Arga duduk tenang di belakang Al. Dia mengamati gadis di depannya saksama. Bibirnya sedikit terangkat mendengar lelucon gadisnya.
Sekitarnya tertawa riang, menyambut guyonan Al yang tiada habisnya. Jika Al sudah berbicara, maka setiap orang di dekatnya akan hangat. Al seperti mentari di tengah turunnya salju.
Arga melirik saku celana lalu mengeluarkan jam tangan berwarna putih. Dia mengambil tangan kiri Al, hendak memasangkan jam itu, tetapi sebuah tangan lebih dulu menggenggam tangan Al dan menyebut nama.
“Hai, salam kenal. Gue Lino.”
Al terdiam seribu bahasa. Teman-temannya juga bungkam. Menyorot orang yang entah siapa tiba-tiba datang dan menggenggam tangan orang seenaknya.
Wajah Arga lebih tidak bisa ditebak. Dia perlahan memasukkan jam tangan putih itu ke dalam saku. Berusaha mengingat wajah orang di depannya.
“Siapa lo?” tanya Ical.
Lino tersenyum miring. “Lo gak perlu tahu.” Matanya berganti menyorot Al. “Ikut gue. Ada informasi penting.”
Al mau tak mau berdiri. Tidak sempat mengambil tas, terburu-buru memakai sepatu. Tangannya yang lain ikut ditarik sebelum Lino benar-benar mengajaknya pergi. Semua atensi terarah pada Arga yang sudah berdiri, berhadapan dengan Lino.
Tangan kanannya mencengkeram pergelangan tangan Lino yang memegang tangan Al, memintanya melepas Al. Lino membalas perlakuan Arga dengan tatapan sengit.
“Buset! Gue gak tau kalo Arga bisa agresif juga. Bakal seru, nih.”
“Diem lo!” bisik Vikra pada Janur. Suasana kian tegang, tetapi anak satu itu masih saja main-main.
“Lepas,” Arga mendesis. “Lo gak punya hak.”
Lino terkekeh rendah. Dia melepas tangan Al lalu tanpa aba-aba menonjok Arga hingga jatuh terduduk.
Orang-orang di sekitar lokasi berseru lirih. Yoga dan Ical hendak berdiri melerai, tetapi Bi lebih dulu menarik mereka duduk.
Sebagai orang yang berasal dari negara asing, dia paham kalau ini tidak akan berlanjut pelik jika mereka diam dan tidak ikut campur.
“Gue punya hak karena gue tunangannya, dan lo … jangan pernah berani deketin dia lagi.” Lino meraih tangan Al lagi. “Ayo, Darling.”
Mereka pergi. Al sempat menatap Arga sekilas. Wajahnya datar dan sangat dingin. Sangat tidak biasa dan tidak pernah Arga melihat wajah Al semuak itu padanya.
Apa? Kenapa dia yang terkesan salah?”
“Lo gak apa-apa?” V mendekat, memberikan selembar tisu pada Arga. Bibirnya berdarah.
“Gue baik. Makasih.”
***
“Jelaskan padaku kenapa kau melakukan semua ini?”
Tara sudah berganti kostum. Pakaiannya dari atas hingga bawah hanya ada warna hitam yang mendominasi. Baju kuliahnya lenyap sudah. Dia sedang menyetir dengan Lino di sampingnya.
“Kupikir kau sudah tahu alasannya.”
Mereka berbelok. Tara masih diam. Mengulang keadian tadi, sebenarnya Tara tidak terkejut. Dia sudah menduga kalau Lino akan melakukan itu cepat atau tidak, tetapi motifnya belum bisa dia perkirakan. Pasti ada sesuatu yang sangat penting melihat Lino bahkan tidak segan memukul orang di depan umum untuk memberitahu Tara.
“Tidak. Kau bilang ada informasi penting. Bicaralah.”
Lino mengetuk-ngetuk kaca mobil tidak berselera. Dia menoleh, menatap Tara dengan tangan memangku dagu.
“Kita sama-sama tau kalau orang itu adalah penyebab kenapa kau ada di sini. Kita sama-sama tau kalau aku mengizinkanmu menjalankan rencana ini hingga selesai.”
