13• Maaf Diterima

9 2 1
                                    

Jam digital di tangan Syadza telah menunjukkan angka 13:15. Dibuangnya napas dengan gusar, sembari menatap sekeliling SMP Cakrabuana yang tampak lengang. Harusnya sekarang ekstrakulikuler qiraah sedang dimulai, jika saja Pak Danu tidak dengan tiba-tiba mengatakan bahwa agenda ekstrakulikuler hari ini ditiadakan.

Netra cokelat cewek itu menatap ke sana ke mari. Setelah merasa benar-benar tidak ada orang, barulah ia bangkit dari lantai koridor yang sempat ia jadikan lesehan. Dengan keberanian yang terpaksa disusun, ia melangkah menuju lapangan di halaman belakang sekolah, berdekatan dengan perpustakaan yang kehilangan kaca jendelanya.

Meski tak berdekatan, Syadza mampu melihat dengan jelas bahwa Kana tak menendang bola hingga mengenai kaca jendela. Pun kaca itu baru pecah usai Kana berbalik. Seperti ada sesuatu yang janggal.

Bulu kuduk Syadza berdiri, tepat ketika raganya berada di tengah lapangan yang sepi. Dari situ, jendela perpustakaan tanpa kaca mampu ia pandang dengan saksama. Napasnya berembus, dengan pikiran yang bingung.

Ting!

Suara notif pesan masuk membuat cewek itu berhenti mengamati. Diambilnya ponsel dari saku rok berwarna merah yang ia kenakan. Melihat siapa yang mengirim pesan.

Kok sepi Dza?
Kamu di mana?
Aku kira qiraahnya udah mulai dari tadi.

Tak mau membuang waktu, Syadza lekas membalas pesan itu.

Di lapangan sekolah. Ke sini cepat.

Kembali dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku rok. Syadza kini melangkah maju, mencoba melihat lebih dekat bagaimana pecahnya kaca jendela perpustakaan.

Yang pecah bukan jendela utama memang. Hanya semacam jendela ventilasi, yang kini telah berlubang, menyisakan beberapa kaca yang masih tertanam. Sinar matahari yang masih berada tepat di atas kepala sedikit masuk ke dalam sana.

Perlahan, ditatapnya kaca ventilasi yang dipasang dalam waktu yang sama. Ada lima kaca baru yang dipasang sekolah, satu di antaranya telah pecah, menyisakan empat kaca yang tertutup bayangan pohon beringin.

"Qiraahnya libur?" Tepukan di pundak Syadza membuat cewek itu refleks berbalik. Di embuskannya napas, sambil mengatakan 'iya' pada Diza yang tampak bingung.

Cewek dengan jaket biru tua itu menatap ke tempat yang tadi sahabatnya tatap. Ia mengernyit kebingungan. "Ngapain di sini?" tanyanya, tak kuat menahan rasa penasaran.

"Selidikin masalah Kana." Jawaban singkat Syadza malah membuat Diza menganga. "Serius?!" Syadza mengangguk, membuat Diza kembali terdiam di tempatnya. Jika dilihat dari kemarin, Syadza tak tertarik dengan apa yang Kana permasalahkan. Tapi ini?

"Enggak usah kaget." Diza meringis, membuat Syadza kembali menghela napas. "Diam bukan berarti enggak peduli kan? Lagi pula, Kana kan teman kita. Aku udah merasa bersalah karena bikin kelompok kita nunda tugas. Aku enggak mau tambah ngerasa bersalah kalau lihat temanku kena masalah."

Diza tersenyum, menyetujui ucapan Syadza. "Aku bantu kamu." Ini waktu yang tepat, untuk cewek itu bisa mendapat penerimaan maaf.

Syadza kembali menghapus jarak antara ia dengan jendela perpustakaan yang pecah. Tatapannya menyelidik, kembali mencari apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku takut kalau ini benar ulah dedemit." Diza menunduk, mengindari bersitatap dengan pohon beringin yang menjulang tinggi di sanping lapangan.

Syadza menggeleng. "Mereka enggak akan ganggu kalau kita enggak ganggu dulu. Kana enggak ganggu mereka kan? Malahan dia ngehentiin acara iseng anak-anak kelas hari itu. Aku rasa, ini enggak ada hubungannya dengan dunia astral."

"Lalu, apa?" Diza memberanikan diri mendongak, menatap Syadza yang masih memikirkan sesuatu.

"Apa ada penjelasan ilmiah tentang pecahnya kaca ketika terkena sesuatu? Mm, panas matahari misalnya?"

Diza tampak berpikir, mengubek-ubek pikirannya, mencari jawaban atas apa yang Syadza tanyakan.

"Pemuaian!"

Tidak. Bukan Diza yang berucap. Itu suara lelaki, yang langsung membuat dua cewek itu berbalik. Lalu serentak terkejut atas kehadiran dua cowok yang bukan orang asing.

"Ngapain kalian di sini?"

Mereka berdua tak menjawab. Kana sibuk dengan ponselnya, entah melihat apa. Sedangkan Rama sibuk menatap 5 jendela perpustakaan yang berbeda. Syadza juga sama. Keduanya sibuk mengamati, menyisakan dua orang lainnya yang masih terlihat berjarak.

"Tadi kamu bilang apa?"

"Pemuaian." Rama mengangkat tangannya, menunjuk satu jendela dengan jendela lainnya secara bergantian. "Lihat, empat jendela itu tertutup bayangan pohon beringin, tidak ada jendela yang masuk. Sedangkan jendela yang pecah itu menghadap ke arah timur, hingga di pagi sampai siang hari, panas matahari akan mengenai jendela tersebut, dan terjadilah pemuaian."

"Jendela rumahku terkena cahaya matahari tiap pagi, namun tak pecah sama sekali. Bagaimana dengan itu?" Syadza kembali bertanya, masih merasa bingung dengan apa yang ada di hadapannya.

"Pemuaian terjadi di mana pun. Tapi pecahnya kaca hanya terjadi ketika kaca dipasang dengan sangat rapat, hingga tak ada ruang jika kaca memuai. Maka, pecahlah." Rama tersenyum puas atas apa yang ia ucapkan. "Pak Danu bilang, tukang yang memasang kaca di sini masih baru. Maka dari itu, mungkin dia tak tahu, atau lupa, atau bagaimana, hingga memasang kaca tanpa diberi celah yang cukup."

Syadza terkesima atas penjelasan cowok bali di sampingnya. "Keren penjelasanmu. Masuk akal!" Keduanya tertawa pelan, membuat Diza dan Kana keheranan.

"Aku akan memberitahu pada Pak Danu besok pagi, dan masalahmu selesai." Usai mendengar penjelasan Rama, kini giliran Kana yang bernapas lega.

"Ayo pulang! Aku dimarahin Papa nanti kalau kesorean." Rama menggeleng, membuat Kana mengernyit, heran. "Masalahmu dengan Pak Danu selesai, masalahmu dengan Diza belum." Rama mempertegas apa alasannya menggeleng.

Kana terdiam, perlahan melirik Diza yang juga diam di posisinya. Suasana canggung menyeruak, membuat Syadza yang menjadi penonton di samping Rama merasa tak enak.

"Maaf. Aku enggak sengaja ngomong kayak gitu kemarin."

Kana masih acuh tak acuh, membuat suasana kian canggung. Sementara Diza seterusnya membuang napas kesal. "Aku traktir bakso Bu Wati kalau kamu maafin aku."

Kana mendongak, menatap wajah Diza dengan mata berbinar. "Sungguh?"

Diza mengangguk, dengan tatapan kesal. Sebab ia tahu bahwa Kana pasti akan langsung berkata, "Maaf diterima!"

Rama geleng-geleng kepala di tempatnya. Menyisakan Diza dan Kana yang tadinya canggung kini tertawa bersama. Sementara Syadza tersenyum tipis di tempatnya.

Bermusuhan, berdamai, lalu tertawa bersama. Bukankah ini tanda sebuah persahabatan? []


A/N:

Cerita pecahnya kaca itu terinspirasi dari kisah nyata. Wkwk, jadi kangen sekolah.

Dan nulis soal qiraah ... aku jadi kangen sama guru terbaik yang sekarang udah ada di atas sana. Kalau aku enggak bertemu beliau, mungkin sampai sekarang aku enggak bakal bisa murotal waktu baca Al-Quran :)

Magelang, 10 Aguatus 2021

What's My Dream?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang