19• Hadiah Terbaik

7 1 0
                                    

"Ini tugas kelompok saya Bu." Rama meletakkan sebuah buku seperti kliping di meja Bu Neni dengan senyum manis, puas dengan hasil kerja Laksmana yang rapi.

"Kelompok empat ya?" Bu Neni membaca judul dari kumpulan kertas print out yang baru saja diberikan oleh sang pemenang olimpiade. Jemarinya membuka kumpulan kertas dengan perlahan, lalu tersenyum puas. "Bagus. Nanti saya cek dan nilai. Terima kasih karena telah mengumpulkan tepat waktu." Wanita itu menekan kalimat tepat waktu, sengaja menyindir remaja lelaki di depannya yang di hari Senin lalu berkata bahwa kelompoknya masih menentukan tema.

Walau nyatanya Rama hanya tersenyum dengan santai, seolah tekanan kalimat dari Bu Neni bukan hal yang perlu dipedulikan sama sekali. "Sudah selesai kan, Bu? Kalau begitu saya izin pamit. Terima kasih." Rama berbalik badan, berniat segera keluar dari kantor guru sebelum ucap Bu Neni membuatnya berhenti bergerak.

"Kamu merasa keberatan tidak dengan tugas ini? Kamu kan juara kelas. Apa tidak keberatan sekelompok sama berandal dan—"

"Semua orang pandai Bu." Rama berbalik badan, masih dengan senyum manis dan raut wajah tenang. "Kalau tidak pandai di pelajaran, minimal pandai dalam ilmu kehidupan. Saya juga bukan manusia sempurna, karena yang sempurna cuma Tuhan. Lalu buat apa saya merasa paling benar?"

Rama kembali berbalik, meneruskan langkah yang sempat terhenti. Sementara Bu Neni di mejanya tersenyum manis. Bukan terhina atau kesal karena seorang murid baru menentang pendapatnya, namun bangga.

Sebab tugasnya bukan cuma menjadi nilai, namun hubungan yang akan sulit tercerai-berai.

***

Arkana Kristian sedang kesurupan.

"Ayo makan yang banyak! Aku yang traktir!"

Seperti bukan Kana. Dan bukan Diza saja yang merasa demikian. Rama dan Syadza juga sama. Ketiganya memandang Kana dengan tatapan horor. Usai berkali-kali mengemis uang jajan tiap berkumpul, Kana hari ini menepati janjinya untuk menraktir semangkuk bakso Kang Ujang. Sempat dikira kebohongan. Namun siapa sangka kalau ucapan bocah berambut gondrong itu hal yang nyata?

"Bukan hasil ngepet kan?" Diza menyipitkan matanya, dengan tatapan menyelidik tertuju pada Kana. Masih tak percaya, meski sepupunya sudah terang-terangan menyodorkan uang warna biru pada Mang Ujang.

"Bukan lah," sergah Kana dengan setitik emosi yang mampu terasa. Memangnya siapa yang mau dituduh begitu saja?

"Terus dari mana?" Diza mengaduk es jeruknya, masih dengan tatap penasaran pada manik matanya.

"Papa." Kana tersenyum bangga seraya menepuk dada. "Hasil menang lomba tanding bola."

"Kapan? Kok aku enggak tahu?" Rama yang semula diam kini menyahut dengan nada tak suka. Seperti seorang anak yang kesal karena tak diajak liburan.

"Ini secret, Man." Kana menepuk bahu Rama, sementara Diza di tempatnya langsung merasa jengah. Perilaku Kana tampak sangat membanggakan dirinya sendiri. Meski tak dapat dipungkiri bahwa bangga pada diri sendiri sangat berguna bagi kesehatan mental.

Syadza di tempatnya tertawa kecil berulang kali. Perilaku lucu dari Kana dan Diza selalu membuatnya ingin tertawa.

"Tapi, aku benar-benar enggak nyangka pekerjaan kita akan selesai hari ini." Syadza membuka mulut, membuat ketiga kepala terfokus hanya pada dirinya. "Aku kira, mungkin akan perlu waktu lama. Atau bahkan enggak jadi sama sekali."

"Aku juga," timpal Kana seraya menunjukan cengirannya. "Aku tak suka membaca. Apalagi menulis cerita? Itu menyiksa asal kalian tahu." Kemudian mimik wajah dibuat-buat Kana tampilkan, membuat Diza kelimpungan mencari penggaris untuk memukul wajah remaja di hadapannya.

"Aku punya cerita seru. Soal tugas tadi." Rama mulai membuka kartu. Diceritakannya hal yanng terjadi di kantor guru, hingga ketiga kawannya terdiam, lalu bertepuk tangan untuk Rama yang sangat berani mengemukakan pendapatnya.

"Kalau aku jadi Bu Neni, auto malu." Kana tergelak di tempatnya, sekaligus mendapat hadiah geplakan maut dari Diza yang telah menemukan penggarisnya.

"Ingat, itu guru!"

"Cuma guru, santai aja lah. Bukan Tuhan kan?"

Diza berdecak sebal. Lalu kembali memulai aksi debat yang sudah menjadi kebiasaan. Sampai semangkuk bakso Mang Ujang datang, membuat para remaja itu berkutat pada menu makan siang.

"Terima kasih, Kan." Syadza berucap usai menghabiskan porsi makannya. Meski di awal Kana tak mau mendengar kata terima kasih, Syadza tetap menganggap kata itu perlu. Minimal, sekali dalam satu pemberian.

"Santai aja lah." Kana kembali memasang wajah pongah, membuat Diza lagi-lagi memberikan hadiah yang menyakitkan. Lalu kembali berdebat, dan sama-sama menjadi tontonan gratis bagi Rama yang masih menikmati bakso di hadapannya.

Puas dengan traktiran Kana, semuanya langsung mengembalikan mangkuk kotor ke Mang Ujang. Kemudian berjalan ke luar dari kantin bersama. Masih dengan Kana dan Diza yang sama-sama tak bisa diam, lalu Syadza dan Rama yang terlalu diam.

"Tahu enggak? Kemarin itu waktu kita kepergok kakaknya Rama tuh rasanya memalukan banget!" Diza menutup wajahnya dengan telapak tangan, mengingat ucapan Laksmana yang kemarin mengatakan bahwa mereka berempat seperti sedang latihan sinetron.

"Aku biasa aja tuh." Kana yang terlalu santai kembali membuat Diza ingin mengambil penggaris dari dalam tasnya.

"Kata Laksmana, kalian lucu." Rama terkekeh kecil, sementara Syadza hanya tersenyum tipis.

"Dza, kok diem aja?" Diza bertanya ketika mereka berempat telah sampai di depan gerbang sekolah yang sudah sepi.

"Menurut kalian ... bagaimana dengan nilai kita?" Syadza tertunduk. Masih merasa bersalah karena menjadi salah satu faktor terhambatnya tugas mereka.

"Bagus lah. Optimis aja!" Diza menepuk pundak Syadza, menyalurkan sikap optimis yang tengah ia rasakan.

"Jelek juga enggak pa-pa. Yang penting usaha." Kana bicara masih dengan nada santainya, meski kali ini itu tak membuat Diza ingin memukul dirinya.

"Seperti kata Merpati. Apa pun yang terjadi, tak akan mampu menghancurkan seorang pemimpi." Rama tersenyum tipis, tatapannya kini tertuju pada lampu di seberang jalan yang tak dihidupkan. Sebelum akhirnya menatap ketiga kawannya dengan senyum manis. "Untuk menjadi ilmuwan terkemuka, Thomas Alva Edision juga tak ditanyai tentang nilai tugas bahasa indonesia kan?"

Ke empatnya terdiam, lalu tiba-tiba tertawa bersamaan. Bahwa ucapan Rama benar. Satu tugas tak akan membuat masa depan ranggas kan?

Lagi pula, meski pun gagal, mereka berempat tetap mendapat hadiah yang sepadan. Sebuah persahabatan. []

A/N : The last part. Tinggal epilog dan, sayonara✌

Publish : Magelang, 20 Agustus 2021

What's My Dream?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang