44 - Maafkan Aku

1.4K 236 1
                                    

Gadis bernetra cokelat itu menemukan dirinya dia sebuah ruang hangat yang sudah tak asing lagi. Ruangan nyaman berdinding dan lantai kayu, dengan sofa dan meja di tengahnya, karpet merah marron, rak buku di pojokan ruang, dan perapian. Api di sana menggelegak, menimbulkan rasa hangat yang menjalani tubuh Sharley.

Meja rendah di depannya dipenuhi buku dan kertas-kertas. Dua cangkir teh di sana mengeluarkan uap hangat di udara. Sharley melihat dirinya di pantulan teh; meringis karena melihat ada bayang hitam di bawah mata bulatnya.

Tidak salah lagi. Ini ruang dimana dia, Cleon, dan Asher berbincang-bincang dengan Larrence dan Zephran.

"Hai, Sharley."

Dia berjengit, sama sekali tak menyadari ada orang lain di ruangan. Dia menoleh ke sofa tinggal — sofa yang dulunya ditempati Larrence. Dan di situlah sang mantan pimpinan werewolf, tersenyum hangat padanya.

Sharley merasakan dadanya disayat sebilah pisau. Tubuhnya kaku, tak bisa bergerak sama sekali. Dia tak bersuara, seolah pita suara telah direnggut darinya. Tetapi dadanya masih naik-turun dengan normal, menyembunyikan jantung yang berdetak sangat kencang.

Larrence Saezar tampak seperti kali pertama mereka bertemu. Mantel wol berada di atas kemeja hitam, celana panjang yang berlubang di beberapa tempat dan tidak sempat dijahit. Iris mata kelabunya lebih gelap dibanding yang Sharley ingat, dan rambutnya lebih berantakan. Bintik-bintik di sekitar hidung tak meninggalkan wajah Larrence. Kulitnya sepucat kertas, seolah kehidupan telah dicabut darinya.

Dan memang begitu. Larrence sudah mati. Mati karena melindunginya.

"Sudah lama kita tidak bertemu, ya?" tanyanya. Dia bersuara sama, dengan gaya bicara yang sama pula. Kedua tangan Larrence ditangkup di depan tubuh. Sharley melihat adanya goresan-goresan yang belum sembuh total.

"Ya, begitulah." Tidak, sebenarnya mereka tidak bertemu baru beberapa hari. Tapi bagi Sharley, rasanya sudah setahun. Dia tak menyangkal.

Sharley mengamati Larrence lekat-lekat. Dia lebih berharap manusia serigala itu memarahinya, atau sekalian memaki-maki. Dia akan menerima semua itu, dia memang pantas mendapatkannya. Namun Larrence justru tersenyum, seolah tak ada apapun yang terjadi sebelumnya. Seolah ia tak memedulikan kalau ia mati karena melindungi Sharley.

"Jangan menyalahkan dirimu, Sharley." Larrence tahu apa yang dia pikirkan, lantas serta merta menyangkalnya. Sharley tidak membalas, justru menundukkan kepala. Dia tak mau menatap Larrence karena itu hanya akan membuat sakit di dadanya bertambah parah.

"Ini adalah pilihanku. Pilihanku untuk melindungimu. Tidak ada salahnya dengan hal itu, dan kau tak bisa menyalahkan diri sendiri."

Sharley menggigit bibirnya kuat-kuat. Larrence tak mengerti, tak ada siapapun yang mengerti. Tak ada yang tahu seberapa sakit dirinya melihat Larrence mati di depan matanya sendiri.

"Kenapa kaudatang? Apa hanya ini tujuanmu?" tanya Sharley. Entah bagaimana dia tahu kalau ini adalah bukan mimpi biasa. Ini semacam visi. Ini adalah alam bawah sadarnya, tapi dia seolah betul-betul mengalaminya. Semua terasa nyata.

"Yah, aku tak tega melihatmu begitu tersiksa. Aku tahu beban yang kaupikul sudah besar, dan kau mendapat tekanan dari sekitarmu. Aku jarang pernah melihatmu tersenyum bahkan sejak kau datang ke sini. Aku memahaminya." Larrence menghela napas panjang. Mata kelabunya menatap Sharley intens, ada sorot iba dan kasihan.

Sharley tak suka dikasihani. Itu hanya akan membuat dia merasa jatuh ke titik terendah. Tatapan itu juga membuatnya seperti anak bodoh yang tak bisa melakukan apapun. Namun kali ini, dia diam saja.

The Eternal Country (1) : Lost In A Foreign Land (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang