TUJUH | Jarak

536 52 10
                                    

-Semakin mereka mencintai, mereka semakin melupakan bahwa suatu saat nanti mereka akan saling menyakiti-

****

Moka merasakan sentuhan halus di kepalanya, perlahan matanya ia buka untuk memastikan bahwa seseorang yang sedang berada di sampingnya ini adalah sosok yang selama ini ia rindukan kehadirannya.

"Mama udah pulang?" Moka langsung bangkit dari tidurnya.

Sang mama yang sudah berada di sampingnya sejak tadi akhirnya tersenyum lebar.

"Kamu ga nakal kan selama gaada mama?" Moka terduduk menatap sang mama dengan sendu. Ia sangat merindukan Mamanya yang dulu tidak pernah absen membangunkannya, mamanya yang selalu marah-marah kalau dia asal melempar kaos kaki dan sepatunya kesembarang arah. Mamanya yang selalu berteriak karena ia tidak membereskan kamarnya yang penuh sampah kertas serta makanan.

Sekarang mamanya sudah berjalan lebih jauh dari tempat yang seharusnya. Terkadang Moka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi kepada kedua orangtuanya.

Mengapa sang papa tidak pernah kembali dan Mama jadi sulit untuk bisa dia raih.

Mengapa hidupnya jadi berantakan seperti ini.

"Mama udah sarapan?" Sang menggeleng, perempuan itu bangkit dari tepi ranjang. Moka menyadari sesuatu jika sang mama pulang bukan untuk kembali kedalam pelukannya tapi untuk pergi lebih jauh meninggalkan langkahnya.

"Ga sempet, habis ini mama mau jalan lagi. Mama cuma mau mastiin kamu baik-baik aja, uang buat sehari-hari juga udah mama transfer kerekening kamu, di irit ya. Kalo emang ga perlu jangan dibeli." Sang mama sudah berbalik bersiap untuk pergi lagi dan entah kapan kembali.

Moka memejamkan matanya, rasa sesak di dadanya kembali terasa untuk bisa dia tahan.

"Sampe kapan ma?" Ujar Moka dengan suara yang bergetar.

"Sampai kapan mama akan terus ninggalin aku kaya gini? Sampai kapan mama akan selalu egois gini? Aku butuh mama, butuh perhatian mama. Kenapa si susah banget buat dapetin perhatian mama?"

Sang mama mengeratkan kepalan di jemarinya. Hatinya juga terasa sangat sakit mendengar ucapan Moka yang terdengar seperti putus asa.

"Mama kerja juga buat kamu Moka."

Moka membuka mata, ia menatap manik sang mama yang sedang menatapnya intens.

"Aku tahu, tapi gaperlu kegilaan sampe ga pulang begini. Aku lebih suka mama kerja yang penghasilannya pas-pasan aja tapi bisa pulang dari pada kerja yang langsung dapet uang banyak tapi ga pernah pulang kaya gaingat kalo mama punya Moka dirumah ini ma."

Nada suaranya bergetar, Moka tahu selama ini dia sudah terlalu lama menahan semua rasanya. Moka sudah terlalu lama memaklumi sikap mamanya yang semakin lama semakin tak bisa ia mengerti.

"Mama gaperlu usaha sebegini kerasnya cuma buat ngasih aku uang. Aku bisa aja cari uang buat aku makan. Tapi kasih sayang mama, kehadiran mama itu ga bisa dibayar sama apapun ma."

"Moka akan lebih menghargai hidup moka yang miskin bareng Mama dari pada kaya tapi sebatang kara ma."

Moka menatap Mamanya dalam-dalam, perempuan itu selalu menjadi sosok favorit dalam hidupnya. Moka ingat betul bagaimana mamanya berjuang membesarkan dirinya. Moka merasa nyaman saat kehadiran sang mama berada didalam pelukannya.

Bukan seperti sekarang, bahkan untuk bisa memeluk, rasanya canggung. Ada jarak yang membentang jauh dijalan keduanya. Membuat mereka kehilangan arah dan lupa untuk berpulang.

