Sudah seminggu lebih Jieun menjadi istri dari seorang Suga. Sepekan ini tidak Suga tidak membiarkan Jieun tinggal sendiri dirumah. Hingga akhirnya Suga memutuskan untuk kerja hari ini, sudah waktunya untuk melakukan aktifitasnya sebagai pengusaha furniture di pagi hari, dan pemilik klub terbesar di malam hari.
Meski banyak karyawan yang dipercaya untuk memegang kendali, Suga bukan tipe orang yang bermalas-malasan. Dia orangnya ulet dan pekerja keras, mengingat bahwa apa yang dikerjakan selama ini didirikan susah payah untuk mengubah perekonomian hidupnya.
Dulu Suga termasuk orang miskin, tidak memiliki apa-apa selain memiliki kasih sayang seorang ibu. Suga anak yang pandai, pintar dan kreatif. Berumur 12 tahun tidak malu membantu sang Ibu yang bekerja di toko, mengangkat barang-barang dan menghitungnya. Upah yang didapat tentu diberikan pada sang ibu untuk biaya sewa rumah, sekolah dan kehidupan sehari-hari.
Sang ayah tidak bisa diandalkan setelah menikah dengan wanita tua kaya, tidak pernah menemui Suga apalagi mengirim uang. Sang ayah menyalahkan Ibu atas kemiskinan yang dialami padahal sudah jelas pria itu yang tidak mau mengubah diri, tidak mau bekerja tapi mau hidup enak.
Dengan kepergian sang ayah membuat beban Suga sedikit berkurang-berkurang banyak. Dia tidak lagi mendengar pertengkaran, tidak lagi merasakan pukulan dari sang ayah dan tidak ada masalah karena pembuat onar memilih pergi. Akan lebih baik begitu.
"Ibu tenang ajah, selama masih ada aku dan ibu selalu disisiku semua akan baik-baik saja." Kata Suga waktu menyemangati Ibu yang kelelahan.
Bukan karena lelah bekerja, lelah karena menahan rasa sakit ditinggal sang suami, lelah karena menerima takdir yang membiarkan anaknya ikut bekerja.
"Maafkan ibu, nak." Ibu membelai puncak rambut.
"Kenapa ibu minta maaf?"
"Karena kamu ikut bekerja sama Ibu, seharusnya diusia kamu hanya fokus belajar dan bermain."
"Kalau belajar aku bisa belajar dimana saja, aku akan membuat ibu bangga dengan hasil ujianku. Anak ibu ini-kan cerdas. Kalau masalah bermain...." Suga memberi jeda.
Sang Ibu menunggu anaknya melanjutkan ucapannya.
"Ah, aku tidak suka bermain, membuang-buang waktu saja." Jawaban Suga sukses membuat air mata Ibu jatuh.
Wanita itu tau alasan mengapa Suga lebih memilih menyibukkan diri bekerja diusianya yang masih kanak-kanak. Ibu tau Suga selalu di bully karena tidak memiliki ayah dan teman-temannya selalu saja menghina Suga dengan berbagai informasi yang entah dari mana anak-anak tau.
"Jangan menangis Ibu, ada saatnya aku sudah besar dan memiliki perusahan besar, menghasilkan uang banyak agar tidak ada yang berani menginjak-injak kita." Jelas Suga, tidak terlihat tertekan karena pembullian yang dialami. Suga hanya merasa tertekan jika ada sang Ayah yang datang kerumah hanya membuat onar bahkan mendaratkan pukulan di tubuhnya. Kini dia tidak merasa tertekan, bahkan bullian teman-temannya tidak sebanding sakitnya dengan pukulan sang ayah.
Semenjak saat itu, Suga hidup menyendiri bersama Ibu. Dia bertekad untuk mengubah perekonomian keluarga. Bekerja dan belajar secara bersamaan. Suga mendapat nilai tinggi bahkan mendapatkan penghargaan dibeberapa akademi. Ibu bangga memiliki Suga yang semangat untuk mengubah kehidupannya.
Hingga menginjak kuliah, semua biaya sekolah dari pemerintah dan didapatkan karena prestasi. Namun saat kelulusan, sang Ibu meninggal karena mengidap penyakit TBC. Ibu tidak pernah mengeluh dan mengatakan bahwa dirinya sakit, beliau tidak mau menganggu waktu belajar sang putra di Seoul. Kenyataan pahit didapat saat kepergian Ibu, sang penyemangat hilang. Tak peduli hasil ujian akhir digenggaman dengan nilai yang sangat memuaskan dan banyak menawarkan pekerjaan. Suga tidak berminat untuk mengubah hidupnya.
Kepergian sang ibu membuat hari-hari Suga menyedihkan. Tidak menyangka akan secepat itu Ibu meninggalkannya. Belum sempat membuat beliau bahagia, bahkan di akhir hayatnya terus berpura-pura baik-baik saja dan terlebih rasa sungkan pada sang anak untuk memberitaukan penyakit yang diderita. Andai saja Suga tau lebih awal mungkin sang ibu masih bisa diselamatkan. Takdir akan menjadi takdir, semua sudah digariskan oleh Sang Kuasa.
Beberapa minggu terpuruk di kota besar yang menjanjikan kesuksesan. Suga menghabiskan hari-hari dirumah kontrakan. Banyak botol minuman keras berserakan. Dipikirannya hanya bisa mabuk-mabuk agar menghilangkan rasa pahit kehidupannya.
Hingga suatu malam, Suga membeli beberapa botol minuman dihentikan oleh salah satu dosen.
"Tidak kusangka jika mahasiswa yang aku kenal cerdas dan pintar berakhir seperti ini."
"Lepaskan Tuan!" Suga menghempaskan tangan pria berusia 40 tahunan. Suga membawa botol minuman itu kekasir.
"Hentikan atau kau juga akan mati sia-sia!!" Jelas pria itu. Tuan Lim.
"Ini bukan urusan anda." Suga mengambil beberapa lembar uang tapi dihentikan oleh Tuan Lim, menariknya secara kasar untuk keluar dari mini market.
Tuan Lim mencoba menahan agar Suga tidak masuk kedalam mini market untuk membeli minuman keras. Suga melakukan perlawanan tapi masih dihindari oleh Tuan Lim, karena Tuan Lim badannya lebih kekar dari kuat dari Suga.
"Lepaskan Tuan!!"
Satu tamparan membuat Suga tersadar.
"Nak, ini bukan akhir hidupmu."
"Ini sudah berakhir Tuan. Ibuku sudah meninggal dan aku sudah berakhir!!" Teriak Suga sambil menangis.
"KENAPA TUHAN ENGGAK AMBIL AKU JUGA?" Teriak Suga yang akhirnya mendapat tamparan dari Tuan Lim.
"Apakah dengan mati semua akan berakhir? Tidak, Nak. Kematian hanya untuk sebagian orang yang hilang nyawanya dan pergi begitu saja. Tapi tidak untuk ibumu. Beliau masih hidup di hatimu, di pikiranmu, bahkan di sampingmu karena kenangan beliau selalu menemani. Beliau tidak membiarkan putranya hidup sengsara sendiri. Dengar Nak, inilah saatnya kamu mengubah diri untuk beliau, tunjukkan bahwa kamu bisa meraih kesuksesan."
"Tapi Tuan Lim, aku kalah dengan takdir." Suga tersungkur di tanah, sepasang kakinya lemas menyadari betapa dirinya tak berdaya, separuh jiwanya pergi bersamaan kepergian sang ibu.
"Ibumu tidak mau melihat anaknya kacau seperti ini, bangunlah! Kita bicarakan ini dirumah." Tuan Lim membantu Suga berdiri dan berjalan menuju rumah kontrakan Suga.
Tangisan menemani langkah kedua lelaki itu. Suga masih berbicara ngawur dan meminta minuman keras agar otaknya tidak mengingat hal menyedihkan. Nyanyian tak karuan dikumandangkan, Tuan Lim hanya bisa menenangkan dan memeluk Suga dari samping untuk berjalan lebih cepat sebelum orang-orang terganggu dengan teriakan Suga.
*****
Waktunya mellow ajah, jangan banyak2 adegan dewasanya. Eh
Happy reading❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
FanficLENGKAP Sulit bagi seorang yang telah direnggut kebahagiaannya untuk berjalan normal kembali. Dia terlalu lama berlari, berjalan terseok-seok mencari tempat aman. Namun darah yang tertinggal saat bersembunyi membuatnya kembali dalam dunia gelap. ###...