Arga bersedekap, menatap cewek di depannya yang rakus memakan pesanannya.
Sudah dua mangkuk dihabiskannya, ditambah empat krupuk, dan tiga lontong. Dia bahkan belum minum air setetes pun.
Kadang Arga berpikir ... dirinya seperti menonton vidio di aplikasi terkenal yang sering menampilkan orang sedang makan itu.
Hmmm. Rasa-rasanya Arga ingin menuangkan racun di mangkuknya.
Mungkin tontonannya jadi lebih menarik—setidaknya bagi Arga.
“Kalo lo pengen, pesen aja. Jangan asyik liatin gue. Ntar suka, lohhh.” Al mendongak. Nyengir saat wajah Arga masih saja datar.
Tidak kehabisan akal, Al mendekatkan kepalanya. Membelakangi Arga. “Bisa lo bantu iketin rambut gue? Tangan gue kotor, nih. Gue susah makan gara-gara rambutnya turun terus. Iket rambutnya ada di saku baju.”
Arga mendengus. Tidak bisa menolak karena mereka ada di tempat umum.
Mengambil ikat rambut, Arga perlahan mengumpulkan rambut Al jadi satu lalu mengikatnya. Kini rambut gadis itu lebih rapi dan wajahnya lebih enak dilihat.
Perlakuan tak biasa itu tak luput dari kacamata publik. Bisik-bisik iri para cewek segera terdengar.
Mereka jelas menginginkan cowok yang memperlakukannya dengan manis dan lembut seperti tadi, sedangkan para cowok jelas kagum pada kecantikan Al yang semakin kentara.
Al rasanya ingin berteriak dan memberitahu siapa sebenarnya Arga ini. Jijik sekali telinganya mendengar orang gila di depannya diidam-idamkan.
“Denger? Bahkan masyarakat pun setuju kalau kita itu cocok. Layaknya sepasang kekasih yang sempurna. Jadi, kenapa kita gak pacaran aja?”
Tapi tidak di depan Arga. Al, akan selalu bersikap manis.
“Lo sengaja?”
“Menurut lo?” kata Al sambil berkedip manja.
Arga mendengus lagi, kembali bersedekap. “Cepet habisin. Gue mau pulang.”
“Kenapa buru-buru?” Gue bahkan belum bahas kenapa gue ada di depan lo sekarang.
“Gue pergi.” Arga berdiri. Tidak peduli Al sudah menghabiskan makanannya atau tidak.
Al terbelalak. Otaknya dengan cepat memikirkan cara agar cowok setan ini masih tetap di sisinya.
Mengambil botol saus, Al dengan sengaja memencetnya ke arah Arga dan mengotori bajunya.
“Ups!” Al memasang wajah pura-pura terkejut.
Arga mengetatkan rahangnya melihat baju hitam kesayangannya terkena noda saus. Merah menyala berpadu dengan warna hitam bajunya. Kentara sekali.
Cewek ini ... ingin rasanya Arga mematahkan tangannya saat ini juga.
“Maaf, Sayang. Gue gak sengaja. Ah, baju lo jadi kotor. Sini pake kemeja gue aja. Lo bisa simpen baju lo, nanti biar gue cuciin.”
Al melepaskan kemeja kotak-kotaknya, menyisakan kaus lengan pendek berwana hitam.
Arga menahan lengan Al yang hendak melepaskan kemeja seluruhnya. Arga berusaha sekuat mungkin untuk menarik senyum.
Demi apa pun! Ini sama sekali bukan dirinya!
Arga memakaikan kembali kemeja Al dengan lembut. Menunduk, Arga menyamakan tingginya dengan Al, berbisik di telinganya. “Stop ngelakuin ini. Mari bersikap seolah kita gak pernah saling kenal.”
Arga mundur. Tersenyum lagi. Senyum yang sangat dipaksakan terbit. Dia mengambil tisu, membersihkan noda saus, lalu pergi. Menyisakan Al yang terdiam di tempatnya berdiri.
Senyum jahat terukir di bibir Al. “Masih pura-pura begok, ya?”
***
Arga bergegas ke parkiran dan menyalakan motornya. Melihat lagi bajunya, argh! Arga rasanya ingin tenggelam ke bumi.
Ada di sini saja sudah menyusahkan. Apalagi masih harus tertimpa kesialan lainnya.
“Kalo ini bukan bagian dari misi, gue udah minggat dari tempat terkutuk ini.”
Arga memasukkan gigi motornya dan melaju lebih kencang. Pikirannya dipenuhi berbagai macam spekulasi tentang bagaimana gadis bejat itu bisa lolos dari maut yang dibuatnya?
Arga benar-benar tidak habis pikir. Padahal dia sendiri sudah memastikan kalau remnya murni kehilangan tekanan.
Seperti sebuah keajaiban menyaksikan Al tampak sehat dan hanya mendapat ganjaran kotor di celananya. Dia itu perempuan apa robot?
Apa dia tahu kalau yang berusaha mencelakainya adalah dirinya?
Siapa sebenarnya Almatara?
TINN TINN!!
Suara klakson truk tronton yang hendak menyeberang mengagetkan Arga. Truk tronton itu ada di depan Arga. Lima kilometer lagi dia akan menghantam benda baja itu jika tidak menginjak rem.
Rem?
Netra Arga membesar ketika kakinya yang menginjam rem terasa ringan. Pindah ke tangan kanan, sama saja. Remnya blong.
Arga akan mati. Itu yang akan terjadi sebentar lagi.
Lalu lintas di sisi kanan masih padat, membuat truk tronton itu masih diam di tempatnya dan menghalangi jalan Arga. Kendaraan yang lain sudah berhenti dua kilometer dari posisi truk. Hanya Arga yang terus melaju dengan kecepatan tinggi di tengah jeritan klakson sopir truk.
Mati. Tidak ada pilihan lain.
Orang gila mana yang berani menjahilinya?
"Sial!"
Arga semakin dekat. Mogenya sama sekali tidak bisa dikendalikan, terus lurus menuju truk tronton panjang itu. Semua orang yang ada di sekitar kejadian berteriak histeris. Tabrakan jelas akan terjadi antara dua kubu timpang sebelah itu.
Arga masih berusaha. Satu kilometer lagi.
Arga menguatkan dirinya.
Siapa pun orang yang sudah berani menjahilinya ini ... dia akan menerima ganjarannya.
"Sekarang atau tidak sama sekali!" seru Arga bersamaan dengan tubuhnya yang melayang.
***
Seorang gadis bergaun putih tertawa lantang. Suaranya menggema di seantereo ruangan. Dia menggoyang anggur merah di tangan lalu menuangkannya ke gaun putih menjuntainya.
Warna putih bersihnya dengan segera berubah darah. Menyerap cepat kain mahal itu dengan warna merah pekat.
Jijik.
"Itu akibatnya jika kau bermain-main denganku. Mungkin tidak akan mati karena aku juga berharap begitu. Akan kuberi kau kematian yang pedih, setelah dengan beraninya menaikkan cakar di leher harimau."
"Haruskah saya--"
Gadis berwajah tegas itu mengangkat tangan. "Biar aku yang mengurus musang kecil ini."
Bibirnya tertarik ke atas membentuk seringai mengerikan. "Akan kutunjukkan cara yang benar."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Terserah | END
Romance{revisi} Al dan Tara. Dua gadis satu tubuh yang memiliki dua kehidupan dan kepribadian berbeda. Sangat bertolak belakang. Jika Al adalah gadis yang ceria dan meledak-ledak ... Maka Tara adalah orang yang ambisius, kejam, dan otoriter. Satu saja kel...