Baik Moka dan Mamanya kini perlahan telah berjalan dijalan mereka masing-masing, dan mungkin saja perlahan tujuan mereka tak lagi jadi satu.

****

Alma membuka gerbang dengan senyum yang semringah, melihat Moka datang secara tiba-tiba membuat hiburan tersendiri baginya. Malam Alma yang selalu membosankan dengan buku-buku tebalnya membuat pikiran Alma selalu butek. Setidaknya dengan kehadiran Moka ia bisa refreshing karena wajah tampannya Moka.

Percaya deh, perempuan mana yang tidak menyukai pesona Moka, bahkan mereka rela mati-matian usaha buat dapet perhatian Moka. Alma yang mendapatnya secara cuma-cuma tidak ingin menyia-nyiakan bukan?

Tenang saja, Alma tahu batasannya sebagai seorang teman dan sahabat untuk Moka. Alma tidak se egois itu untuk menyukai Moka, saat ini perasaan kagum yang Alma miliki hanya untuk Jodi seorang.

Walaupun perlahan Jodi sudah mulai menerima usahanya, tetap saja ada sisi yang ragu dan bimbang saat ingin terus lanjut untuk menyimpan perasaannya untuk Jodi.

Moko menyisir rambutnya kebelakang, ia duduk diatas motor yang sudah dia standar kan. Alma memasukan kedua tangannya kedalam saku hoodie yang dia kenakan.

"Tumben, malem-malem kesini? Biasanya juga jam segini Lo lagi ngumpul sama temen band Lo." Alma mencibir, karena setiap kali Alma mengajak Moka untuk pergi ke toko buku saat malam, cowok itu selalu nolak dengan alasan ada janji kumpul bareng teman satu bandnya. Karena Alma baik hati dan tidak sombong makanya dia fine-fine saja.

"Lagi pengen aja." Moka mengalihkan pandangannya. Karena kalau sekarang ia menatap Alma sudah pasti perempuan itu akan sadar jika ia tak baik-baik saja saat ini. Moka tidak ingin menambah beban yang Alma pikul.

Namun Moka salah, Alma sudah lebih dulu menangkap sinyal itu, sinyal bahwa Moka butuh Alma untuk sekedar menambah semangatnya. Sinyal bahwa Moka saat ini memang benar-benar merasa terpojok.

"Tadi Lo tuh di cari Raka, tapi dia keburu tidur duluan, gue juga gatau kalo Lo mau dateng." Alma nyengir kuda. Perempuan itu berusaha mencairkan suasana. Alma tidak ingin menanyakan apa permasalahan Moka kali ini. Alma hanya ingin membuat Moka merasa bahwa pemuda itu tidak sendirian. Pemuda itu bisa mengandalkannya untuk menumpahkan segala laranya.

"Lo udah makan? Cari makan yuk."

"Boleh, sebentar gue pamit dulu sama Ibu."

Setelah meminta izin untuk keluar sebentar bersama Moka, Ibunya Alma menyetujui. Alma berani izin juga karena sang Papa belum pulang kerumah. Kalau sudah, jangankan untuk keluar sebentar. Untuk menemui Moka didepan gerbang aja tak akan bisa.

Motor Moka membelah jalan, suasana jalan raya pada pukul 9 malam sangat jauh berbeda dengan suasana jalan raya di pagi hari.

Semua nampak lenggang, keluarnya dari komplek perumahan Alma, sudah banyak berjejer pedagang kaki lima yang mendirikan stand mereka untuk berjualan.

Alma paling suka seperti ini.

Setidaknya Alma bisa melupakan semua hal yang dipaksakan oleh Papanya saat bersama Moka.

Dan

Moka juga bisa melupakan rasa kecewanya terhadap sang mama saat Ia bersama Alma.

Tanpa sadar, keduanya sudah saling mengaitkan diri dan berharap untuk tidak berpisah selamanya.

****
TBC

Without Me [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang