koki Spektakuler." Roumeli mencium pipi Nine dan mengucap salam sebelum menutup pintu. Nine hanya geleng-geleng kepala, berpikir betapa dia sering kesal sekaligus sayang kepada gadis itu.
[]
Roumeli menghirup udara dingin sepanjang perjalanan. Dia teringat dengan kutipan buku agama yang dia kaji: tidaklah rasa sakit sekecil tertusuk duri menimpa anak Adam kecuali dosanya akan berguguran. Roumeli percaya itu sehingga hatinya tetap lapang meskipun tubuhnya panas-dingin. Dia agak demam. Semua orang yang demam akan bersemayam di balik selimut dan makan sup daging hangat.
Tapi, Roumeli merasa tidak butuh sup daging hangat. Dalam sakitnya, ia merasa perlu lebih banyak ilmu. Dia masih ingin menuntaskan penuturan sejarah oleh Beyaz sampai-sampai rela mengendarai LBoard di sepanjang trotoar. Padahal, pagi itu sangat dingin karena udara membawa angin musin gugur yang meranggaskan pohon-pohon di kota. Sangat indah meskipun dedaunan yang menguning dan gugur hanyalah rekayasa komputer.
Awan-awan tebal menggulung seperti payung yang menaungi ke mana pun Roumeli pergi seakan ingin menurunkan hujan di atasnya saja. Musim gugur membuat kota mereka identik dengan monokrom gedung putih-abu dan merahnya dedaunan maple yang kontras. Begitu rapi dan elegan.
"Assalamualaikum, Paman Beyaz."
Lelaki separuh baya itu mematikan perkakas besinya. Dia membuka penutup wajah dan menengadahkan kepala saat melihat Roumeli di pekarangan toko. "Waalaikumsalam warahmatullah. Bukankah ini hari libur?"
"Tidak ada hari libur untuk mencari ilmu—hatchi!" Roumeli menutup mulut dan hidungnya dengan tisu. "Maaf, hari ini aku agak pilek."
"Waspadalah. Kabarnya musim flu bisa bangkit lagi," sahut seorang anak perempuan yang tahu-tahu muncul. "Ini, makan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Horizon [✔]
ActionRoumeli penuh keingintahuan, namun di Terra Firma ada satu pertanyaan terlarang: "Mengapa dengan dunia?" Tidak ada yang bisa menjawab kecuali Beyaz, pamannya. Mengenai sejarah dunia sejak Kejadian yang Tiga, terjungkirnya peradaban, hingga kondisi...