Happy reading, dear...
***
# 3 Minggu menjelang pernikahan #
~Tok... Tok... Tok...~
"Mbak, tamunya sudah datang."
"Langsung suruh naik ke atas aja, Ra."
Rara mengangguk patuh, lalu dalam sekejap sosoknya hanyut di balik pintu.
Sekali lagi ku amati beskap yang melekat pada sebuah mannequin yang berdiri di dalam ruangan kerjaku, memperhatikan detailnya dengan seksama kalau-kalau ada celah kekurangan agar bisa diperbaiki sebelum waktu semakin mendesak. Tidak ada yang spesial, bentuknya lumrah seperti kebanyakan pakaian adat pengantin pada umumnya. Ada aksen garis lurus memanjang dari batas kerah sampai bawah perut berwarna keemasan yang disulam tangan. Warnanya serasi sekali jika disandingkan dengan kebaya broken white yang nantinya akan ku kenakan, kebaya sederhana hasil rancangan Avelyn yang dikerjakan dengan sepenuh hati.
Lalu pandanganku beralih pada benda logam itu. Menyentuhnya, memutar beberapa kali dengan pikiran menerawang tiada batas. Sudah sejauh ini langkah yang ku ambil, rasanya tolol kalau masih sempat mempertanyakan apakah keputusan ini berada diantara garis benar atau salah. Semestinya tidak ada kepanikan yang menderaku. Yang perlu ku tekankan, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kesempatanku belum tertutup karena kami akan berada di bawah atap yang sama dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, termasuk kesempatan-kesempatan terbaik itu untuk mematri hati Banyu. Terdengar murahan? Tapi selama yang ku lakukan masih berada dalam koridor batas kewajaran, ku rasa tidak ada salahnya untuk terus mencoba.
"Ehm...," suara yang sudah tidak asing lagi menyapaku.
Awalnya dia bersandar pada daun pintu yang terbuka lebar. Dan seharusnya telingaku juga bisa menangkap suara deritannya, tapi terlalu banyak bermonolog dengan diri sendiri membuatku tidak menyadari hal tersebut.
"Sejak kapan kamu berdiri di situ? Kenapa nggak langsung masuk?"
"Nunggu kamu selesai dulu bersafari sama lamunanmu," apa itu artinya dia memperhatikanku sejak tadi? Tapi kenapa tidak cepat-cepat menegurku?
Dia menutup pintu dengan menghentakkan salah satu ujung kakinya yang dilapisi sepatu kulit mengkilap, menimbulkan suara benturan hingga pintu tertutup secara sempurna. Berhubung ini masih terhitung jam kerja, Banyu belum menanggalkan setelan formal yang nampak kontras dengan warna kulitnya yang coklat.
"Mau mencobanya sekarang?"
"Kenapa harus terburu-buru? Memangnya kamu punya jadwal lain setelah ini?"
"Nggak."
Aku melihat senyum Banyu terulas saat matanya yang bening terarah pada mannequin yang berdiri tidak jauh dari tempatku. Dia mendekat, mengambil spot kosong disebelahku tanpa banyak bicara. Entah apa yang dipikirkannya, aku tidak bisa menebak dan memang tidak ingin menjadi peramal untuk menebak-nebak buah dari hasil pemikirannya tersebut.
"Berapa lama kamu nyelesain ini?"
"Tiga minggu," mengingat bagaimana aku benar-benar memforsir waktu untuk bisa segera menyelesaikan rancangan spesial kali ini, ada kepuasan tersendiri terselip dalam hatiku ketika melihat hasilnya. Bukan karena beskap ini nantinya akan dikenakan oleh seorang pria yang akan mengikatku dalam sebuah pernikahan, tapi lebih pada prosesnya yang tidak mungkin begitu saja terlupakan sepanjang hidupku.
"Gimana menurut kamu? Ada yang perlu diperbaiki?"
"Memangnya masih sempat?"
"Kalau cuma perubahan kecil sih, ku rasa bukan masalah," lalu tanganku bersedekap. Tatapanku masih sama, lurus ke depan tidak henti-hentinya mengamati hasil karyaku sendiri. Harapanku, semoga Banyu menyukainya tanpa mempersulit dengan protes-protes kecil yang selalu mengawali perdebatan diantara kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable Marriage
RomanceIni hanyalah sepenggal kisah tentang Iris Jingga yang kembali dipertemukan dengan sahabat seumur hidupnya. Kisah yang kembali mengulik luka lama justru ketika dia baru saja terpuruk dengan pernikahannya. Banyu Biru dan Liana Kejora, dua orang sahaba...