"Al dan Arga ke mana? Mereka sakit?"
"Iya, Pak. Al menitipkan suratnya pada saya." Lail maju, memberikan dua buah amplop pada pak Gantara.
"Kok dua?"
"Satunya punya Arga, Pak. Saya baru ingat." Lail mundur dan kembali duduk di bangkunya.
Bisik-bisik terdengar di kalangan barisan cewek yang bertanya Arga sakit apa? Lail mendelik dan menjawab kalau dia juga tidak tau.
"Lagian gue dapet suratnya juga dari Al," kata Lail pada dirinya sendiri.
"Ok." Pak Gantara berdiri setelah lebih dari sepuluh menit hanya duduk saja. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan menatap mahasiswanya masam, nampak kecewa.
"Sebenarnya hari ini ada yang mau saya bicarakan tentang acara yang tinggal lima hari lagi, tapi karena dua orang penting dalam acara yakni, Arga si ketua umum dan Al sebagai sekretaris tidak ada, maka kita tunda dulu. Apa yang akan saya sampaikan penting. Namun, karena mereka tidak ada ... ya sudahlah. Lagi pula, kenapa juga mereka absennya harus barengan gini? Mereka janjian?"
Seisi kelas tertawa akan prakata receh pak Gantara. Bukan. Bukan pak Gantara yang humoris, tapi mereka saja yang kelewat receh. Apa saja dijadikan bahan candaan.
"Kalau jodoh bisa janjian, saya mau janjian sama Disa buat daftarin kita berdua ke KUA, Pak!" Janur mengacung. Nyengir saat ditatap sinis dari bangku bagian cewek.
"Yaaahh, kamu? Kamu sama Disa? Ck, mana mau dia!"
Meledak lagi. Wajah mengejek pak Gantara kentara sekali.
"Kenapa, Pak?" Janur memasang wajah polos.
"Muka lo kayak air comberan." Ical menyahut.
Pak Gantara tertawa. "Bukan saya loh, yang bilang. Temen kamu."
Seisi kelas lagi-lagi ramai. Disa bahkan sampai terbungkuk-bungkuk.
"Tapi Bapak seneng, 'kan?" sindir Janur yang tersenyum sinis.
"Yaaa bisa kamu nilai sendiri dari wajah saya yang berbinar-binar."
Kalau bukan Dosen, dah gue cekek ni orang, itu yang tergambar jelas dari wajah keki Janur. Pernyataan garingnya ditolak ramai-ramai dan entah kenapa membuat dirinya sedih luar biasa.
Vikra yang duduk di sampingnya menepuk pundak Janur dua kali. Mengangguk-ngangguk, mencoba menyabarkan Janur. "Gak pa-pa, gak pa-pa. Emang sewajarnya."
Janur mendengus. Pura-pura tuli.
***
Seorang gadis yang berdiri di depan jendela tersenyum, hampir tertawa. Melepas earphone di telinga, dia meletakkannya pada tempat yang dibawa ajudannya. Gadis itu melambaikan tangan, menyuruhnya pergi.
Dia baru saja mendengarkan percakapan teman sekelasnya melalui penyadap suara yang ia letakkan di sana. Semuanya terdengar jelas dan dia tidak perlu repot-repot memakai mata-mata untuk tahu akan suatu informasi.
Semuanya sudah canggih.
"Mereka tengah bahagia tanpa diriku. Tidak apa-apa. Mereka juga tidak ada artinya untukku."
Netra hitam legamnya menerawang, memilin satu persatu awan dengan ketajaman pandangannya. Teringat lagi akan kejadian kemarin yang harus membuatnya pura-pura sakit dan mendekam di rumah seperti sekarang.
"Seharusnya musang kecilku juga sakit, jika Lino benar-benar menukar minumannya. Kasihan sekali. Dia pasti tengah sekarat sendirian." Terkekeh, gadis berambut pendek sampai leher itu menyelipkan sedikit rambutnya ke telinga--kebiasaannya akhir-akhir ini.
"Aku belum tau pasti dia itu sniper yang ingin membunuhku atau tidak, jika kuhitung betapa banyaknya musuh keluarga ini, tapi memang ..." Ada jeda. Gadis itu berbalik sambil mengibaskan ekor gaunnya untuk memudahkannya melangkah. "... setiap apa yang dia lakukan padaku terlalu transparan untuk tidak disebut perencanaan pembunuhan. Dia mencurigaiku tanpa alasan."
Tangan lentiknya mengambil sebuah korek lalu melemparkannya pada vas berisi bunga mawar, membuatnya terbakar perlahan. Tangkai hingga kelopaknya menghitam. Gadis itu tersenyum manis.
"Karena orang bodoh ... tidak akan ceroboh melakukan kesalahan yang sama."
Beberapa bulan yang lalu ....
"Kau adalah pewaris tunggal yang diinginkan Tuan untuk melanjutkan jalannya keluarga Syah ke depan. Tuan Abdurrahman, Ayahmu hanya menangguhkannya padamu, Tara."
Gadis yang dipanggil Tara itu terus menatap tajam seorang pengacara keluarga yang membacakan surat wasiat ayahnya. Sama sekali tidak berkedip membuat si pengacara gugup dan membenarkan letak dasinya, kikuk.
"Ada Kak Anita. Kenapa kau tidak menunjuknya saja? Dia jelas anak pertama di keluarga ini."
"Tapi dia anak angkat." Si pengacara duduk lebih tegap, berusaha mengembalikan kepercayaan dirinya. "Dalam hukum, anak kandung memiliki hak lebih layak di banding anak angkat dalam masalah warisan, dan Ayahmu memutuskannya dengan benar. Lagi pula, jika sekarang Dallan, Kakak tertuamu masih ada pasti dia yang--"
"Tutup mulutmu!" Tara mendekati si pengacara dan mencengkeram kerahnya, membuatnya berdiri. Tinggi mereka yang hampir sama membuat Tara semakin terbakar.
"Aku tidak mau menerima itu. Aku tidak akan pernah sudi. Meski kau adalah orang yang selalu membantu Ayahku dari dulu, bukan berarti kau bisa mengatur hidupku. Kau tidak tau apa-apa tentang kami. Camkan itu!" Tara mendorong si pengacara hingga jatuh duduk di kursinya lagi.
Sebelum Tara benar-benar pergi, si pengacara dengan sisa keberanian dalam dadanya, berteriak, "Kau tidak akan bisa lari, Tara. Kaulah satu-satunya orang yang pantas untuk meneruskan kepemimpinan keluarga Syah, karena dari ketiga saudaramu ... hanya kau yang menyandang nama marga Syah di belakang namamu!"
DOR!
Sebuah peluru melintas di antara celah kaki si pengacara. Menembus sofa di belakangnya hingga berlubang.
"Berani berteriak padaku lagi, kupastikan lain kali tembakanku tak akan meleset."
Si pengacara diam dengan kaki gemetar. Dia hampir kehilangan sesuatu.
***
Dua hari setelah kejadian itu Tara akhirnya mau tak mau melakukan apa yang tertera pada surat wasiat sang ayah.
Kak Anitanya juga tidak mau duduk di posisi itu. Dia bilang, Tara memang lebih layak memegang posisi itu dibanding siapa pun.
"Dan satu tahun sebelum kejadian nahas itu, aku masih memiliki segalanya." Tara menunduk. Mengambil bunga mawar yang kehitaman itu dan menghirup aromanya.
Hanya wangi gosong dan rasa pahit, seperti hidupnya kini.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Terserah | END
Romance{revisi} Al dan Tara. Dua gadis satu tubuh yang memiliki dua kehidupan dan kepribadian berbeda. Sangat bertolak belakang. Jika Al adalah gadis yang ceria dan meledak-ledak ... Maka Tara adalah orang yang ambisius, kejam, dan otoriter. Satu saja kel...