SIANG di pusat kota masih dingin menggigit walaupun sangat terik. Satu lagi kombinasi cuaca anomali khusus Terra Firma. Rumah-rumah membuka kanopinya sepanjang pekarangan, masih di balik pagar besi mereka. Sebagian besar gedung jenjang-jenjang di TF-Institute Timur dan Barat melakukan itu pula. Segaris sinar matahari terbias di mata Roumeli seperti kaca biru bening, lurus menembus jendela. Menatap angkasa kosong. Benar-benar kosong tak berawan.
"Hei, bisa kau tutup gordennya?" pinta seorang gadis di sebelah Roumeli.
Dinding kelas itu hanya sepertiga dari lantainya saja yang bukan kaca, dengan gorden beludru zamrud menjuntai dari langit-langit tinggi hingga ke bawah. Roumeli tersadar dari lamunannya yang berlabuh di zaman ketika perubahan iklim sedang gempar. Dia menekan tombol hitam sehingga gorden bergerak menutup.
Roumeli kembali menaruh fokus kepada guru Fisika yang menjabarkan penyelesaian relativitas khusus di papan tulis hologram. Pena magnetnya bergerak lincah seiring mulutnya berkomat-kamit tidak jelas. Tentulah dia memiliki dunia sendiri tanpa tahu menahu lagi mengenai siswanya yang tertidur, bergunjing, bermain gadget atau menyantap kripik spageti panggang ....
Toh, kebanyakan siswa di kelas itu sudah cukup pintar. Survei dari surat kabar digital "Terra Refom" menyebut bahwa mereka tidak mewarisi otak leluhurnya dengan persis, melainkan lebih berkembang dan kritis.
Penelitian tentang hal itu tiba-tiba membuat Roumeli geli. Leluhur mereka mahir dalam menciptakan teknologi mutakhir seperti kecerdasan buatan, pabrik modern, bahkan berbagai fasilitas futuristik yang meraup miliaran uang negara. Tapi, mereka tidak mampu mengatasi penyakit-penyakit bumi yang menahun, yang sudah bagaikan bopeng pengganggu di wajah pangeran tampan.
Dan generasi baru, para penduduk Terra Firma, lebih cerdas untuk mengatasi itu walaupun sisa-sisa kerusakan barangkali sudah amat terlambat. Sayang sekali mereka tidak terlalu cerdas dalam hal yang lebih penting daripada itu. Mereka menutup diri dari pemahaman agama dan hakikat hidup.
TF-Institute Timur maupun Barat sama-sama memiliki wilayah yang terbagi empat: D untuk sekolah dasar, C untuk sekolah menengah pertama, B untuk sekolah menengah atas, dan A untuk jenjang perkuliahan. Gedung-gedung yang berbeda hanya diberi tambahan angka di belakangnya. Seperti gedung A1, C3, atau D4.
Bel edung B2 berbunyi, persis denting piano yang naik bertahap dengan gembira. Anak-anak terkesiap heboh. Guru Fisika itu seolah bangun dari hipnotis angka-angka rumit dan mematikan hologramnya. Dia kemudian pergi sebelum mengangguk dan disusul rombongan siswa yang berduyun-duyun ke luar.
Jiwa mereka yang penuh warna seakan-akan tersiksa di kelas yang tak ada yang bisa dilihat selain meja-kursi kaca dan dinding putih. Mereka lebih merasa hidup di kafetaria yang penuh kudapan lezat, atau kolam renang tiga tingkat (ruang ganti yang praktis mengubah pakaian mereka dan mengeringkan). Ada juga mal pribadi TF-Institute Timur yang memiliki puluhan kafe, karaoke, stasiun gim dan toserba. Segelintir yang tidak punya gairah hidup dan selalu malas akan menuju perpustakaan di lantai teratas gedung B1—sudah pasti untuk tidur di ruang bersantai daripada membaca buku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horizon [✔]
ActionRoumeli penuh keingintahuan, namun di Terra Firma ada satu pertanyaan terlarang: "Mengapa dengan dunia?" Tidak ada yang bisa menjawab kecuali Beyaz, pamannya. Mengenai sejarah dunia sejak Kejadian yang Tiga, terjungkirnya peradaban, hingga kondisi...