BAB 3

78.6K 2.9K 61
                                    

# Entah kenapa, semakin kesini malah justru semakin nyaman dengan penggunaan bahasa non baku. Akhirnya bab 1 dan 2 saya edit ulang meski nggak banyak perubahan. Maaf kalau masih banyak kekurangannya. Maklum, first story sih ini lebelnya, ada yang baca aja udah seneng banget, thank you#

***

Aku memasukkan volkswagen-ku ke dalam garasi tepat saat tubuh Rega yang dibalut kaos oblong biru tua keluar dari pintu utama. Wajahnya terlihat sedikit heran melihat kedatanganku. Wajar saja, sudah hampir satu bulan ini aku tidak menginjakkan kaki kerumah kedua orangtuaku. Memang sih tidak ada jadwal khusus kapan aku harus pulang. Pekerjaan yang menumpuk terkadang membuatku harus puas membelokkan arah mobil ke rumahku sendiri yang terletak tidak jauh dari kawasan Malioboro. Ku matikan stop kontak, lalu membuka pintu mobil dan berjalan menghampirinya. Sebelum Rega sempat menghindar, aku sudah memeluk tubuh adikku itu dengan erat.

"Kangen, dek...," manjaku.

"Apaan sih!" Rega berusaha melepaskan kedua tanganku yang mengunci dua lengannya, tapi tidak berhasil. Akhirnya dia kembali bersungut, "ingat umur kali, mbak."

"Lho, memangnya nggak boleh meluk adik sendiri?"

"Nggak. Lagian aku kan udah gede. Masa tiap kali ketemu masih suka peluk-peluk gini sih," protesnya seperti biasa.

"Ngaku gede tapi kok belum punya pacar," sindirku. Aku meninggalkannya yang masih berdiri diteras. Ku lihat tv di ruang tengah menyala, tapi tidak ada satu pun orang yang menontonnya.

"Ibu dimana, dek?" setengah berteriak karena posisi Rega masih berdiri di depan pintu. Dia baru saja berniat untuk menutupnya saat suaranya yang berjenis bariton menimpali pertanyaanku.

"Di kamar," jawab Rega singkat. Tanpa menunggu lama, aku langsung melesat masuk ke dalam kamar ibu tanpa mengetuknya terlebih dulu.

Ibu baru saja melipat mukena saat aku memeluk tubuh tuanya dari belakang. Senyumnya mengembang, sejenis senyuman yang membuat hatiku menghangat seketika hanya dengan melihatnya saja. Ku cium kedua pipi ibu bergantian, lalu melepaskan pelukan dan berjalan ke sisi ranjang. Aku menjatuhkan bokong ke atas kasur yang ditutup seprei bercorak batik berwarna merah bata.

"Kok datang nggak bilang-bilang sih mbak?" Ibu memang sudah biasa memanggilku dengan sebutan "mbak", sedang "dek" untuk Rega. Beliau menaruh mukena ke atas meja kecil di dekat lemari baju.

"Kejutan dong, buk," aku nyengir tanpa dosa. Ibu hanya menggeleng saja menanggapi ucapanku yang kadang-kadang masih suka manja meskipun usiaku tahun ini menginjak akhir kepala dua.

"Sudah makan? Mau dibuatin nasi goreng kesukaannya, nggak?"

Aku menggeleng.

"Nggak usah, bu. Tadi Iris udah makan di luar bareng Ave."

"Beneran? Soalnya ibu lihat sekarang kamu jadi tambah kurusan lho. Kerja sih kerja, nggak ada yang melarang kok. Tapi ya jangan sampai kebablasan gitu. Kalau sakit kan kamu sendiri yang ngrasain," wejangan ibu yang tidak pernah putus setiap kali aku pulang. Aku tersenyum mendengar perhatian yang dicurahkan beliau padaku. Ah.... Kasih sayang seorang ibu itu memang paling tulus. Obat paling mujarab yang sejenak sanggup membuatku melupakan masalah apapun, termasuk masalah tentang tantangan yang diberikan Banyu kepadaku tadi siang sebelum kami berpisah.

"Ibu nggak usah khawatir. Iris sehat-sehat saja kok, bu," ucapku berusaha meyakinkan ibu. Dan beliau membalasnya dengan tatapan skeptis, seolah sedang memastikan bahwa apa yang aku sampaikan bukanlah kebohongan semata. Setelah menemukan apa yang beliau cari, ibu melanjutkan pertanyaannya lagi.

"Gimana perkembangan butik?"

"Alhamdulilah lancar. Kemarin Iris baru dapat orderan dari salah satu keponakannya Kanjeng Sultan yang mau nikah akhir bulan ini," ku raih salah satu tumpukan bantal yang sudah ditata rapi oleh ibu di atas kasur, lalu memeluknya posesif.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang