"Bentar Dza, berhenti dulu." Cewek itu kembali mengambil ponsel dari dalam tasnya, mundur beberapa langkah, berjongkok, atau berjinjit demi langit berwarna campuran jingga dan kelabu di jam setengah enam pagi.
Usai puas dengan hasil jepretannya, Diza langsung menggaet tangan Syadza, dan kembali meneruskan acara jalan pagi yang mereka lakukan. Hari minggu ini sangat sayang jika hanya dihabiskan untuk tidur seharian.
"Hari Minggu ini, kamu mau ke mana Dza?" Syadza hanya memberikan sebuah gelengan, sedang Disa tampak kesal karena tak mendapat jawaban yang ia inginkan.
"Malas jawab, atau enggak tahu mau ke mana?" Syadza memilih opsi ke dua dari pilihan yang Diza ajukan, lalu disambung dengan Diza yang menjabarkan rencana pergi ke Mal siang nanti bersama saudara sepupunya.
Bunyi lonceng dari gereja yang terletak di kompleks tetangga, membuat ke dua cewek itu memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Sudah pukul enam, saatnya sarapan, mandi, dan menghabiskan akhir pekan.
Di perjalanan pulang menyusuri Kompleks Jaya Bakti, Diza menghentikan langkahnya. Membuat Syadza juga ikut berhenti dan menoleh ke lapangan di sisi kiri mereka. Pandangan cewek itu tertuju ke pojok lapangan, pada cowok yang sedang asyik bermain dengan bola di hadapannya.
"Ini jam enam kan?" Syadza mengangguk saja, sedang Diza menggelengkan kepala. Cewek itu kembali meneruskan langkahnya, dengan helaan napas yang mampu Syadza dengar. "Bolos lagi tuh anak."
Kening Syadza mengernyit heran. "Kenapa?" Sementara Diza hanya menggeleng, dan tersenyum. Seolah mencoba menyembunyikan sesuatu.
Syadza hanya diam, tanpa ada niat bicara atau mencari tahu. Penasaran dengan apa yang Diza sembunyikan, tentu saja. Tapi jika ia bersikeras bertanya pun, Diza tak akan memberi sebuah jawaban.
Ke dua cewek itu berpisah memasuki Perum rumah masing-masing. Syadza berjalan menunduk menuju rumahnya di Perum Sekar Langit nomor empat, setelah sebelumnya melambai pada Diza yang memasuki Perum Jaya Bangsa. Sesekali ia tersenyum tipis, pada beberapa orang yang sedang duduk-duduk di depan teras.
Tepat pukul setengah tujuh pagi, sampailah ia di depan sebuah rumah bercat jingga. Lalu masuk ke dalam setelah meletakkan sepatu di atas rak. Usai mengucap salam, ia merebahkan diri di atas sofa ruang keluarga, menikmati suasana sunyi pagi hari.
Ibunya mungkin sedang fokus dengan masakan di Dapur. Ayahnya pun pagi ini mungkin sudah kembali berangkat ke rumah sakit. Di hari Minggu seperti ini, nyatanya tidak semua orang benar-benar
menikmati waktu liburan. Termasuk dirinya sendiri."Sudah pulang Dza?" Suara bariton itu membuat Syadza tersentak dari lamunan. Menoleh ke belakang, membuat ia mendapati sang Ayah yang tengah tersenyum manis. "Mandi sana, habis itu jalan-jalan sama Maharaja."
Kaget, senang, dan bingung. Semua bercampur menjadi satu. Dengan semua perasaan itu, Syadza membeo, "Maharaja?"
Tak langsung menjawab, Pak Yahya kini malah tertawa kencang. Pria itu kini mengambil posisi duduk di samping putrinya. "Maharaja Bapak Yahya, hari ini mau mengajak jalan-jalan Putri Syadza."
Syadza tertawa sebentar, ketika melihat apa yang Ayahnya lakukan untuk membuat ia merasa terhibur. Dengan senang hati Syadza mengangguk lalu pergi ke kamar mandi dengan cepat.
Hari Minggu ini tidak akan semembosankan apa yang ia kira mungkin. Entah, Maharaja itu akan membawa ia ke mana. Yang penting, sekarang ia harus bersiap, segera.
***
Pukul tujuh tepat, Syadza ke luar dari rumah bersama Yahya, setelah sebelumnya berpamitan dengan Diah dan membawa sebuah rantang. Tapi bukannya membuka garasi untuk mengambil barang itu mobil atau motor, Yahya justru membawa putrinya ke luar rumah sambil bergumam.
KAMU SEDANG MEMBACA
What's My Dream?
Teen FictionSyadza tak pernah tahu apa yang dia suka. Ketika teman-teman sebayanya sibuk melakukan hobi dan mencari jati diri, Syadza tak pernah peduli. Cita-cita pun tak ia miliki. Hingga sebuah tugas bahasa indonesia, membuatnya mau tak mau harus mempelajari...