The End

231 37 7
                                    

Seseorang telah melepas kupu-kupu di hidupnya, kini ia bisa bernafas lega selepas semua yang terjadi padanya. Kemalangan yang masih menohoknya sampai detik ini, sebab ia merindukan sosok yang pernah menyakiti. Meski langkah kaki ingin kembali tapi hatinya enggan untuk kembali.

Di tempat ini dia sudah terbiasa dengn orang-orangnya, dengan cuacanya, dengan suasananya bahkan kini Jaemin sudah memasukin PAUD (jenjang pendidikan sebelum TK).

Jika takdir mempermainkan dirinya lagi, dia siap menghadapi dan memastikan senyuman diwajahnya tidak akan memudar sebab dia memiliki Jaemin. Putra semata wayangnya yang luar bias hebat. Meski terbilang masih kanak-kanak, kesendirian ibunya membuat anak itu memiliki pikiran dewasa, bisa menenangkan Jieun disaat kerinduan dan kenangn menyerang. Jaemin juga selalu membawa Jieun jalan-jalan ketika mendapati ibunya termenung sendirian. Jika perlu Jaemin menelpon Jungkook untuk menyenangkan hati Jieun. Meski berada diujung dunia, ketika dapat panggilan dari Jaemin, Jungkook pasti akan datang, tak peduli ia sedang bekerja. Prioritas utama adalah Jaemin.

Sama seperti saat ini, Jaemin meminta Jungkook datang untuk mengantarkan sekolah di hari pertamanya. Jungkook tidak keberatan, dia membatalkan semua jadwal seminggu untuk datang ke Bali. Memenuhi keinginan Jaemin.

"Terima kasih Appa sudah mengantarkanku sekolah. Aku sayang Appa Jungkook." Jaemin memeluk dan mencium pipi Jungkook.

Binar mata Jungkook berair, entah ada rasa apa yang menyelimuti hatinya. Sosok anak laki-laki yang tulus menyayanginya seperti ayahnya sendiri.

"Appa juga sayang Jaemin. Ingat! Jangan nakal! Jaemi1n-ku kan anak yang pintar, apalagi Jaemin sudah pintar berbahasa Indonesia." Jungkook membalas pelukan.

"Apakah percakapan antara ayah dan anak lupa dengan kehadiran eomma?" Jieun berpura-pura cemburu.

Jungkook melepaskan pelukan Jaemin agar memeluk Jieun.

"Eomma adalah orang pertama yang aku cintai. Terima kasih sudah menjadi manusia kuat. Eomma sangat hebat. Aku sangat sangat sangat menyayangi eomma."

"Tadi Appa hanya mendengar Jaemin bilang sayang appa tapi ketika sama Eomma, bilangnya sangat sangat sangat sayang Eomma. Appa cemburu."

"Sudahlah Appa! Aku sudah membagi rata cintaku untuk Appa dan Eomma. 60 persen untuk eomma, 35 persen untuk Appa." Sambil menyilangkan tangannya, Jaemin sangat lucu saat mengatakannya.

Setelah menyadari ada angka yang kurang, Jieun dan Jungkook saling pandang. Antara heran dengan 5 persennya, dan kagum dengan kepintaran menghitungnya.

"Lalu 5 persennya untuk siapa?" Tanya Jieun.

Jaemin menunduk sebentar, dia takut mengatakannya. Dia tidak ingin kedua orang yang dihadapannya terluka ketika mengatakannya.

"Sepertinya Appa tahu." Jungkook mengelus kepala Jaemin.

Jieun mengernyit kearah Jungkook, mencari jawabannya tapi Jungkook tidak mau menjawabnya.

"Benarkah? Appa tidak marah atau kecewa?" Tanya Jaemin girang.

"Appa tidak marah, kamu berhak membaginya tapi ingat, kadarnya kecil."

"Iya! Kecil sekali."

Jungkook menggelitiki Jaemin untuk menetralkan kebingungan Jieun.

"Aku masuk dulu! Bye bye eomma! Appa!"

Anak lelaki itu berlari girang masuk ke dalam area sekolah. Jungkook dan Jieun diluar gerbang melambai sampai anak itu benar-benar tak terlihat.

Mereka berjalan kearah taman dekat sekolah. Mereka berniat menunggu disana.

"Terima kasih sudah datang. Tidak seharusnya kau meninggalkan pekerjaan hanya karena hal seperti ini." Jieun merasa tidak enak hati.

"Hei! Jangan berkata seperti itu. Jaemin menganggapku sebagai ayahnya, jadi aku juga menganggap sebagai putraku. Kau sudah menyetujuinya, bukan!"

"Iya! Tapi karena itu Jaemin berkuasa atas segala permintaan."

Jungkook menggenggam erat tangan Jieun. "Ingatlah! Berapa lama ia menunggu sosok ayah. Meski aku buka ayah biologisnya, setidaknya dia memiliki sosok ayah agar merasa terlindungi. Aku tidak keberatan. Malah senang. Sudah berapa kali aku mengatakan hal ini."

Jieun membalas genggaman tangan Jungkook. "Terima kasih! Terima kasih banyak."

"Oh iya! Soal 5 persen itu aku sudah paham." Jelas Jieun.

Jungkook mengangguk, mengembuskan napas panjang, seakan ada gejolak dihatinya yang tak bisa terucap.

*****

Sepulang sekolah, Jaemin meminta untuk bermain di taman bersama Jungkook. Dia merasa sedetik berlalu sangat berharga untuk bermain dengan Jungkook, sebab pria itu sangat sibuk. Meski menjadi prioritas, Jaemin juga merasa tidak seenaknya menyuruhnya datang ke Indonesia karena hal sepele, terkecuali hari ini. Di hari pertama ia sekolah, dia ingin ditemani Jungkook sebagai ayah sambungnya, agar kedepannya dia tidak di bully dan mempertanyakan dimana ayahnya? Semakin besar Jaemin sudah terbiasa tanpa hadirnya sosok ayah kandung karena Jungkook sudah mengantikan sosok tersebut bahkan lebih baik. Jaemin sudah berhati-hati dalan bersosial, Jieun mengajarkan mencari teman yang tulus, saling menguntungkan dan saling menyayangi. Jieun tahu betul rasa sakit atas persahabat, dia berharap Jaemin tidak terlalu dekat dengan seseorang yang menjadi sahabat karib. Hanya sekedar teman.

"Jungkook, Aku mau beli cemilan. Apa kamu mau nitip sesuatu?" Tanya Jieun.

"Aku mau ice cream vanila sama air putih Ma!" Teriak Jaemin.

"Iya, Nak! Mama tahu kesukaanmu sayang. Kalau kamu?"

"Apa saja." Jawab Jungkook bermain perusutan bersama Jaemin.

Mereka terlihat seperti ayah dan anak kandung.

Di swalayan, Jieun memilih cemilan dan memasukkan kedalam keranjang, tidak lupa air putih dan pesanan Jaemin, ice cream vanila. Setelah dirasa cukup, barulah ia membayar ke kasir.

Jieun melambungkan senyum melihat dari kejauhan Jungkook dan Jaemin yang masih bermain di taman sambil guling-guling di tanah.

Jieun sangat bahagia bisa melalui titik masa lalu kelam. Waktunya menikmati hasil dari jeri kesabaran selama ini. Walau tak berlangsung lama...

Butterfly EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang