"How's Maastricht?""Hmm, aku belum pergi kemana pun. Couldn't really explain, but I love this city."
Gadis itu menunggu sang ibu untuk merespon ucapannya. Bukannya mendapat jawaban, ia malah mendengar suara kucingnya yang mengeong.
"Apakah itu Moongie? Bagaimana kabarnya?"
"Dia baik-baik saja. Tadi ia mencarimu di kamar, padahal ibu sudah bilang jika kau tidak ada di rumah. Tapi ia tetap saja mengeong dan mengendus barang-barangmu."
"Kami tidak pernah akrab. I remember the way he scratches my leg. Still hurts until this day."
"Jangan berlebihan, ia hanya mengajakmu bermain namun kau selalu menjauhinya. Pantas saja ia bertingkah seperti itu. Ibu dan ayah tak pernah dicakar olehnya."
"Memang benar kok! Aku sama sekali tidak melebih-lebihkannya, bekas cakarnya saja masih ada."
Sang ibu pun terkekeh. "–Semoga kau bersenang-senang di sana. Ibu masih mengurus beberapa berkas perusahaan sebelum pemindahan kantor besok."
"Bukankah di sana sudah jam 10 malam? Ibu harus segera tidur."
Mendengar kekhawatiran sang anak, wanita itu lantas menenangkannya.
"Jangan khawatir. I'll go to bed after this."
"Baiklah. Kalau begitu selamat malam. Salam untuk ayah dan juga Moongie."
"Akan kusampaikan. Ibu akan segera menutup teleponnya."
Tak lama setelah mendengar ibunya mengatakan hal tersebut, sambungan pun terputus.
Karina bersandar pada badan sofa sambil meregangkan tubuhnya. Ia menatap jam yang ada pada layar ponselnya –waktu menunjukkan pukul 3 sore. Gadis itu pun beranjak dari posisinya. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan keluar dan mencari udara segar.
Tepat seminggu sudah Karina berada di Maastricht. Salah satu kota kecil di Belanda yang berjarak 200 km lebih dari Amsterdam. Ia datang kesini tanpa tujuan tertentu. Namun salah satu hal diantara sekian banyak alasan mengapa ia memutuskan untuk berlibur sendirian ialah karena kedua orang tuanya selalu sibuk mengurus perusahaan, bahkan di akhir pekan.
Hal itu membuatnya pasrah saja saat sang ayah menyuruhnya untuk pergi ke luar negeri sendiri. Walau sedikit cemas, Karina tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ayahnya membekalinya uang serta beberapa kartu kredit siap pakai sekaligus.
Kapan lagi jalan-jalan ke luar negeri dengan dibekali uang sebanyak itu?
Ia bisa membeli apapun dengan uang yang dimilikinya sekarang. Sementara itu, mengapa Maastricht? Lagi-lagi, tak ada alasan khusus. Saat masih bersekolah, Karina pernah menemukan sebuah buku di perpustakaan sekolahnya. Buku itu membahas tentang keindahan beberapa kota di dunia, dan di sanalah ia pertama kali membaca tentang kota Maastricht.
Setelah membaca buku tersebut, Karina langsung jatuh cinta dan bercita-cita untuk mengunjungi kota tersebut suatu hari. Siapa sangka, keinginannya tercapai hanya dalam jangka waktu 2 tahun sejak ia lulus sekolah.
Sore itu, ia pun berjalan-jalan di sekitar hotel tempat ia menginap. Karina menyusuri jalan sambil membawa ponselnya. Gadis itu sibuk mengambil foto dari Sungai Maas yang memang terletak di bagian depan hotel. Ia juga beberapa kali mengambil swafoto dengan sungai tersebut sebagai latarnya.
Akan bagus dijadikan sebagai foto profil, pikirnya.
Sembari berjalan, ia menemukan banyak hal menarik. Ada orang yang sedang membawa anjing mereka berjalan-jalan. Ada juga pasangan yang saling mengambil foto untuk satu sama lain. Tebakannya, mereka sedang menikmati bulan madu. Hal-hal tersebut membuat gadis itu tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Attention [COMPLETE]
FanfictionKarina, gadis yang baru saja menginjak usia 20 tahun itu meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke Belanda, tepatnya ke kota Maastricht. Bukan untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja, ia pergi ke sana hanya untuk bersenang-senang. Di kota yan...