Semenjak kejadian lima hari lalu, Jaemin mati-matian menghindari mahluk tampan bernama Lee Jeno. Ia pergi sekolah pagi-pagi sekali, makan malam di kamarnya, pindah tempat duduk, dan selalu bersembunyi saat Jeno terlihat di matanya.
Jeno pun merasakan itu, siapa yang tidak. Pernah sekali ia bertanya kepada Haechan, lelaki manis itu hanya tertawa lalu menjawab.
"Coba saja kau tanyakan sendiri padanya."
***
Jaemin memasang kaos putih kebesaran beserta celana pendek pada tubuhnya. Sambil keluar dari kamar mandi, tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk.
"Astaga!" Kagetnya. Ia memegang dada kirinya saat melihat orang yang ia mati-matian hindari belakangan ini tengah duduk santai di kasurnya sambil bermain ponsel.
Mendengar pekikan tersebut, Jeno menaikkan kepalanya untuk menatap Jaemin.
"Mark menyuruhku memanggilmu untuk makan malam." Katanya. Jaemin mengangguk kaku sebelum menaruh handuknya dan bergerak cepat menuju pintu.
Tetapi belum sempat ia membukanya, Jeno terlebih dulu mengunci pintu dan menarik tangan Jaemin hingga berhadapan dengannya.
"Kau menghindariku?" tanyanya tanpa basa-basi. Jaemin menelan ludah gugup. Pasalnya wajah Jeno berada sangat dekat dengannya dan mata tajam itu seakan menelanjangi Jaemin.
"Ti..dak?"
"Bohong."
"Kalau sudah tau bohong mengapa bertanya?!"
"Mengapa menghindariku?"
"A-aku tidak tau." Jawab Jaemin gugup sambil menunduk. Tanpa diduga, Jeno menarik tubuh kurus Jaemin ke dalam dekapannya. Ia menaruh wajahnya di ceruk leher itu sambil menghirup wangi sabun yang menguar dari leher si manis.
"Jangan menghindar, it frustrated me."
Jaemin terdiam kemudian mengangguk kaku.
"Jantungmu ribut sekali." Langsung saja Jaemin mendorong tubuh yang lebih besar darinya itu kemudian keluar dari kamar. Jeno tertawa.
Di bawah, Renjun menatap jahil kedua insan itu.
"Ada apa dengan wajahmu, Jaemin-ah?" godanya.
"Tidak ada apa-apa." Yang lain tertawa karena Jaemin langsung segera memakan makanannya. Wajah merah tersebut tidak bisa ditutupi dari wajah manisnya.
***
"Sampai ketemu besok!" Jaemin mengangguk sembari tersenyum ke arah Seungmin, temannya. Hari ini ia harus mengikuti ekstrakulikuler fotografi, jadilah ia baru pulang pukul lima sore.
Ia bersenandung kecil sambil berjalan menuju halte dengan tangan yang dimasukkan ke kantong jaket.
"Apa ini? Lalu bagaimana caraku pulang?" gumam Jaemin. Di sana terpasang tulisan bahwa hari ini bus tidak beroperasi mulai pukul empat sore. Sekarang Jaemin menyesal tidak menerima tawaran Jeno yang ingin menjemputnya.
"Ahh aku tidak punya pilihan lain." Akhirnya Jaemin pun memutuskan untuk berjalan kaki.
Beberapa menit kemudian ia melewati sebuah minimarket, beberapa pria bertubuh besar yang mabuk berjalan mendekatinya. Jaemin berusaha acuh dengan melewatinya sebelum salah satu dari mereka memanggil.
"Hei manis, terburu-buru sekali?" Jaemin mempercepat langkahnya. Tetapi kemudian orang-orang itu menghalangi jalannya.
"Tolong jangan menghalangi jalan." Ucapnya berusaha tenang. Para lelaki tadi tertawa.
"Ohhh aku takut sekali, apa yang akan kau lakukan kucing manis?" mereka menyolek dagu Jaemin. Ia langsung menampar orang itu.
"Jangan beraninya menyentuhku." Geram Jaemin.
Lelaki tersebut memegang bekas tamparan itu dan langsung mencekik kencang leher Jaemin.
"Akh—!"
"Berani-beraninya kau, jalang kecil!" Orang itu mengeratkan cekikannya. Jaemin memukul-mukul lengan orang itu.
"Ma- nusia... Hina." Katanya dengan susah payah.
"Kau benar-benar jalang yang berani." Lelaki kekar itu memukul wajah Jaemin hingga tersungkur. Baru saja meraup oksigen, tubuhnya sudah dipukul dan ditendangi oleh orang-orang itu.
"Tolong aku."
"BRENGSEK!"
Bugh!
Seseorang dengan hoodie berwarna hitam itu datang kemudian memukul seluruh pria itu dengan brutal. Karena gerakannya yang gesit dan lincah membuat keempat pria tadi tumbang seketika.
"Jaemin.. Jaemin.." panggilnya sambil menepuk pelan pipi Jaemin yang terlihat tidak sadarkan diri.
Jeno pun menggendong tubuh Jaemin dan memasukkannya ke dalam mobil. Ia beruntung karena memilih untuk menggunakan mobil.
Jeno memiliki firasat buruk karena Jaemin belum pulang dari jam biasanya. Akhirnya ia pun segera menyusuri arah jalan pulang dan malah menemukan Jaemin yang tengah dipukuli oleh manusia-manusia sampah tadi.
***
"Dia sedikit syok dan ada banyak luka di tubuhnya. Berikan saja obat dan oleskan salep yang saya berikan secara rutin. Pastikan ia tidak terlalu banyak bergerak dan banyak beristirahat supaya lebih cepat pulih." Ujar dokter Song.
"Baiklah, terima kasih dokter Song." Balas Mark. Dokter cantik tersebut menepuk pundak lebar Mark dan keluar dari kamar Jaemin.
Renjun menatap ke arah kasur yang ditiduri Jaemin dengan pandangan cemas.
"Haruskah kita memberi tau orang tuanya?" tanyanya. Mereka terdiam.
"Biarkan dia istirahat dulu. Ayo keluar." Ajak Mark namun Jeno sama sekali tidak bergeming dari tempatnya.
"Jen?"
"Biarkan aku yang menjaganya." Mark menghela nafas kemudian mengangguk setuju.
Jeno merutuki dirinya karena tidak memaksa Jaemin untuk pulang bersamanya. Jika saja ia memaksa, jika saja ia datang lebih cepat, jika saja—
"Umh—"
"Jaem?" panggil Jeno pelan saat Jaemin membuka matanya perlahan. Ia membantu Jaemin untuk minum.
"Jen.."
"Hm?" Tangan Jeno masih setia menggenggam erat tangan kecil Jaemin.
"Tolong.. Jangan beritau orang tuaku." Jeno terdiam.
"Kenapa?"
"Mereka akan memaksaku pulang. Aku tidak mau." Melihat Jeno yang diam saja dengan sorot ragu, Jaemin kembali membuka suara.
"Please?" ia memelas.
"Baiklah." Jeno menghela nafas.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
from home || nomin
Fanfiction[scholl au] [nomin] Paman Na khawatir jika putra satu-satunya akan merasa tidak nyaman di tempat tinggal barunya, tapi kenyataannya Jaemin malah menemukan 'rumahnya' disana. vote and comment! 23/04/21