Dulu, setiap kali rintik hujan mulai mengguyur pelataran kampus dan melumpuhkan segala kegiatan di luar ruangan, perpustakaan adalah satu-satunya tempat berteduh yang aku tuju. Dipojokan, ada sebuah meja panjang yang letaknya begitu strategis untuk menenggelamkan diri dari hiruk pikuk aktifitas perkuliahan. Di sanalah biasanya aku menarik diri dari dunia luar dan mereka, dua orang sahabat yang entah mengapa selalu sukses membabat habis perasaanku yang sudah terlanjur berakar sampai ke dasar rasa yang tidak berujung pangkal. Membuatku selalu menyurukkan airmata di bawah pekatnya gelap malam.
Aku memang bukan seorang pemain teater yang begitu luwes berakting. Tetapi pengecualian ketika dihadapkan pada situasi genting yang mau tidak mau mengubahku menjadi layaknya seekor bunglon. Dua sudut bibirku memang menciptakan sebuah lengkungan bulan sabit, mengumbar seulas senyum ketika mata kami saling bersitatap. Tapi tidak ada yang tahu dengan luluh lantaknya hatiku, bukan? Iya. Dan lagi-lagi semuanya karena perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Aku mencintai sahabat seumur hidupku sendiri, Banyu Biru.
Rupaku tidak secantik Liana. Predikat "biasa" saja adalah nama lainku. Hidupku yang biasa. Prestasiku yang biasa. Dan tingkat ekonomi keluargaku yang juga biasa-biasa saja. Dan mungkin karena alasan biasa itulah yang membuat Banyu Biru menyingkirkanku dari kehidupannya dan lebih memilih seorang Liana Kejora. Aku menghela nafas panjang, berusaha mengenyahkan sekelebat potongan kenangan di masa silam yang masih menyisakan rasa nyeri.
Aku kembali membolak-balik secarik kertas berukuran 5x3 cm di tanganku. Tidak ada yang spesial. Hanya ada beberapa digit angka yang dicetak tebal dengan menggunakan tinta berwarna emas. Berkali-kali aku mengeja, meyakinkan diri kalau kartu nama yang sedang ku pegang ini adalah milik seseorang yang pernah membuatku terpuruk berkepanjangan. Aku mengulum senyum, lebih tepatnya senyuman miris yang membuat dua sudut mataku sedikit berkabut.
Bosan mengamati benda tersebut, ku dorong kursi beberapa senti ke belakang. Kemudian bangkit dan berjalan ke arah jendela untuk mengendurkan otot-otot yang terasa kaku setelah berjam-jam berkutat di depan komputer. Di luar rupanya bumi sedang diguyur hujan dengan curah yang tidak tanggung-tanggung. Bahkan suara partikel-partikel air yang asyik berjatuhan di atas atap ruangan kerjaku terdengar begitu keras memenuhi rongga telinga.
Aku meraih gagang cangkir yang tergeletak di atas meja yang letaknya bersebelahan dengan rak buku mini setinggi pinggang orang dewasa. Ada yang lebih menarik minatku sebelum menyesap coklat panas yang baru saja diantar oleh OB-ku. Yaitu, ukiran cantik bunga lily yang mengitari bagian tengah badan cangkir dengan ukuran beberapa kali lipat lebih kecil dari aslinya.
Aku memang bukan pecinta bunga. Tapi entah kenapa hanya lily-lah yang berhasil menarik rasa keingintahuanku tentang segala hal yang berhubungan dengan bunga sederhana ini, terutama tentang filosofinya sebagai lambang kesucian dan kemurnian. Apa karena itu juga si elegant lily akhirnya memiliki banyak peranan penting dalam mitologi kuno? Ah...entahlah. Tapi setahuku bunga lily juga dipakai oleh Katholikisme sebagai simbol kesucian Bunda Maria.
~ Tok...Tok...Tok...~
Suara pintu diketuk dari luar. Tidak berselang lama, muncul wajah seseorang yang sudah tidak asing lagi. Ave sudah berdiri diambang pintu dengan senyum maut andalannya. Salah satu tangannya terangkat, mengayun-ayunkan sebuah benda persegi panjang berwarna putih gading.
"Sibuk?" Tanyanya
Aku menggeleng.
Ave berjalan ke arahku. Hari ini dia tampak cantik sekali dengan blouse salemnya yang dipadankan dengan celana kain berwarna hitam. Tubuhnya tinggi semampai, tipikal body model yang sering wara-wiri di atas catwalk.
"Ya, siapa tahu. Lihat wajah kamu yang serius banget memandang keluar jendela, ku pikir kamu lagi sibuk mikirin sesuatu," hipotesa sepihaknya.
"Sok tahu banget sih jadi orang," cibirku. Dia tidak menggubris, malah dengan gaya cueknya mengendingkan kedua bahu santai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable Marriage
RomanceIni hanyalah sepenggal kisah tentang Iris Jingga yang kembali dipertemukan dengan sahabat seumur hidupnya. Kisah yang kembali mengulik luka lama justru ketika dia baru saja terpuruk dengan pernikahannya. Banyu Biru dan Liana Kejora, dua orang sahaba...