“Aku tidak butuh izinmu untuk melakukan apa pun. Aku tidak mau diikat seperti kambing dungu lagi.”
“Tapi tetap saja aku harus melindungimu, bukan?”
Tara menghela nafas lelah. “Cepat katakan saja ke intinya atau kulempar kau dari mobil.”
Tara menepikan mobilnya di jalanan sepi. Hanya ada pohon berbaris sejauh mata memandang.
“Aku sudah mencari tau tentang orang itu semalam, dan kau tau apa yang kudapatkan?”
“Dia hanya anggota pembunuh bayaran dan sedang disuruh orang untuk membunuhku.”
“Ya, tentu saja itu sangat mudah ditebak meski kau buta.” Lino berteriak frustasi. Benci sekali melihat kekonyolan yang Tara katakan. “Ini lebih mengejutkan dari apa yang bisa kau pikirkan, Darling!”
Tara tidak menjawab. Sorot matanya lurus menatap ke depan.
“Baiklah. Aku akan memberitahumu.” Lino mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah foto pada Tara. “Lihat? Kau pasti tidak akan menduganya. Dia bekerja dibawah perintah wanita ini! Dia Anita, Kakakmu!”
Tara berkedip malas. Wajahnya sama sekali tak memberi reaksi seperti yang diharapkan Lino, seperti terkejut, atau sesuatu yang menarik.
“Ekspresi macam apa itu? Kau tidak terkejut? Anita, Kakakmu itu yang telah menyewa seorang sniper untuk membunuhmu! Kenapa kau biasa saja mendengarnya?” Lino hampir membuang ponselnya ke luar ketika satu pemahaman melintasi otaknya.
“Ja-jangan bilang kau sudah tau tentang ini? Ja-jangan—“
“Ya, aku sudah lama tau.”
“Siapa yang—“
“Ramiro memberitahuku saat aku mengunjunginya kemarin.”
Lino terdiam tidak percaya. Dia memegang kepala yang mendadak pening.
“Kau tau, tapi tidak memberitahuku?”
“Diam dan keluar saja dari mobil. Benda ini akan meledak.” Tara membuka pintu mobil tanpa bicara lagi. Lino segera mengekori Tara ketika kata meledak begitu kentara di telinganya.
Lima menit jauhnya melangkah, berlindung di balik pohon besar, mobil yang ditumpangi mereka berdua sungguhan meledak. Benda-benda di dalamnya beterbangan, membuat Tara menarik Lino lebih dekat saat pintu mobil melayang ke arah mereka.
Tidak ada siapa-siapa di sekitar lokasi. Rumah penduduk juga sepuluh kilometer jauhnya dari sini. Tidak akan ada yang mendengar ledakan hebat itu.
“Dari mana kau tau kalau mobil itu akan meledak, Darling? Cepat ceritakan padaku.”
“Aku awalnya tidak tau, tapi melihat posisi spion kanan sedikit bergeser dan ada jejak tangan di pintu penumpang, itu membuatku curiga. Aku tidak pernah membuat benda-benda milikku berantakan atau kotor. Pelayanku selalu bisa memastikan kalau semuanya rapi dan bersih.”
Lino menatap jerih api yang berkobar di depannya. Melihat Tara lagi lalu memeluknya erat. “Sekarang itu tidak penting, asal kau selamat.”
Tatapan Tara perlahan kosong. Kulitnya mulai mati rasa, tidak bisa merasakan pelukan Lino di tubuhnya. Telinganya menutup seolah tuli. Gesekan dedaunan dan hela nafas angin makin terasing dari telinganya. Tara mengerjap. Lidahnya bergerak pilu, mengucap sesuatu.
“Pengkhianatan selalu ada di antara harta dan takhta. Di antara kita.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Terserah | END
عاطفية{revisi} Al dan Tara. Dua gadis satu tubuh yang memiliki dua kehidupan dan kepribadian berbeda. Sangat bertolak belakang. Jika Al adalah gadis yang ceria dan meledak-ledak ... Maka Tara adalah orang yang ambisius, kejam, dan otoriter. Satu saja kel...