BAB 11

68.7K 2.8K 62
                                    

Banyak typo dan banyak kekurangan di part ini. Selamat membaca.

***

Aku tidak habis pikir dengan semua kejutan-kejutan kecil yang menyambutku dari pertama kali menginjakkan kaki di villa keluarga Dharmawangsa. Kalau tadi pagi soal eksistensi trio kwek-kwek dan perempuan itu, maka sore ini giliran Avelyn yang berada di tengah-tengah pesta barbeque yang diadakan di teras belakang rumah. Udara dingin Tambi tidak menjadi penghalang karena disetiap pojokan dibuat miniatur perapian yang menyerupai api unggun. Tumpukan kayu kering dibakar hingga kobaran apinya mampu melibas kabut yang terbang dibawa angin senja yang tidak bermuara.

Ada empat buah meja bundar dimana disetiap sisinya diisi dengan enam sampai delapan kursi. Jadi kalau ditotal, jumlah tamu undangan pada malam istimewa ini kurang lebih mencapai tiga puluh orang yang terdiri dari keluarga besar si tuan rumah, kerabat dekat, orangtuaku, serta teman-teman Banyu. Yang ku lakukan hanyalah memandangi sebuah gelas kristal berisi air putih yang sudah hampir terkuras habis. Nafsu makanku berkurang semenjak bergabung bersama orang-orang yang lebih pantas disebut sebagai sekumpulan lalat yang membentuk koloni karena suara bisingnya yang menyerupai. Sedari tadi, jari-jari tanganku juga tidak lepas mengusap salah satu sisi leher. Tentu saja aku melakukannya bukan tanpa alasan. Aku sangat berharap rambut panjangku yang ku biarkan tergerai bebas sanggup menutupi "tato" yang dipahat dengan teramat sempurna oleh si brengsek Banyu.

Tidaklah semudah menutup mata untuk melupakan sensasi menggairahkan saat telapak tangannya yang besar mulai memasang aksi, bergerilya seenak perut menginvasi tiap jengkal bagian tubuhku dengan darah kami yang saling berdesir hebat. Hanya dengan flashback ulang kegiatan tidak terencana tersebut, memaksa kerongkonganku menelan ludah yang berubah menjadi duri-duri kecil menggores dinding tenggorokan. Ku selipkan dua tangan di bawah meja, berulang kali meremasnya karena sepasang mata elang tengah menatapku dengan tatapan memburu. Kalau dulu aku tidak perlu merasa terintimidasi, maka lain ceritanya dengan sekarang.

Membiarkan Banyu Biru hampir melihatku dengan keadaan setengah telanjang di atas ranjang yang berantakan, maka urat malukulah yang menjadi taruhannya. Hampir saja kami "kebablasan" kalau suara gedoran keras yang berasal dari souji terlambat sedikit saja menginterupsi kegiatan panas kami. Dadaku naik turun, begitu pula dengan nafas Banyu yang setengah tersengal sesaat setelah mengambil jeda untuk menyudahi kegilaan yang berada diambang batas. Meski aku dan Banyu adalah dua orang yang sudah sama-sama dewasa, terkadang ada saatnya kami merasa kesulitan mengontrol nafsu ketika lonjakannya secepat angka grafik di bursa saham yang meroket tajam.

Suara Alfa-lah yang berada di balik pintu. Dengan intonasi yang melengking dan tidak sabaran, setidaknya gedoran si flamboyan tersebut beralih fungsi menjadi sirine saat tanda-tanda bahaya berdengung kesegala penjuru arah.

"Kamu kenapa? Dari tadi aku perhatiin bengong terus."

Ave menyenggol lenganku. Dengan posisi kepala miring saat memberikan tatapan skeptis, ku biarkan dia berjibaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengendap di dalam otaknya. Malas menanggapi wanita itu, aku memilih memasukkan sepotong udang berukuran jumbo ke dalam mulut lalu mengunyahnya lahap.

"Sakit gigi tapi masih doyan makanan enak," sarkasme yang dia gunakan untuk memancing responku. Memangnya siapa bilang aku sakit gigi? Kalau kesimpulannya hanya berdasarkan tebakan semata, maka kemampuannya yang satu ini pantas diberi acungan jempol terbalik. Payah!

"Kamu punya hutang penjelasan sama aku, Ave!"

"Penjelasan apa?"

"Nggak usah sok ngeles deh," ku pukul punggung tangan Avelyn yang kebetulan terjulur di depanku dengan garpu. Dia tengah mengincar sepotong daging sapi yang masih mengepul panas dengan aroma yang membuat perut siapa saja menghentak-hentak minta diisi.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang