Ruang tamu di rumah Diza cukup besar. Berukuran tiga kali tiga meter dengan warna dominan cream dan hitam, membuat ruangan itu tampak elegan. Di meja berukuran persegi panjang, terhidang setoples kue kering dan satu teko kaca berisi sirup jeruk. Dan sofa yang ia duduki menjadi saksi dari rasa canggung yang Syadza alami.
Sesuai kesepakatan bersama, siang ini ia beserta Rama dan Kana akan ke rumah Diza untuk membahas tugas bahasa indonesia. Syadza menengok jam yang terletak di sudut ruangan, sudah pukul satu siang namun Kana dan Rama tak kunjung datang. Sedangkan Diza sedang mengambil beberapa camilan lagi di Dapur. Menyisakan Syadza, dan seorang anak perempuan berusia tiga tahun.
Disa. Anak kecil yang masih senang mengemut empeng itu, kini duduk di samping Syadza, sedang tertawa riang sambil sesekali memerhatikan Syadza. Duduk seperti patung, itu yang Syadza lakukan. Berhadapan dengan anak kecil, adalah satu hal yang jarang ia lakukan.
"Eh, lama ya? Disa nakal enggak? Maaf ya kamu jadi repot." Diza muncul dari balik tirai berwarna kuning emas, membuat Syadza bisa membuang napas lega sekarang.
"Enggak kok, hehe." Syadza tersenyum kikuk. Entah ini termasuk suatu kebohongan atau tidak, tapi Disa memang tidak rewel kan? Syadza saja yang memang mudah merasa canggung.
"Pak Ketu sama si Biang Kerok belum datang?" Diza bertanya, sambil menata camilan yang ia bawa ke atas meja. Syadza menjawab pertanyaan kawannya dengan sebuah gelengan.
Diza mencebikkan bibir. "Lama banget."
"Mungkin masih di jalan," kata Syadza sambil membuka buku paket bahasa indonesianya. Membaca halaman demi halaman yang pasti akan memudahkan tugas mengarangnya.
"Aku yakin Kana yang bikin Rama jadi lama," ujar Diza sembari ikut membuka buku paketnya.
Hal itu kontan membuat Syadza menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Kamu ini. Jangan su'udzan."
Diza mendengkus. "Iya, iya, Bu Ustadzah," balasnya dengan nada terpaksa. Membuat Syadza kembali tertawa geli.
"Oh iya Diz, soal tu—"
"Tatak, tatak, lihat cini!" Ocehan si kecil Disa membuat Syadza berhenti berkata. Ia dan Diza secara serempak menoleh pada Disa bersamaan.
Diza langsung tertawa ketika melihat penampilan adiknya. Kerudung persegi panjang yang tadi tergeletak di sofa kini telah mendarat di bahu dan lengan adiknya. Layaknya sebuah sayap yang digunakan para superhero dalam film laga.
"Disa mau apa?"
Gadis kecil itu tertawa riang. "Mau jadi cupelhelo! Yeee telbang!" Kaki-kaki kecilnya diarahkan untuk berlari mengelilingi ruangan. Membuat kakaknya tertawa riang.
Syadza yang melihat memilih untuk tersenyum tipis. Perlu ia akui, Disa memang lucu dan menggemaskan. Tapi, Syadza masih ingat, bahwa anak kecil bukanlah sesuatu hal yang membuatnya merasa tenang.
"Eh Dza, maaf loh kalau Disa ganggu."
Syadza dengan cepat menoleh. Buru-buru ia menyangkal, "Enggak kok, hehe."
"Ah, yang benar? Kamu kok kaku gitu. Enggak seperti biasanya." Diza menatap mata cokelat temannya dengan tajam. Membuat Syadza kian merasa kikuk.
"A-aku cuma ... enggak terlalu suka sama anak-anak. Hehe. Kamu tahu sendiri kan kalau aku anak tunggal?"
Diza mengangguk paham. "Ooh. Maaf loh kamu jadi nggak nyaman," ujarnya—sedikit merasa tak enak.
Syadza lekas berkilah, "Ah enggak kok. Disa lucu, hehe." Tatapan cewek itu teralih pada adik sahabatnya. Bibir Syadza sedikit tertarik—membentuk senyuman tipis. "Dan dia mungkin sudah tahu apa mimpinya. Jauh lebih tahu, ketimbang aku yang sudah kelas tujuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
What's My Dream?
Teen FictionSyadza tak pernah tahu apa yang dia suka. Ketika teman-teman sebayanya sibuk melakukan hobi dan mencari jati diri, Syadza tak pernah peduli. Cita-cita pun tak ia miliki. Hingga sebuah tugas bahasa indonesia, membuatnya mau tak mau harus mempelajari...