***
Sekali lagi kuperhatikan keduanya yang masih bergelung nyaman di bawah selimut tebal sebelum beranjak keluar kamar.
Sama-sama memasang tampang innocent saat tertidur.
Dia mendekap erat tubuh Haruka seperti boneka beruang coklat yang kubelikan tempo hari saat kami menikmati waktu luang di sebuah pusat perbelanjaan kota. Boneka yang dinamai Si Kecil dengan "Momma", kata lain sebagai panggilan sayangnya untukku yang tidak pernah bisa lepas dari kungkungannya ketika sudah terbaring manis di atas tempat tidur.
Sepelan mungkin ku putar knop pintu, lalu melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Dia rindu nasi goreng buatanku. Katanya sih sudah bertahun-tahun lidahnya tidak mengecap hasil masakanku tersebut. Di luar matahari masih mengintip malu dari balik peraduannya, rumahpun terlihat lenggang. Mungkin semua anggota keluarga masih dibuai mimpi. Menginspeksi kulkas, kutemukan beberapa macam sayuran yang masih tampak segar. Aku hanya mengeluarkan apa yang ku butuhkan. Nasi, telur, sayur, dan beberapa macam bumbu dapur. Tanganku mulai beraksi, mengerjakan apa yang perlu kukerjakan tanpa membuang-buang waktu.
Lalu telingaku menangkap suara derap langkah seseorang yang berasal dari tangga marmer berjalan mendekatiku. Rupanya, mami. Beliau tersenyum lebar, dan tidak lupa mengucapkan say hallo sebelum bergabung denganku.
"Pagi, Darla...,"
"Morning, Darli...,"
Lalu tangan beliau merangkulku. Pagi ini mami hanya bermodalkan daster bercorak batik. Rambutnya digelung tinggi sehingga figur keibuan tercetak jelas dari penampilannya tersebut.
"Ayangmu minta dibikinin apa sampai-sampai sepagi ini bininya sudah turun ke dapur?"
"Nasi goreng. Kayaknya anak bujang mami lagi ngidam. Dari kemarin rewel terus minta dibikinin nasi goreng."
Mami terkekeh renyah. Bahkan suaranya berhasil meredam bunyi microwave yang kugunakan untuk memanaskan nasi.
"Mami kasih bocoran ya Ris. Dari dulu dia itu cinta mati sama nasi goreng bikinan kamu. Dari jamannya kalian masih pakai seragam putih abu-abu gitu," sontak ucapan mami membangkitkan keterkejutanku. Aku tahu betul bagaimana dulu Banyu selalu mengolok-olok citarasa masakan yang kuhasilkan. Jadi antara percaya dan tidak mendengar penuturannya.
"Masa sih Mi? Tapi dia nggak pernah ngomong apa-apa. Malah katanya nasi goreng bikinan saya kalah jauh dibanding punya Mami."
"Dia itu penipu ulung. Mami yakin sekali kamu ketinggalan banyak rahasia selama enam tahun kalian nggak ketemu."
"Rahasia?" Keningku berkerut.
"Iya. Tapi kalau pengen tahu, tanya aja sendiri sama ayang kamu," senyumnya seterang rembulan di tengah malam. Aku seperti mencium sesuatu yang tidak beres, tapi entah apa itu.
"Satu. Kasih saya satu aja bocorannya dong Mi," pintaku sedikit memohon karena masih diliputi rasa penasaran.
Mami mengambil beberapa butir telur, lalu memecahkannya dan menaruh isinya ke dalam mangkuk beraksen bunga sakura. Menggunakan garpu, beliau mengocok telur lalu menuangkannya ke atas panci penggorengan yang sudah panas. Raut mukanya kelihatan santai sekali, seperti sengaja mempermainkan perasaanku yang sedikit tidak tenang.
"Ehmm...apa ya? Mami kok mendadak lupa," kilahnya begitu kentara. Mataku menyipit skeptis dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Merasa diperhatikan, ibu mertuaku ini akhirnya mengibarkan bendera putih tanda menyerah.
"Oke...oke...Mami nyerah deh. Kamu mau tahu yang mana? Rahasia besar atau kecil?"
"Dua-duanya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable Marriage
Storie d'amoreIni hanyalah sepenggal kisah tentang Iris Jingga yang kembali dipertemukan dengan sahabat seumur hidupnya. Kisah yang kembali mengulik luka lama justru ketika dia baru saja terpuruk dengan pernikahannya. Banyu Biru dan Liana Kejora, dua orang sahaba...