ROUND 22: Sepotong Kisah

25 7 0
                                    

“Aku bertanya-tanya kenapa kau tidak langsung membunuhnya saja kalau tau dia sniper itu.”

Tara menoleh. Melihat Lino yang sibuk merakit pistol. Dia terkekeh, teringat kejadian beberapa jam lalu saat lelaki itu merengek dan menangis padanya. Sekarang dengan kurang ajarnya malah terlihat keren dan tampan.

“Aku menunggu momennya.” Tara menerawang. “Ini memang bukan prinsip keluarga Syah yang selama ini dijalankan Ayah, tetapi aku punya rencana lain untuk orang itu.”

“Kau menyukainya?”

“Tidak.”

Lino mendongak. Jawaban Tara terlalu cepat untuk disebut sangkalan. Tangannya terarah ke depan, membidik, bersiap menembak.

“Jangan menembak apa pun, Lino. Aku sedang ingin tenang.”

“Hm.” Lino mencebik. “Ok, Darling.”

Tara memutar matanya ke kiri. Enggan berkomentar lagi setelah mendengar panggilan itu.

Dua minggu yang lalu dia sangat tidak suka Lino memanggilnya dengan sebutan itu. Mengingatkannya akan kejadian beberapa tahun silam saat mereka masih bersama.

Sejenak, Tara berhasil menghapus bayangnya, tetapi sekali saja matanya menangkap bayangan itu berwujud, Tara sudah rapuh. Hatinya goyah lagi.

“Lalu apa rencanamu sekarang?”

Tara berbalik. Punggungnya menyandar pada pembatas di belakangnya. “Aku akan terus mendekatinya secara emosional. Membuatnya berbicara sendiri untuk sesuatu yang ingin kutahu.”

“Oh, ayolah, Darling! Kau belum percaya padaku? Aku ingin tahu sesuatu terselubung yang kau maksud itu!”

Tara berdecih. “Sikapmu saja masih kekanakan. Bagaimana aku bisa membaginya denganmu?”

“Yaa itu karena aku sedang bersamamu.”

Tara melotot tidak percaya. Jadi selama ini ….

“Aku masih mencintaimu.”

Tatapan mereka bertemu. Menyalurkan dua rindu yang tersendat. Sorot Lino melembut melihat ada genangan ‘ingin’ di mata kekasihnya. Lino hendak berdiri memeluknya, tetapi Tara cepat memutus pandangan dan berjalan ke dalam rumah.

Lino tersenyum miris. Mengenang momen lima detik paling membahagiakan dalam hidupnya. “Ternyata kau masih di sana … Darling.”

***

Terkadang, ada beberapa hal yang harus kau lepas dalam hidup untuk tidak lagi terikat di rantai yang sama. Memilih bebas dan menjadi seorang manusia. Penderitaan datang, sebab kita sendiri membiarkannya. Bukan bergerak menolak alih-alih menerima.

Tara sudah melakukan itu. Dia sudah lepas dari belenggu yang mengekang lehernya. Namun, sesuatu yang lebih kuat lebih telak menghantam ruang sadar, menghentak kegamangannya. Hatinya bahkan sudah memberontak, berteriak tidak tahan dan tidak peduli lagi.

Tara mendesah. Hatinya begitu sakit sekarang. Air mata menggenang di pelupuk mata, membuat dirinya kian merana.

Tara benci menangis. Menangis menjadikannya perempuan rapuh dan mudah patah. Tara tidak mau menjadi dirinya yang dulu. Tepatnya dia tidak bisa lagi.

“Karena aku sudah kehilangan segalanya.” Tara terduduk di meja kerjanya. Memegang erat figura keluarganya kemudian tergugu. Tara memejamkan mata ketika air matanya sudah tak kuasa dibendungnya lagi.

Tara sekarat. Tara sendirian.

Hatinya begitu pekat oleh kebencian dan dendam hingga dia melupakan orang-orang yang masih ingin ada di sampingnya. Dia membuang semuanya.

Dia membuang Lino.

“Maafkan aku, Ayah. Aku gagal menjadi kuat seperti yang Ayah mau.”

***

Selepas pertemuannya dengan Lino di pesta dansa, Tara tidak bertemu atau berhubungan lagi. Mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Tara mulai ikut menjalani misi dari Ayahnya, Lino juga asyik menjadi mata-mata seperti keinginannya.

Tiga bulan berlalu cepat, Tara sudah ditugaskan menjalani misi secara personal. Dia bertindak sebagai bos kali ini, setelah sebelumnya selalu jadi kacung. Tara memimpin aksinya sendiri.

Membawa tiga orang bawahan, Tara langsung menyerang ke jantung pertahanan lawan. Sesuatu yang tak dapat mereka duga akan dihampiri tamu.

Tara sudah ada di depan wajah musuhnya ketika menerima kabar kalau tiga orang yang dibawanya sudah mati dengan kepala tertembak. Tersisa dirinya sendiri dengan sepuluh pengawal pihak lawan.

Taipan tua yang sudah merebut bisnis properti ayahnya itu hanya menyilang kaki. Tersenyum hina mengejek nama keluarganya yang hanya bisa mengirim seorang gadis muda tak tau apa-apa. Tangannya bergerak, memberi kode pada anak buahnya untuk menyerang Tara.

Tara bersiap di tempat. Dia memutar pistol di tangan. Pelurunya tersisa lima. Kalah telak dengan jumlah musuh yang sudah berlari mengincar nyawanya. Tara mengibaskan rambut yang menutupi mata kanannya. Ciri khasnya ketika ada di arena bertarung.

Tara maju. Mengarahkan popor senjatanya pada pelipis lawan, sekaligus menendang orang dibelakangnya. Sekali hentak, dua orang berhasil tumbang. Tara menarik pelatuk dan melepas tembakan tiga kali secara beruntun yang langsung mengenai tiga orang.

Jitu di dada.

Tersisa lima. Hitung lagi dua orang tadi yang bergerak bangun, sedangkan pelurunya  tinggal dua.

Tara di kepung dari segala sisi. Dia persis berada di tengah. Tara menyeringai dari balik rambutnya. Dia tebak, orang-orang payah ini akan menyerang bergantian.

Tebakannya benar. Satu maju lalu yang lain menimpali, memberikan Tara serangan bertubi-tubi. Tidak mau diremehkan lebih jauh, Tara akhirnya menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.

Tangannya mencengkeram kerah leher orang paling dekat dengannya, meninju perut, lalu dilemparnya orang itu menimpa kawannya yang lain.

Tara berkelit ketika sebuah kaki akan menyasar kepalanya. Tangannya langsung menitip tinju di selangkangan lawan. Dia menjerit kesakitan.

Belum menyerah, seorang lainnya maju, hendak menjambak rambut, Tara lebih dulu menangkap tangan orang itu dan membautnya patah. Tulangnya berderak membuat linu.

Tara menembak dua orang yang hendak bangkit. Melempar pistolnya pada seorang yang baru sadar.

Ruangan itu kacau balau. Tara menggerakkan lehernya yang kaku. Mendekati taipan tua gendut di kursinya. Tubuhnya gemetar melihat kebrutalan Tara. Hendak melawan, kepala orang itu lebih dulu meledak, membuat darahnya mengenai wajah dan baju Tara.

Tara menoleh ke belakang. Melihat sosok yang telah menembak buruannya tanpa permisi.

Sosok itu membuka masker di wajah. Tersenyum lebar sambil berkedip genit. “Bonjour! Senang bertemu denganmu lagi, Nona Tara.”

Itu Lino.

***

Terserah | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang