BAB 30

62.6K 2.7K 275
                                        

*****

Siang ini terpaksa aku harus absen menjaganya yang tak kunjung menunjukkan perubahan signifikan semenjak dinyatakan kritis. Rapat bersama beberapa dewan direksi guna membahas masalah proyek merger dengan salah satu perusahaan Singapura membuatku harus terjebak di dalam ruangan yang sebenarnya membuatku tak tenang. Bahkan saat tiba giliranku harus maju menyampaikan beberapa laporan yang sudah disusun rapi oleh Dewo selama kunjungan kami ke Singapura, membuat konsentrasiku terpecah belah antara pekerjaan dengan kondisi kesehatannya.

Untung saja rapat sudah selesai satu jam lalu dengan semua agendanya berjalan lancar. Dan kini aku tengah duduk di meja kerjaku sambil mengamati beberapa lembar foto laknat yang membuat gelegak darahku naik sampai ke ubun-ubun. Aku tak tahu siapa photographer yang pandai sekali mengambil posisi ajaib seperti ini seolah-olah aku dan Liana bagaikan sepasang kekasih yang tengah menikmati kencan malam yang begitu romantis. Setelah pencarian beberapa kali, akhirnya aku menemukan sepuluh lembar benda laknat tersebut di dalam buku gambar desainnya yang disorokkan ke dalam laci meja di ruangan kerjanya yang terletak di lantai bawah.

Memang benar malam itu kami berdiri di depan salah satu hotel di Singapura. Tapi bukan hanya kami berdua. Ada Tante Asri dan Haruka yang turut serta karena kami pergi berempat. Tapi keterangan yang tertera di belakang foto, semakin menguatkan asumsiku kalau ada dalang di balik semua rentetan kejadian yang menimpa Iris. Aku harus segera bertindak. Mencari tahu siapa si Pengirim foto tersebut untuk membuat perhitungan dengannya. Oke! Bukannya aku mencari kambing hitam. Aku tak menampik kalau ada andilku juga dalam kejadian ini. Ketidak jujurankulah yang menjadi awal mula petaka yang menimpanya. Tapi aku tak boleh terlalu larut dalam euforia rasa bersalah itu tanpa tindakan sebagai penebusan kesalahanku, bukan? Seperti apapun kelak penolakannya terhadapku ketika sudah sadar, aku tak akan mundur lagi dan mengulangi kebodohanku untuk yang kedua kalinya setelah dulu membiarkannya pergi begitu saja.

Aku meraih gagang telepon, menekan beberapa digit angka hingga suara Dewo di seberang menyambutku.

“Hallo, Boss,” sapanya.

“Dewo. Aku butuh bantuanmu.”

“Katakan saja, Boss. Apa yang bisa kubantu?”

Dewo adalah satu-satunya kaki tanganku yang paling aku percayai. Sosoknya yang tak banyak bicara dan lebih menunjukkan hasil kerja yang selalu memuaskan, adalah salah satu yang menjadi pertimbanganku ketika dulu memberikan posisi ini kepadanya. Umurnya tiga tahun lebih muda dariku. Seorang single yang tak jarang menjadi pusat perhatian para gadis ketika kami hangout bersama hanya untuk sekedar minum secangkir kopi di kafe, ataupun makan malam di restoran Jepang langganan kami.

“Tolong selidiki! Siapa yang mengirim foto-foto hasil rekayasa seolah aku berselingkuh dengan Liana di Singapura pada Iris. Semakin cepat, semakin baik!” perintahku tegas. Tak bisa diganggu gugat atau menerima penolak sekecil apapun itu bentuknya.

“Baik, Boss. Secepatnya aku pastikan hasilnya sudah ada di atas mejamu,” ucapannya sedikit menenangkanku.

Aku tahu. Kalau apa yang diucapkan Dewo bukanlah sekedar kata-kata penenang atau sebuah janji yang tak bisa dipegang kebenarannya. Entah bagaimana caranya, ia selalu saja bisa menyelesaikan pekerjaan yang kuberikan tanpa mengulur-ulur waktu dengan beribu alasan yang membuat kupingku panas. Aku tersenyum tipis saat mengucapkan terima kasih padanya meskipun ia tak bisa melihatnya. Aku kembali meletakkan gagang telepon. Lalu mendorong kursi kebelakang dan berjalan ke arah jendela kaca yang berhasil menyuguhkan segala aktivitas orang-orang di sekitar kantor Dharmawangsa.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang