ROUND 7: Kejutan!

41 18 3
                                    

Suara tepuk tangan menginterupsi orang-orang dalam ruangan. Memberikan atensi penuh pada seseorang yang berjalan menaiki panggung.

"Oke, hari ini kita bakalan kerja seharian penuh buat acara besok malem. Semua laporan kalian udah gue baca dan seleksi. Hal-hal yang masih nunggu persetujuan gue, udah gue ACC. Abis ini gue kasih berkasnya lagi."

Arga berdiri di tengah panggung dengan wajah datarnya--seperti biasa. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana jeans, membuat penampilannya terlihat keren dan misterius.

"Jujur ya, meski muka si Arga kek datar gitu, entah kenapa di mata gue malah makin ganteng. Hihi."

"Iya, apa lagi waktu gue ngasih berkas sama dia, dia bilang 'makasih'. Cool gitu! Suaranya manly banget lagi!"

"Ekhem! Interupsi!" Teriakan Al yang melengking membuat dua cewek di depannya kaget. Arga yang masih sibuk berceramah ikut diam. Mereka saling menatap. Sama-sama dengan wajah jengkel.

"Kenapa?"

"Bisa gue keluar duluan? Suara lo gak kedengeran. Soalnya ada dua orang bacot yang ngalingin suara manly lo masuk ke kuping gue." Al sengaja menyalak di bagian 'bacot' dan 'manly'. Berdiri, Al menoleh ke arah Lail.

"Gue tunggu di kantin."

Peserta pertemuan gaduh setelah Al keluar dari ruangan. Beberapa membicarakan tingkah Al yang semaunya sendiri. Dia bahkan langsung keluar setelah mengucapkan itu. Arga di atas panggung hanya membuang muka tidak peduli, kembali melanjutkan pidatonya lagi.

***

"Kesel gue, astagaaa." Kaki naik ke meja, tangan bersedekap, wajah merengut bak banteng mengamuk. Al menggigit sedotan pelastik di mulutnya hingga putus. Mengambil lagi, gigit, putus lagi. Begitu terus hingga bertumpuk.

"Jadi cewek gatel banget. Emang minta dirobek tuh mulut!"

"Nih, es sirsaknya." Al hendak mengambil minumannya, tapi ditarik kembali. "Bentar. Kakinya turunin dulu."

Al berdecak. "Haishh, si Tante." Kakinya turun. "Udah. Sini esnya."

Tante kantin tersenyum. Menggeser gelasnya pada Al, duduk, dan menatap Al saksama. "Kamu hampir setiap mampir ke sini bawa berita gak menyenangkan. Kali ini ada apa?"

"Hehe. Perhatiannyaaa," ejek Al. Mood-nya sedang tidak bagus, tapi melihat wajah tulus di depannya, Al tak tega jika mengabaikan.

"Ah, gue cuma kesel sama kaum sendiri. Bisa-bisanya mulut jaringnya nyangkut ke mana-mana. Segala cowok gue digunjingin."

"Emang kamu udah punya cowok?"

"Wah, gimana kok baru tau." Al tertawa sarkas. "Ya ... enggaklah! Hahaha."

Tante kantin mendengus. Dia sudah menduga jika jawabannya akan begini. Terkadang perilaku Al sangat bisa diprediksinya.

Al berhenti tertawa. Dia minum esnya sampai habis lalu tersenyum. "Calon, Tante. Masih calon. Doain."

Tante kantin mengangguk-ngangguk. "Iya, didoain. Asal jangan panggil Tante lagi. Awas ya!"

Al nyengir, mengacungkan jari peace. Tante kantin beranjak saat ada mahasiswa yang memanggilnya. Ia harus kembali bertugas.

Al mengecek ponselnya ketika denting notifikasi dari nomor tak dikenal nangkring di beranda media sosialnya. Al mengacak rambutnya ketika tau siapa orangnya.

Seseorang tiba-tiba menarik kursi, duduk tak jauh dari Al. Dia tersenyum manis lalu memanggil, "Darling ...."

"Argh, jangan manusia biadab kayak lo lagi."

***

"Lo kenapa masih ke sini juga? 'Kan ... udah gue larang?"

Berisik lagi.

"Itu karena aku merindukanmu. Ingat?"

"Gak usah sok sopan di depan gue. Bajingan ya bajingan aja."

Suara tawa. "Lo kenapa sih, Darling? Hm?"

Lama tak ada suara setelahnya.

"Gue tau."

Bisu lagi.

"Gue bilang, gue tau! Lo pikir gue anak kecil? Pergi lo! Gue enek liat muka sotoy lo itu."

Arga melepas earphone-nya kasar dari telinga. Teriakan Al yang terasa begitu dekat menyakiti gendang telinganya.

"Ck, tuh cewek toa apa gimana jaman dulunya? Sampe pengang kuping gue."

Al sedang berbicara dengan seseorang yang Arga tidak tahu siapa. Namun, jika didengarkan dari suaranya, sepertinya laki-laki.

Dia memanggil Al, darling.

Darling?

Mereka punya hubungan?

"Terserahlah. Gue gak peduli, yang gue heranin, selama mantau Al ... baru kali ini ada cowok yang berani manggil dia kayak gitu. Biasanya tuh cewek ganas kayak gorila."

"Siapa yang lo sebut gorila?"

Arga menoleh. Yoga duduk di sampingnya sambil mengangkat alis, bertanya. Arga tidak menjawab. Pandangannya beralih pada anak-anak yang sibuk menata kursi.

Besok adalah pagelaran yang ditunggu-tunggu setiap orang di prodi Tadris Bahasa Indonesia. Semua persiapan dari dekorasi panggung, kostum, konsumsi, dan lainnya sudah tinggal sepuluh persen lagi. Besok malam, acara besar ini akan terselenggara.

Arga sendiri tidak menyangka jika di bawah naungannya, acara ini akan berdiri dengan gamblangnya. Ini pengalaman pertamanya menjadi penanggung jawab dalam sebuah acara. Di latar belakangnya, Arga memiliki kesuksesan di bidang yang lain. Bidang yang sangat dikuasainya.

"Lo kayaknya makin populer. Cewek-cewek makin sering bicarain lo. Apa lagi Al." Yoga tertawa. "Dia kayaknya suka sama lo."

Arga diam. Sama sekali tidak tertarik. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Yoga tertawa kecil.

"Lo emang menarik, sih. Gue ke sana dulu. Kayaknya ada yang kesusahan ngangkat kursi." Menepuk lengan Arga dua kali, Yoga pergi menyambangi kerumunan yang ia maksud.

Membantu mengangkat kursi plastik yang susah dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Arga tertawa dalam hati. Dia mendongak, menatap lampu besar yang tergantung di langit-langit ruangan. Pangkal penahannya sudah berkarat, terlihat tua dan rapuh. Sedikit bergoyang saat angin dari luar bertiup kencang.

Ruangan ini belum direnovasi ternyata.

"Hm. Kalo gitu ... gue akan bales perasaannya dengan sesuatu yang menyenangkan."

***

Terserah | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang