"Ram, traktir ya." Celetukan yang menggema sepanjang koridor sontak membuat Rama menatap malas pada cowok yang berjalan di sampingnya. "Uangku habis," jawabnya singkat.
"Seribuuuuu aja. Buat beli cendol." Kana masih kekeh dengan permintaannya.
Rama menatap Kana dengan jengah. "Enggak. Uangku habis," jawabnya singkat.
"Pleas. Seribu, aja," pinta Kana lagi dengan tampang memelas.
"Hei! Kamu ini mau minta traktiran atau merampok sih?!" Diza memekik dengan nada gemas. Melihat Kana yang memaksa Rama terus-menerus, membuat ia benar-benar merasa kesal.
"Dih. Bilang aja kamu juga mau minta traktiran," tukas Kana dengan nada sinis.
Diza berdecih. "Sok tahu! Uang jajanku saja masih, masak aku mau minta ke orang lain? Aku kan bukan kamu," balasnya tak kalah sinis.
Alih-alih kesal dengan perkataan Diza, Kana justru tersenyum jahil. "Uang jajanmu masih?"
"Iya, kenapa?!"
Kana tersenyum penuh arti. "Traktir dong Diz."
Diza mendengkus kesal. Harusnya tadi ia tak perlu memaparkan tentang sisa uang jajannya. Kalau seperti ini, sudah dapat dipastikan kalau Kana akan terus meminta agar diberikan traktiran.
"Traktir ya Diz."
"Enggak."
"Traktir ya, ya?"
"Enggak, enggak, enggak."
Begitu seterusnya sampai Syadza dan Rama yang berdiri di antara keduanya hanya bisa menghela napas. Mau melerai pun tak akan ada gunanya. Diza dan Kana jika sudah berdebat, pasti akan jadi seperti kucing dan tikus.
Di tengah keterdiaman yang Rama tunjukkan, dan perdebatan antara Kana dan Diza yang amat sengit, Syadza malah berdiam diri sambil menatap gerbang pintu masuk yang mulai terlihat. Cewek itu berpikir, tentang bagaimana mereka berempat bisa berjalan bersama di koridor yang tampak lengang.
•••
Jemari lentik Bu Neni menari-nari di atas papan tulis. Tinta spidol hitam ia coretkan membentuk rangkaian huruf. Rangkaian huruf yang mampu membuat Syadza membuang napasnya.
Di sana tertulis,
Kelompok 4.
Anggota : •Rama Danyadhaska
•Arkana Kristian
•Diza Aurora
•Syadza AlishbaAda namanya di antara nama Rama dan Diza—siswa dan siswi dengan nilai tertinggi di kelas 7A—sedangkan untuk tugas ini, Syadza tak yakin ia akan berhasil.
"Kalian punya waktu dua minggu untuk menyelesaikan tugas ini. Dan ingat, nilai ini akan Ibu ambil perkelompok."
Bu Neni menutup jam pembelajarannya usai memaparkan tentang tugas dan meminta Rama untuk memimpin doa pulang. Kemudian ia meminta para murid untuk pulang, dan segera kembali ke ruang guru.
Ketika Kelas tinggal terisi oleh segelintir orang, Rama berbalik badan—menatap Diza, Syadza, dan Kana—yang masih membereskan alat tulis mereka.
"Jangan langsung pulang. Kita bicarakan dulu tugas kita di koridor."
•••
Begitulah. Syadza sebenarnya kurang suka dengan kelompok yang Bu Neni atur. Selain karena ia yang takut menjadi beban bagi kelompok, ada Diza dan Kana juga yang selalu bertengkar. Dan Syadza yang nyatanya adalah penyuka kesunyian, tentu kurang suka dengan pertengkaran yang pasti tak akan terelakkan.
"Menurutmu gimana Dza? Kira-kira kapan enaknya?"
Syadza yang baru saja melamun langsung terkejut. "Ha? A-apa?" tanyanya dengan nada gagap.
Rama mengernyit heran. "Kamu ngalamun tadi?"
Syadza menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil tertawa garing. Sementara Rama menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa yang kamu pikirkan?"
Syadza menggeleng cepat. "Enggak kok. Bukan apa-apa." Rasanya tak mungkin jika ia harus mengatakan kegelisahannya pada Rama yang hanya merupakan teman satu kelompoknya.
Kalau ia mengatakannya, itu berarti ia menyerah sebelum bertindak. Lagi pula, mencoba menemukan mimpi dalam waktu dua minggu juga bukan hal yang buruk.
Walau ... mungkin agak sukar.
"Oke. Gimana rencananya?" tanya Diza secara tiba-tiba. Disusul Kana yang tampak diam menyimak. Dari ekspresi keduanya, Syadza dapat menerka bahwa perdebatan mereka sudah selesai.
"Sudah habis debatnya?" Rama balik bertanya, dengan nada datar, dan dingin.
Diza yang menyadari kesalahannya langsung mengangkat dua jari sebagai bentuk perdamaian. "Maaf, hehe."
"Jadi ... gimana?" Kini Syadza yang melempar pertanyaan.
Rama, Diza, dan Kana serempak menatap Syadza. Ketiganya mulai berpikir kini. Apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk tugas kali ini?
"Mari kita buat nama dulu untuk kelompok ini! Biar gaul seperti dalam film-film!" usul Diza dengan bersemangat.
"Nama?" ulang Syadza dan Rama yang tampak kurang mengerti dengan usulan Diza.
Lain dengan Kana yang tampak antusias. "Ayo! Mari kita pilih nama untuk kelompok ini!"
Diza mengangguk. Pupil matanya kini menatap Kana, Rama, dan Syadza secara bergantian. "Singkatan nama kita saja bagaimana?" tanyanya memberi usulan. "Rama, Kana, Diza, Syadza. Kalau disingkat menjadi?"
Kana dan Diza tampak berpikir. Sedangkan Syadza dan Rama hanya diam menyimak. Keduanya terlihat tak terlalu tertarik dengan pembicaraan ini.
Sekitar dua menit kemudian, Kana berseru menyuarakan usulan, "Bagaimana kalau, RaKaDiSy?"
Pupil mata Diza tampak berbinar. "Ya, ya, itu bagus! Haha, baru pertama kali aku suka dengan idemu!" sahutnya.
Kana tersenyum bangga. Pandangannya kini teralih pada Rama dan Syadza. "Bagaimana?" tanyanya, yang jelas langsung dijawab anggukan oleh keduanya.
Kemudian Kana menatap Diza dengan senyuman. Ia melayangkan tangannya, niat hati ingin bertos ria. Namun, Diza malah menatapnya dengan mata melotot.
"Bukan mahram!" Begitu katanya. Kana meringis ketika mendengar ucapan Diza. Dia sempat lupa kalau agama Diza mengharuskannya untuk menjaga jarak dengan cewek itu.
"Oke, sekarang serius. Pulang sekolah, kita akan bahas tugas ini di mana?" Rama bertanya dengan nada serius.
"Bagaimana kalau kita bahas tugas ini di Rumah?" Kana memberi usulan, dengan senyum jahil yang sedikit tampak di wajahnya. Entah apa yang cowok itu pikirkan.
"Rumah siapa?" tanya Diza.
"Rumahmu," sahut Kana cepat sembari tersenyum jahil. "Kalau kamu enggak bisa mentraktirku, minimal aku bisa numpang makan di Rumahmu," lanjutnya dengan sumringah.
Diza memutar bola matanya malas. Beberapa menit berlalu dan Kana masih saja membahas soal traktiran. Menyebalkan.
"Jadi, fix di rumahmu?" tanya Rama pada Diza. Dengan berat hati Diza mengangguk. Sementara Kana tampak kegirangan.
Dan Syadza yang dari tadi hanya menyimak kini mengangguk sebagai persetujuan. []
Publish : Magelang, 21 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
What's My Dream?
Genç KurguSyadza tak pernah tahu apa yang dia suka. Ketika teman-teman sebayanya sibuk melakukan hobi dan mencari jati diri, Syadza tak pernah peduli. Cita-cita pun tak ia miliki. Hingga sebuah tugas bahasa indonesia, membuatnya mau tak mau harus mempelajari...