DELAPAN BELAS | Rasa sakit yang terpendam

464 34 0
                                    


Menghapus tinta yang pernah kau lukis di kanvas hatiku

Merobek semua bayangan yang tampak di relung sukmaku

Huu... Huu... Uuu... Uuu

Ego telah menghasutku tuk kembali padamu

Namun logika berkata baiknya kumenjauh

Jodi bertepuk tangan saat Alma berhasil menyelesaikan lagu yang dia pilih untuk ujian praktek Minggu depan. Alma tersenyum senang, binar matanya terlihat jelas di manik matanya.

Jodi mengelus puncak Alma, membuat perempuan itu tersipu malu seketika, "Cepet juga ya proses Lo belajar. Ganyangka gue."

Alma tersenyum manis, ia meletakan gitar yang semula berada di pangkuannya ke samping.

"Lo mainin lagu apa nanti?" tanya Alma kepada Jodi. Perempuan itu nampak salah tingkah, ia mengayunkan kedua kakinya dengan senyum yang masih melengking di sudut bibirnya.

Jodi nampak berpikir, melatih Alma sampai membuatnya lupa akan nasib dirinya. Mau membawakan lagu apa.

"Gampang gua mah." Alma mengangguk pelan, perempuan itu merasakan sensasi yang berbeda saat berdekatan dengan Jodi, tubuhnya terasa panas, jantungnya juga berdegup kencang. Ia menyeka telapak tangannya yang basah karena gugup.

Seumur-umur Alma belum pernah membayangkan bisa berdekatan dengan Jodi seperti ini. Bahkan dalam mimpi saja rasanya susah.

Jodi melihat Zoya sedang asyik bermain basket, seperti yang Jodi tahu Zoya berusaha keras untuk bisa mendapat nilai diatas KKM untuk pelajaran penjaskes.

Cowok itu berlari menuju lapangan tanpa pamit kepada Alma, membuat Alma sedikit merasa menyesal karena sudah berharap lebih kepada cowok itu.

Karena pada kenyataannya cowok itu memang baik sama semua orang.

"Udah bisa?" Alma menoleh saat Moka mencolek bahunya.

Alma mendengus kasar, "Udah dong, mau gue tunjukin gak nih?" Katanya dengan penuh kebanggaan.

Moka terkekeh geli, "Coba gue mau dengar."

"Nanti aja biar Lo liatnya speachless."

"Dih, awas aja sampe mengecewakan ya." Mendengar kata mengecewakan membuat Alma meringis, Moka yang menyadari perubahan wajah Alma langsung mengutuk diri dalam hati.

Cowok itu meraih tangan Alma dan menggenggamnya, "Bukan gitu maksudnya gue Ma."

Alma menoleh menatap Moka, "Gapapa kok, gue ngerti. Lo berhak mengharapkan yang terbaik dari seseorang seperti gue."

"Lo selalu jadi yang terbaik Ma, buat gue, buat Raka. Lo akan selalu jadi Alma nomor 1 gaada yang lain."

Alma tertawa tipis, "Bullshit ya? Gue capek dengernya."

Moka menarik napasnya dalam-dalam, wajar saja jika pembahasan seperti ini mampu membuat Alma sensitif. Karena setiap harinya, Alma selalu dituntut untuk tidak mengecewakan papanya.

Alma merasa semua perjuangan yang dia lakukan seolah tidak berarti apa-apa saat mereka mengatakan kecewa padanya.

Moka memperhatikan wajah Alma lamat-lamat, kantung mata yang mulai menghitam, wajah murung dan hampir tidak pernah lagi tertawa lepas seperti dulu, "Lo bisa sakit kalo kaya gini terus caranya." Cowok itu menyelipkan beberapa anak rambut Alma ke belakang daun telinganya.

"Gue harus kaya gini biar ga mengecewakan banyak orang."

Moka menarik Alma kedalam pelukannya, mengelus punggung Alma yang selalu menjadi tumpuan untuknya berpura-pura untuk bahagia.

Without Me [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang